Berbagi Kenikmatan Dengan Orang Lain

Mama
0


Sebenarnya aku punya beberapa pilihan untuk mendapatkan calon suami yang terbaik di mataku. Namun pilihanku jatuh kepada Bang Abe (nama lengkapnya Abraham). Karena menurutku, Bang Abe itu penyabar dan selalu mengalah dalam setiap perdebatan denganku. Selain daripada itu, Bang Abe mendapat gelar masternya di Amerika.


Aku pun teringat kata-kata Bang Abe, “Sebenarnya aku ini rugi kalau bekerja untuk orang lain. Aku mengejar master degree di Amerika dengan tujuan ingin membuka perusahaan sendiri, bukan mau bekerja di perusahaan orang lain. Tapi sekarang kita belum punya modal. Karena itu terpaksalah aku bekerja untuk orang lain dahulu, sambil mengumpulkan modal untuk start di perusahaan kita sendiri.


Dari perkawinanku dengan Bang Abe, lahirlah anak pertama kami, bayi perempuan yang cantik dan kami beri nama Vania, dengan nama kecil Nia.


Namun sampai Vania sudah berusia 3 tahun, keadaan kami masih “jalan di tempat”. Perbedaannya cuma satu hal. Bahwa sejak lahirnya Vania, aku mengajak Mbak Rumiar, kakak kandungku, tinggal di rumahku. Kebetulan Mak Rum sejak dua tahun terakhir berstatus janda tanpa anak.


Kehadiran Mbak Rum lumayan meringankan bebanku sebagai ibu rumah tangga. Karena Mbak Rum sangat menyayangi Nia. Maklum dia belum punya anak, sehingga naluri keibuannya dilimpahkan kepada anakku.


Mbak Rum juga sangat cekatan untuk bersih-bersih dan masak makanan untuk kami makan bersama. Tapi begitulah, keuangan kami belum kuat. Sehingga Mbak Rum hanya bisa masak dengan bahan seadanya saja.


Memang aku cukup prihatin dengan keadaan ini. Sampai aku sering punya keinginan untuk bekerja. Karena percuma aku punya gelar SE tapi tidak digunakan untuk meringankan beban suamiku.


Tapi suamiku selalu menolak permintaan ijinku untuk bekerja. Suamiku selalu menjawab, “Meskipun kamu jadi pejabat tinggi, aku lebih suka statusmu sebagai ibu rumah tangga, Sayang.”


Karena itu aku terpaksa berdiam diri di rumah terus sebagai ibu rumah tangga yang sejati.


Padahal aku sudah gemas, ingin melihat suamiku sukses dengan profesinya. Kalau pun dia tetap bekerja, aku sih ingin melihatnya punya jabatan yang bagus di perusahaan besar itu. Aku juga prihatin karena suamiku hanya mampu memiliki motor bebek. Dengan motor murahan itulah dia pulang-pergi ke kantornya.


Padahal teman-teman seangkatan dengannya, rata-rata sudah punya mobil.


Rasanya percuma saja suamiku mengejar gelar master di Amerika, tapi kalah dengan teman-teman seangkatannya yang masih S1. Ada juga yang S2, tapi didapatkan di Indonesia. Gelarnya juga magister, bukan master seperti suamiku. Tapi keadaannya jauh lebih sukses daripada suamiku.


Untungnya aku ini bukan seorang istri yang banyak tuntutan. Aku tak pernah meminta pakaian dan perhiasan yang mahal-mahal. Aku pun tak pernah membeli alat make up yang serba impor, karena pada dasarnya aku tak terlalu mengandalkan alat make up. Memoles bibir dengan lipstick pun hanya sekali-sekali saja.


Mengenai keadaan keuangan pun, mungkin aku harus pasrah saja. Karena mungkin nasib kami belum bisa juga meraih sukses seperti orang lain. Siapa tahu kelak kami bisa mengejar teman-teman yang sudah duluan sukses itu.


Di sudut lain, masalah seksual misalnya, berjalan secara normal menurutku. Meski Bang Abe bukan sosok yang menggebu-gebu di atas ranjang, namun aku selalu terpuaskan oleh kejantanannya.


Dalam komunikasi pun selalu normal. Karena suamiku seorang penyabar dan selalu mengalah padaku, kecuali ijin bekerja itu yang tetap tidak diberikan padaku.


Karena itu, kami tka pernah bertengkar dalam soal sekecil apa pun. Lalu kenapa aku harus mengkhayalkan sesuatu yang belum ditakdirkan untuk meraihnya? Kenapa aku pun tidak mengikuti sikap dan perilaku suamiku yang penyabar itu?


Ya, barangkali aku harus bersabar menghadapi segala kenyataan ini. Meski banyak pahitnya, harus kutelan dengan sabar, sabar dan sabar.


Terlalu ngotot juga bisa hypertensi nanti… hihihihiiii…!


Pada suatu sore, suamiku pulang dalam keadaan yang lain dari biasanya. Dia pulang dengan sebuah sedan mahal. Aku tahu benar sedan itu built up dari Eropa, yang harganya pasti milyaran.


Aku terheran-heran dibuatnya. Lalu menghampiri suamiku yang baru turun dari mobil mewah itu. “Mobil siapa ini Bang?” tanyaku.


“Punya Kevin,” sahut suamiku.


“Kevin mana?”


“Kevin… putra mahkota perusahaan.”


“Owh anaknya big boss itu?”


“Iya. Tiga bulan lagi juga dia akan menjadi orang nomor satu di perusahaan. Karena ayahnya sudah sakit-sakitan, punya penyakit jantung segala.”


“Kevin kan masih muda sekali Bang. Apa mampu dia mengendalikan perusahaan sebesar itu?”


“Umurnya sudah duapuluhtiga tahun. Sudah jadi sarjana tamatan Inggris pula. Nanti deh kita bicarakan… ada sesuatu yang harus kita rundingkan.”


Suamiku melangkah masuk ke dalam rumah kami yang di pinggir jalan besar tapi masih sangat sederhana.


“Memangnya ada apa Bang? Kok seperti serius gitu? Ada kabar baik atau…”


“Siapin makan dulu deh. Perutku lapar.”


“Emang tadi gak makan siang di kantin kantor?”


“Makan. Tapi hanya sedikit. Banyak yang harus dipikirin sih.”


Aku bergegas menyiapkan makanan untuk suamiku. Tidak ada yang istimewa makanan yang kuhidangkan untuknya. Cuma sayur asem, ikan asin jambal, kerupuk kampung dan sambel bajak.


Tapi suamiku tampak bersemangat menyantap makanan yang kuhidangkan itu. Memang dia sudah mulai bosan dengan makanan-makanan mewah dan kebarat-baratan, lalu kembali ke makanan tradisional begitu.


Aku belum lapar. Karena itu aku hanya duduk di samping suamiku, untuk menemaninya makan.


“Nia mana?” tanyanya setelah selesai makan.


“Lagi tidur di kamar Mbak Rum.”


Setelah menyeka mulutnya dengan kertas tissue, Bang Abe menarik pergelangan tanganku, “Kita ngobrol di kamar aja yuk. Biar bebas ngomongnya.”


Kuikuti saja langkah suamiku menuju kamar.


Suamiku merebahkan diri, menelentang di atas bed. Aku pun rebahan di sampingnya. Tanpa keberanian untuk mulai bicara.


Lalu dia mulai berkata, “Sebenarnya masalah ini masalah berat. Tapi demi kemajuan kita, harus dihadapi juga dengan hati dan otak dingin.”


“Masalah apa sih? Kok Abang seperti berat gitu menyampaikannya. Apakah ada tugas baru yang harus Abang hadapi?” tanyaku.


“Seperti yang sudah kubiang tadi, tiga bulan lagi Kevin akan sepenuhnya memegang kendali perusahaan. Karena dia anak tunggal big boss yang sudah sakit-sakitan itu. Aku pun berusaha mendekati dia sejak beberapa hari belakangan ini. Dengan tujuan, semoga nanti aku dikasih jabatan penting di perusahaan.


“Memangnya apa permintaan Kevin itu Bang?”


“Sebelum menjawab soal itu, aku ingin mengingatkan bahwa kamu pernah menghadiri pesta ulang tahun Kevin dan waktu perayaan anniversary perusahaan kan?”


“Iya, “aku mengangguk sambil mengingat-ingat dua kejadian penting itu.


“Apakah kamu melihat sikap Kevin yang berbeda saat itu?”


“Nggak. Biasa-biasa aja,” sahutku berbohong. Padahal aku memang merasa risih karena di kedua even itu Kevin menatapku terus sambil tersenyum-senyum. Tapi masa soal sekecil itu harus kusampaikan kepada suamiku?


“Kevin sangat tergiur olehmu. Dan akan mendudukkanku di posisi penting dalam perusahaan asalkan… “Bang Abe tidak melanjutkan kata-katanya.


“Asalkan apa?” tanyaku penasaran.


“Asalkan kamu bersedia menemaninya di villa, satu atau dua malam saja.”


“Gila! Mentang-mentang orang tajir melilit! Seenaknya aja meminta istri orang. Memangnya aku ini perempuan apa?”


“Tapi… apa salahnya kalau kita berkorban demi kemajuan kita? Aku yakin kalau permintaannya itu dikabulkan, masa depan kita bakal gilang-gemilang, Sayang.”


“Kevin kan anak konglomerat. Cewek yang seperti bidadari pun bisa didapatkannya. Kenapa harus memilih istri orang?”


“Karena kamu punya daya tarik yang luar biasa, Sayang.”


“Aaaah… aku nggak mau diperlakukan sewenang-wenang oleh siapa pun.”


“Sayang… tadi dia sampai berkali-kali minta maaf dan minta aku tidak tersinggung.”


“Lalu Abang menyetujui keinginannya? Begitu?”


“Belum kusetujui. Aku hanya bilang akan menunggu keputusanmu. Jadi sekarang bola ada di tanganmu. Kalau ingin masa depan kita cemerlang, ikuti saja keinginan Kevin itu. Kamu kan sudah ikut program KB. Jadi pasti Kevin takkan bisa menghamilimu.”


“Baaang…! Aku merinding nih dengernya juga. Udah ah. Abang harus tegas menolaknya. Kalau nanti kedudukan Abang tidak ada perubahan, pindah aja ke perusahaan lain. Kenapa harus ngikutin rencana jahanam seperti itu?”


“Seperti yang kubilang barusan, Kevin berulang-ulang minta maaf, minta agar aku tidak tersinggung. Sama sekali tidak kelihatan arogan. Itu pun kalau kamu mau. Kalau tidak, ya gampang… tinggal laporan aja padanya besok, bahwa kamu tidak mau. Selesai. Tapi resikonya ya gitu itu. Kita akan tetap seperti sekarang ini.


Aku terdiam. Dengan perasaan masih jengkel.


“Orang-orang yang sudah sukses, pasti ada terobosan dengan jalannya masing-masing.”


“Tapi bukan dengan menjual vgina istrinya, kan?”


“Aku juga takkan menjualmu. Meski dibeli berapa pun aku takkan pernah menjualmu,” ucap suamiku sambil membelai rambutku dengan lembut. Membuat keteganganku agak mereda.


“Kalau aku mengikuti omongan Abang, keutuhan dan nilai-nilai suci perkawinan kita pasti akan hancur.”


“Tidak! Bahkan sebaliknya… aku akan semakin mencintaimu, Sayang…”


“Omong kosong. Mana ada suami yang tambah mencintai istrinya setelah si istri dinodai oleh lelaki lain?!”


“Ya buktikan aja nanti. Sebagai lelaki, aku pantang menjilat air ludahku sendiri. Masalahnya, jika kamu melaksanakan rencana yang kuanggap sebagai kesempatan baik itu, aku akan menganggapmu turut membantu kemajuan karierku. Bukan sekadar membiarkan lelaki lain menodaimu.”


Aku terdiam.


| Halaman Berikutnya ==>>



Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top