Masa remaja merupakan masa penuh tantangan. Setidaknya itulah yang kurasakan. Mama menjadi tempramen akibat perceraian tiga tahun lalu. Kini mama berusia lima puluh lima tahun, sedangkan aku. Mama tak mau lagi ngurus suami katanya saat kutanya kenapa mama gak cari pasangan lagi.
Hidup mama mungkin tak semulus pantat bayi. Menikah di usia tiga puluh lima, ke pada ayah, seorang duda. Ayah menikahi mama sepertinya hanya untuk mencari seseorang untuk memasak dan atau mengurus rumah serta ayah. Ayah dan mama sering ribut, meski ayah tak kerja di PT. Angin Ribut. Hingga akhirnya mama tak tahan, aku kini hidup berdua bersama mama.
Pekerjaan mama hanyalah sebagai petugas di perpustakaan daerah. Apabila di rumah, juga sering mengurus kebun. Sesekali aktif di kegiatan ibu-ibu. Ketidakbahagiaan membuat mama menjadi overprotektif kepadaku. Kenyataan ini membuatku memilih untuk melanjutkan pendidikan selepas sma di kotaku saja.
Di rumah kadang membuat pusing. Hal-hal kecil saja bisa membuat mama marah. Kadang aku membantah, namun malah membuat mama tak mau bicara padaku. Akhirnya aku mengalah. Aku hanya ingin hidup tenang.
Kuceritakan setetes mengenani aku. Wajahku biasa saja, berkacamata -namun bukan kacamata kuda-, akibat keadaan orang tuaku, aku menjadi minder hingga belum pernah merasakan pacaran. Aku sedikit lebih tinggi dari mama.
Tubuh mama agak gendut, montok. Memakai pakaian apa pun selalu terlihat kalau susu mama tak bisa ditahan oleh bh.
Balik ke cerita, tiba-tiba aku merasakan sakit di bagian testisku. Awalnya pagi hari, namun makin lama makin sakit. Malamnya aku mencoba masturbasi hingga keluar. Meski tak sesakit sebelumnya, namun tetap sakit. Aku bingung. pnisku masih keras. Kucoba masturbasi lagi hingga tiga kali, akhirnya rasa sakit itu sirna.
Ke dokter tentu aku malu. Bahkan aku tak pernah ngomong sesuatu yang berbau seksual pada mama. Mama memang sangat konservatif. Namun karena ini menyangkut kesehatanku, aku harus memberanikan diri. Apalagi aku tak mau membicarakan ini kepada teman-temanku.
Malamnya, aku sedang membaca majalah sedang mama merajut. Mama melarangku menonton tv kecuali di kamarku sendiri.
Mah, Yusup pingin bicara.
Apa sayang?
Tapi Yusup malu mah
Bicara yang bener, suara mama mulai tegas.
Ini agak pribadi mah.
Mama menghentikan rajutannya, matanya mulai menatapku serius. Kamu punya masalah sama gadis?
Bukan mah. Lebih ke kesehatan pribadi.
Bicara aja gak usah malu. Mama mulai kembali merajut.
Ini mah. Ee… Kemaluan Yusup…
Iya, kenapa?
Testis Yusup
Iya, suara mama lembut. Hm, tidak terduga.
Testis yusup sakit mah. Yusup takut kena penyakit
Apa kamu main sembarangan sama wanita terus tertular sesuatu?
Enggak mah. Yusup gak pernah gituan.
Mama diam sebentar. Sudah berapa lama sakitnya?
Semingguan kira-kira.
Seminggu? Kenapa gak bilang dari kemarin?
Yusup malu mah.
Mama gak tau tentang itu. Tapi lebih baik kita ke dokter. Tapi jangan ke dokter yang biasa. Ntar muncul gosip yang aneh-aneh. Kita ke dokter lain aja.
***
Dua hari kemudian kami duduk di ruang tunggu sebuah klinik. Saat masuk, ternyata dokternya perempuan. Namun bukan gadis bertudung merah yang telah menjebak hati seorang vokalis.
Aku dan mama duduk di kursi, menghadap bu dokter. Dokter itu kutaksir berusia lima puluhan. Gendut, berkacamata serta sudah mulai beruban. Namun wajahnya tidak jelek.
Dokter melihat mama, kemudian aku. Selamat datang. Saya dr. Tari. Ini Yusup ya? Dokter Tari menatapku. Aku menganguk.
Mamamu sudah cerita tentang keluhanmu. Namun sebaiknya kamu ceritakan lagi biar jelas. Gimana, mau kan?
Eh, Iya… aku malu-malu. Lalu kuceritakan keluhanku. Sementara dokter mendengar dan mencatat.
Melihat kondisimu yang masih muda, terdapat pelbagai macam kemungkinan, dokter menatapku, kemudian menatap mama. Dokter berbicara tanpa merasa malu, penuh percaya diri. Sepertinya masalah seksual merupakan makanannya sehari-hari.
Mungkin ini hanya salahsatu fase yang terjadi pada remaja, namun begitu kita mesti melakukan tes. Mari ke kasur.
Aku melangkah ragu. Lalu berbaring di kasur.
Buka celananya. Dokter bicara sambil menutup tirai. Membuat mama tak bisa melihat kami.
Kubuka ikat pinggang, lalu kancing celana dan sleting. Dokter memakai sarung tangan karet. Lalu dokter mencoba untuk menurunkan celana. Aku mengangkat pinggangku agar memudahkannya. Akhirnya celanaku hanya selutut.
Santai saja ya.
Kurasakan tangan dokter menyentuh dan mengangkat pnisku. Lemas tentu saja. Dokter meremas lalu menarik pnisku hingga mentok. Merabai testisku. Setelah itu melepas tangannya.
Saat penis atau testis dipegang, apa terasa sakit? dokter menatapku sejenak.
Tidak. Tapi masih terasa sakit di testisku. Biasanya hilang setelah selesai ngng ngngna masturbasi.
Oh gitu. dokter menatapku lalu menjilat bibirnya. Aku merasa jilatan di bibirnya agak lama. Entah benar atau karena aku canggung.
Baiklah, pakai kembali celananya. Setelah itu silakan duduk kembali. Dokter melepas sarung tangan, mencuci tangan di wastafel dan kembali ke kursinya.
Aku memakai celana lalu ikut duduk di samping mama. Entah kenapa aku masih memikirkan cara dokter menjilat bibirnya.
Secara fisik normal. kata dokter. Namun kita mesti mendapatkan sampel darah dan sperma.
Oke, kataku takut.
Dokter lalu menatap mama, bagaimana, tidak apa-apa bu?
Silakan saja dok, jawab mama.
Tapi pertama, dokter harus menanyakan beberapa pertanyaan dulu. Dokter melihat kepadaku. Kamu memiliki pacar hari ini atau setidaknya setahun belakangan?
Tidak.
Pernah pacaran dengan wanita tuna susila?
Tidak.
Setidaknya dalam setahun, pernah berhubungan seksual?
Tidak.
Dokter lalu kembali mencatat.
Kemungkinan ini merupakan fase pubertas yang mulai dilalui. Memang beberapa anak mengalami rasa sakit dan beberapa tidak. Dalam hal ini kamu termasuk yang memiliki rasa sakit. Untuk sampel darahnya nanti bisa temui suster di luar ruangan ini. Seminggu kemudian hasilnya bisa didapat.
Sekarang soal sperma, saat kamu bilang banyak mengeluarkan sperma, ibu perlu catatan berapa banyak kamu bisa memproduksinya. Dokter menatap mama, lalu menatapku.
Sekali lagi ibu katakan penting untuk mengukurnya. Maka dari itu Ibu berikan ini. Dokter mengambil sesuatu dari laci dan menaruh di meja. Ternyata sejenis gelas plastik bening. Tingginya kira-kira dua belas centimeter sedang diameternya kira-kira delapan centimeter.
Sebaiknya kamu tak menggunakan kondom saat masturbasi karena beberapa sperma akan terjebak di kondomnya. Salurkan sperma ke gelas ini, nanti tulis berapa ukurannya. Sudah ada garis ukuran di gelas ini. Bisa ya?
Iya.
Yang perlu diingat, saat kamu masturbasi, kamu perlu mengarahkan penis ke gelas ini. Pastikan agar tak ada yang berceceran walau secuil. Setelah itu, tulis hasilnya pada formulir ini, dokter kembali meletakan beberapa lembar formulir di meja. Di lembar itu terdapat kotak untuk tanggal, waktu dan kuantitas.
Untuk penelitian, ibu perlu sampel setiap hari selama dua minggu. Setelah dua minggu, kita konsultasikan lagi. Setelah melihat hasilnya, bisa jadi tes ini dihentikan atau bisa jadi diteruskan lagi. Jelas ya.
Aku dan mama mengangguk.
O ya. Sebelumnya setiap kami meminta pasien untuk mendapat sampel ini, setiap pria dibantu pasangannya. Pacar maupun istri. Karena susah bagi pria untuk memfokuskan pensi ke gelas ini saat masturbasi. Dalam hal ini, dokter menatapku lagi. Ibu harap kamu bisa melakukannya. Namun apabila ternyata sulit, sekarang dokter menatap mama.
Dokter cukup bicara namun tetap menatap mama.
Bagaimana bu, apakah anda tidak keberatan?
Aku melirik mama yang tampak tidak nyaman. Akan saya coba bantu dok. Ini kan demi kesehatan anak saya. Asal anak saya sembuh, suara mama terdenga kesal seperti saat mama mesti melakukan sesuatu yang luar dari pada biasa.
Baiklah, dokter kini menatapku dan tersenyum. Jangan sungkan meminta bantuan mamamu. Dokter rekomendasikan agar mamamu bisa membantu mengumpulkan sperma dan melakukan pengukuran sedari awal agar tak terjadi kesalahan yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Ibu perlu pengukuran yang tepat agar hasilnya akurat, tajam dan terpercaya.
Iya.