Aku dan Mbak Nindie habis - habisan di kamar yang sudah kuberikan padanya untuk ditempati itu.
Setelah posisi doggy, Mbak Nindie ingin melakukannya dalam posisi WOT. Maka untuk kesekian kalinya dia orgasme dan orgasme lagi. Sampai akhirnya ia minta untuk kembali ke posisi missionary lagi. Dia di bawah, aku di atas.
Dalam posisi missionary ini pun Mbak Nindie memperlihatkan identitasnya. Bahwa ia suka diperlakukan lebih keras daripada semestinya. Ketika aku meremas toketnya, ia berkata, “Remas aja kuat - kuat… jangan nanggung begitu.”
Aku memang ingin meremasnya lebih kuat, tapi tadinya aku tidak tega, takut menyakiti kakakku. Setelah mendapat “instruksi” seperti itu, aku jadi tega meremas toketnya kuat - kuat, sambil menjilati dan menggigit - gigit leher Mbak Nindie.
Mbak Nindie pun merintih dan merintih lagi, “Ooooh… Cheeepiiii… ini luar biasa enaknya Sayaaaaang… sekalian cupangin leherku sebanyak mungkin Chepi Sayaaang…”
“Nanti ada bekasnya gak apa - apa?”
“Biarin. Aku kan bakal tinggal di sini… di rumah yang masih kosong ini.”
“Mulai minggu depan bakal ada satpam yang menjaga rumah ini Mbak.”
“Iya… gak ada satpam juga aku berani tinggal sendirian di sini. Kamu tau kan siapa aku sebelum nikah dahulu?”
“Heheheee… iyaaaa… aku ingat, dahulu Mbak kan pelatih bela diri… baru ingat sekarang… makanya kalau menghadapi tiga orang aja sih Mbak pasti unggul.”
“Ayo cupangin sayaaang… jangan ngobrol dulu…”
Kuikuti keinginan kakakku itu. Ketika pnisku sedang mengentot liang vginanya, tanganku sedang meremas - remas toket gedenya, mulutku pun mulai menyedot - nyedot leher Mbak Nindie sekuatnya. Sampai meninggalkan bekas merah kehitaman.
Lebih dari lima cupangan kutinggalkan di leher Mbak Nindie. Kemudian aku konsentrasi ke ayunan pnisku lagi.
Bahkan pada suatu saat aku bertanya terengah, “Aku udah deket - deket ngecrot ni Mbak. Lepasin di mana?”
Mbak Nindie menyahut, “Di dalam vgina aja. Aman kok. Tapi tahan dulu sebentar… aku juga udah mau orga lagi Chep… ooooh… usahakan lepasin bareng - bareng yaaa… biar nikmaaaat…”
Lalu aku mengatur pernafasanku agar jangan dulu ngecrot sampai Mbak Nindie memperlihatkan gejala mau orgasme lagi untuk yang kesekian kalinya.
Sampai pada suatu saat, Mbak Nindie mulai berkelojotan sambil menjambak - jambak rambutku. Aku pun menggencarkan entotanku dalam gerakan yang sangat cepat.
Sampai pada suatu saat, kubenamkan pnisku sedalam mungkin sambil meremas sepasang toket Mbak Nindie kuat - kuat.
Lalu terjadilah sesuatu yang sangat indah itu. Bahwa ketika liang vgina Mbak Nindie mengejut - ngejut, pnisku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooooottt… crooot… croooooootttttt… croootttt… crotcrot… crooootttttttt…!
Aku pun terkapar di atas perut Mbak Nindie. Dengan tubuh sama - sama bermandikan keringat.
“Kamu luar biasa Chep. Setelah aku berkali - kali orgasme, kamu baru ngecrot,” kata Mbak Nindie sambil memjat hidungku dengan sikap seperti gemas.
“vgina Mbak terlalu enak sih. Sehingga aku sengaja mengulur waktu agar jangan cepat - cepat ejakulasi.”
“Kamu sengaja mengatur pernafasanmu agar durasinya lebih lama ya?”
“Hehehee… iya. Kalau ahli bela diri seperti Mbak, pasti tau apa yang kulakukan,” kataku sambil mencabut pnisku dari liang vgina Mbak Nindie.
Kemudian kami masuk ke kamar mandi. Dan mandi bareng, sambil saling menyabuni dengan cermat serta penuh kasih sayang. Aku tahu Mbak Nindie sejak aku masih kecil sangat menyayangiku bahkan sering juga menghadiahiku mainan anak - anak.
Wajar kalau kami saling menyayangi karena kalau ditanya bin siapa, kami sama - sama bin Imron (nama Papa), meski berlainan ibu.
Pada waktu Mbak Nindie sedang menyabuni tubuhku, ia berkata, “Biar bagaimana pun kita tidak bisa menjadi suami - istri. Karena itu kita tidak boleh menyimpan perasaan cemburu. Karena pada suatu saat baik aku mau pun kamu bakal punya pasangan masing - masing. Aku punya suami lagi, kamu pun punya istri.
“Tapi kita tetap bisa melakukannya di belakang pasangan kita masing - masing kan Mbak.”
“Bisa, tapi harus secara rahasia. Agar jangan bikin heboh nantinya.”
“Tentu aja. Sekarang pun kita harus merahasiakannya.”
“Sebenarnya saat ini ada yang sangat membutuhkanmu Chep.”
“Membutuhkan apa?”
“Membutuhkan ini,” sahut Mbak Nindie sambil memegang pnisku yang sudah lemas.
“Maksud Mbak?”
“Mbak Susie tuh yang membutuhkanmu… agar bisa menghamilinya.”
“Dia sampai sekarang belum punya anak?”
“Belum.”
“Dia di Sulawesi kan?”
“Sudah di Jakarta bersama suami keduanya.”
“Suami kedua?”
“Iya Dengan suaminya yang dahulu sudah bercerai. Lalu kawin lagi dengan seorang pengusaha tajir, tapi sudah tua.”
Kemudian Mbak Nindie menceritakan keadaan Mbak Susie yang sudah lima tahun menikah dengan seorang pengusaha tua dan tidak juga dikaruniai keturunan.
Ucapan Mbak Nindie itu mengingatkanku kepada Tante Aini, yang mengalami nasib sama. Menikah dengan raja minyak, tapi belum punya anak juga. Padahal ketiga istri lainnya sudah pada punya keturunan semua.
“Tapi ingat… jangan ngomong - ngomong ke Papa. Karewna waktu kawin kedua kalinya itu Mbak Susie pakai wali hakim. Bukan Papa walinya. Jadi sampai saat ini Papa belum tau kalau Mbak Susie itu sudah kawin lagi.”
Lalu banyak lagi yang Mbak Nindie ceritakan mengenai Mbak Susie.
Kemudian Mbak Nindie bertanya, “Ohya, mengenai satpam yang mau menjaga rumah dan kantor ini nanti, sudah dapat satpamnya?”
“Belum nyari,” sahutku, “rencananya besok baru akan mendatangi biro jasa yang menyediakan tenaga untuk satpam.”
“Padahal aku bisa merekrut beberapa orang untuk satpam. Semuanya dijamin tangkas, tapi semuanya cewek,” ucap Mbak Nindie.
“Boleh. Mbak aja yang siapin satpamnya ya. Terutama untuk di kantor, tanggal satu bulan depan akan mulai sibuk.”
“Kira - kira butuh berapa orang?” tanya Mbak Nindie.
“Enam atau tujuh orang lah. Lalu dikasih shift, atur aja sama Mbak nanti. Bahkan Mbak sekalian kuangkat menjadi kepala security, bersedia?”
“Nggak apa jadi kepala security merangkap bagian kitchen?”
“Boleh - boleh aja. Mbak kan kakakku. Kita bisa atur semuanya.”
“Tapi yang akan kurekrut untuk anggota satpam itu cewek semua. Mereka adalah mantan murid - muridku waktu aku masih aktif menjadi pelatih beladiri dahulu.”
“Yang penting mereka semua mampu mengamankan rumah dan kantor ini. Mau cowok atau cewek boleh aja.”
Sebenarnya aku masih mampu untuk mengajak Mbak Nindie bersetubuh lagi. Tapi aku teringat pada Mama Aleta yang pasti meminta “sesuatu” nanti setelah aku pulang ke rumah Bu Shanti. Karena itu aku meninggalkan Mbak Nindie di rumah hadiah dari Tante Aini itu. Tentu saja aku memberi uang ala kadarnya dulu kepada Mbak Nindie, untuk kebutuhan sehari - harinya di rumah megah itu.
Tentang Mbak Susie, Mbak Nindie bilang bahwa ia akan berunding dulu lewat handphone. Nanti kalau sudah ada persetujuan, pasti Mbak Susie akan meneleponku, yang nomornya akan diberikan oleh Mbak Nindie kepada kakak sulung kami itu.
Setibanya di rumah Bu Shanti, jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Jadi aku masih bisa mengikuti permintaan Mama Aleta, agar jangan pulang terlalu malam.
Seperti yang telah kuprediksi sebelumnya, setelah aku mandi malam di kamar Bu Shanti, ternyata Mama Aleta sudah menungguku di ruang keluarga. Dengan senyum seorang wanita yang sedang naik birahi.
Untunglah aku tidak terlalu habis - habisan dengan Mbak Nindie tadi, sehingga aku masih menyisakan spirit dan energi untuk menyetubuhi Mama Aleta.
Bahkan di malam - malam selanjutnya, Mama Aleta selalu menggugahkan kejantananku untuk menggaulinya.
Sampai akhirnya Bu Shanti pulang dari Singapore, dengan oleh - oleh yang cukup banyak.
Tadinya kukira Bu Shanti akan membahas masalah hubunganku dengan Mama Aleta. Tapi ternyata tidak sama sekali. Bu Shanti malah memperlihatkanh surat keputusan universitasnya di UK, bahwa Bu Shanti mendapatkan beasiswa untuk meraih program doctornya di Inggris.
Secara kebetulan di Singapore Bu Shanti ketemu dengan rektornya yang dari Inggris itu. Dan langsung menyatakan persetujuannya untuk memberikan beasiswa kepada Bu Shanti, untuk mengejar program doctornya.
“Kalau diijinkan oleh universitas kita, minggu depan aku akan langsung terbang ke London,” kata Bu Shanti di ujung penuturannya.
Bu Shanti mencium sepasang pipiku, kemudian bertanya, “Kok dari tadi diem aja? Gak setuju kalau aku meraih es-tigaku di Inggris?”
“Aku tak boleh menentang kjemajuanmu Beib. Cuma kebayang aja nanti aku bakal kesepian kalau Mamie sudah terbang ke London. Kan nggak cukup setahun untuk kuliah lagi di sana?!”
“Papie kan banyak duit. Kalau kangen sama aku, terbang aja ke UK.”
“Nggak mungkin bisa Beib. Mulai tanggal satu bulan depan, aku akan sangat sibuk mengurus perujsahaan punya tanteku. Bahkan kuliah pun mungkin akan cuti dulu satu tahun, karena aku akan sangat sibuk di perusahaan nanti.”
“Kalau begitu, ketika kamu sedang kangen sama aku, ada Mama di sini. Mama akan kularang meninggalkan rumjah ini sampai aku menyelesaikan pendidikanku di Inggris nanti. Dia bisa menggantikan peranku kan?”
“Dan Mamie mau kangen - kangenan sama orang bule di Inggris?”
Bu Shanti tampak marah dengan ucapanku itu. “Kamu meragukan kesetiaanku padamu?” tanyanya dengan nada tinggi.
Aku menghela nafas, “Yaaaahhhh… whatever will be, will be.”
Dalam kenyataannya, Bu Shanti terbang juga ke London, karena akhirnya aku mengijinkannya dan bahkan mendukungnya agar cepat mengejar program S3 nya di Inggris.
Aku bahkan mengantarkan Bu Shanti ke bandara Soetta, sampai dia mau boarding.
Setelah Bu Shanti masuk ke dalam, aku pun melambaikan tangan sambil melakukan kiss bye (sun jauh). Kemudian meninggalkan gerbang keberangkatan itu.
Tiba - tiba aku mendengar suara perempuan memanggilku, “Cheepiii… !”
Dengan kaget aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Seorang wanita muda bergaun orange dengan motip taburan bintik - bintik putih menghampiriku.
“Mbak Susie?!” sapaku setelah wanita muda itu berdiri di depanku.
“Iya… masa lupa sama kakakmu sendiri?” sahutnya sambil merentangkan kedua lengannya.
Tanpa ragu aku pun menghambur ke dalam pelukannya.
Mbak Susie malah tak ragu untuk mencium sepasang piupiku, lalu mencium bibirku dengan hangatnya. “Kamu makin tampan aja Chep… !” ucapnya setelah melepaskan ciumannya.
“Mbak juga makin cantik aja. Dan… tetap muda,” sahutku, “Kalau berdampingan dengan Mbak Nindie, Mbak Susie kelihatan jauh lebih muda.”
“Hush… usiaku sebaya dengan Mamie lho.”
“Tapi kalau Mbak berdampingan dengan Mamie, pasti orang mengira Mbak jauh lebih muda daripada Mamie.”
“Begitu ya… mmm… lagi ngapain ada di sini?”
“Abis nganterin dosenku yang mau terbang ke London. Mbak sendiri mau ngapain di sini?”
“Abis nganterin suamiku yang mau terbang ke Tashkent. Nanti transit dulu di Dubai.”
“Tashkent Uzbekistan?”
“Iya. Ibunya kan orang Uzbekistan.”
“Owh begitu ya.”
Sebenarnya dalam seminggu belakangan ini aku sering main WA dengan Mbak Susie, tapi gak nyangka b akal ketemu di bandara ini.
“Sekarang kamu mau lanjut ke mana?”
“Mau pulang Mbak. Mau ikut?”
“Jangan hari ini. Ada urusan yang harus diselesaikan dulu di rumah. Besok aja kita ketemuan di villaku, di Puncak. Gimana?”
“Boleh. Puncaknya di mana?”
“Dekat Puncak Pass,” sahut Mbak Susie yang lalu menjelaskan letak villa dan ciri - cirinya secara lengkap.
“Besok kan hari Jumat. Jadi sorenya sudah masuk weekend. Kita weekend-an di villaku aja. Oke?”
“Iya Mbak. Nanti kalau tersesat, aku call Mbak aja.”
“Oke. Kamu nyetir sendiri?”
“Iya Mbak.”
“Hati - hati di jalan ya. Gak usah ngebut.”
“Iya Mbak.”
Kemudian aku mencium tangan dan cipika - cipiki lagi dengan Mbak Susie. Pada saat cipika - cipiki itulah aku mendengar bisikan Mbak Susie, “Aku siap dihamili olehmu Chep.”
“Aku juga siap melakukan yang terbaik buat Mbak,” sahutku sambil tersenyum.
Dalam perjalanan pulang ke kotaku, wajah cantik Mbak Susie terus - terusan membayangi pikiranku. Memang benar usia Mbak Susie sebaya dengan usia Mamie. Tapi dia benar - benar awet muda, sehingga tampak jauh lebih muda daripada Mamie. Apakah karena Mbak Susie belum pernah “turun mesin” melahirkan? Ataukah karena dia selalu merawat tubuh tinggi langsingnya?
Aku tiba di rumah Papa ketika Mamie sudah tidur. Maka aku pun langsung masuk lewat pintu yang kuncinya selalu kubekal, memasukkan mobilku ke garasi dan langsung nyungsep di bedku.
Besok paginya, setelah mandi kuambil dua set pakaian untuk ganti dan kumasukkan ke dalam ranselku. Lalu menghampiri Mamie yang sedang menikmati bubur ayam di ruang makan.
“Jam berapa tadi malam pulang?” tanya Mamie sambil memperhatikanku yang sudah siap pergi lagi.
“Jam setengah dua belas Mam. Sekarang kandungan Mamie udah berapa bulan?”
Tiga bulan kurang seminggu.”
Kucium pipi Mamie lalu membisikinya, “Semoga Mamie dan anak kita tetap sehat sampai lahir dengan selamat dua - duanya.”
“Amiiin,” sahut Mamie, “Ohya… si Keyla suka nanyain tuh. Kayaknya dia naksir kamu Chep.”
“Keyla? Siapa itu Keyla?” tanyaku bingung.
“Lho… belum kenalan sama sekretaris baru mamie ya?”
“Sekretaris baru? Sekretaris Mamie kan Bu Tuti.”
“Bu Tuti sudah jadi bagian marketing. Makanya mamie merekrut sekretaris baru. Ya Keyla itu.”
“Belakangan ini kamu jarang ada di rumah sih.”
“Iya. Lagian ruang tamu kan udah dijadikan kantor sama Mamie. Aku tiap kali keluar masuk rumah selalu lewat pintu samping. Jadi gak pernah merhatiin suasana di dalam kantor Mamie.”
“Cantik lho Keyla itu. Mamie setuju kalau dia dijadikan pacarmu.”
“Mamie kok ngomongnya gitu. Emangnya Mamie udah gak cinta lagi ya sama aku?”
“Cinta mamie padamu takkan luntur sampai kapan pun. Tapi kita kan hanya sebatas punya hubungan rahasia. Takkan bisa naik ke pelaminan. Makanya mamie akan mendukung kalau ada cewek yang bisa kamu cintai.”
“Sudah ada Mam. Tapi dia baru saja terbang ke Inggris untuk mengejar es-tiganya.”
“Ngejar es-tiga? Sudah tua dong.”
“Dua tahun lebih muda darik Mamie.”
“Kamu lebih suka sama wanita yang usianya lebih tua ya?”
“Iya.”
“Sejak kapan kamu seperti itu?”
“Sejak punya hubungan rahasia sama Mamie.”
“Hihihiii kamu… hai… mau ke mana lagi Sayang?”
“Mau ke Bogor Mam. Ada urusan perusahaan.”
“Ogitu ya. Semoga sukses bisnisnya, ya Sayang.”
Beberapa saat kemudian aku sudah berada di dalam sedan hitamku, menuju rumah megah dari Tante Aini itu.
Sebenarnya aku ingin menengok Mbak Nindie yang sudah merekrut 7 orang satpam yang semuanya wanita itu. Tapi sebelum tiba di rumahku, tiba - tiba aku ingat sahabat karibku yang sudah sangat lama tidak berjumpa.
Niko. Ya, Niko itu sahabatku sejak kecil. Tapi sejak aku duduk di bangku SMA sampai sekarang tak pernah berjumpa lagi.
Usia Niko 3 tahun lebih tua dariku. Tapi dia benar - benar sahabatku yang selalu kompak denganku dahulu.
Kalau dia belum punya pekerjaan tetap, apa salahnya kalau aku merekrutnya untuk dijadikan tangan kananku di perusahaan punya Tante Aini itu?
Niko bisa dipercaya dalam segala hal. Aku yakin itu.
Maka mobilku pun dibelokkan arahnya menuju rumah orang tua Niko, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah hadiah dari Tante Aini itu.
Rumah orang tua Niko masih tetap seperti dahulu. Hanyha cat dindingnya saja yang berubah. Dahulu cat dindingnya berwarna biru langit, sekarang berwarna coklat tua, sesuai dengan pintu dan jendelanya yang terbuat dari kayu jati dan diplitur mengkilap.
Kumasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya yang di kanan kirinya ada pohon sirsak, masih seperti dahulu.
Seorang wanita 40 tahunan muncul di ambang pintu depan. Memperhatikanku yang baru turun dari mobilku. Aku masih ingat benar, wanita itu adalah mamanya Niko yang biasa kupanggil Tante Lien.
Setelah menghampirinya di teras depan, Tante Lien seperti sedang mengingat - ingat aku yang sudah lama tidak mengunjungi rumahnya.
“Tante masih ingat saya?” tanyaku dengan sikap sopan.
“Siapa ya? Rasa - rasa pernah lihat, tapi lupa lagi,” sahutnya.
“Aku Chepi Tante.”
“Ya Tuhaaan… kamu Chepi? Sobatnya Niko dahulu?”
“Iya Tante,” sahutku sambil menjabat dan mencium tangannya.
“O my God! Chepi sekarang sudah gede, jadi jauh berubah. Jadi jauh lebih tampan begini. Ayo masuk Chep.”
Aku mengangguk, lalu masuk ke ruang tamu rumah Tante Lien. Dan duduk di sofa ruang tamu setelah dipersilakan duduk oleh Tante Lien.
“Niko ada Tante?” tanyaku.
“Niko baru aja berangkat kerja,” sahut wanita keturunan Tionghoa itu sambil duduk di sofa yang berhadapan dengan sofaku.
“Owh… udah kerja? Kerja di mana?”
“Cuma jadi buruh pabrik Chep. Setelah ayahnya meninggal, dia nyari kerja dan tidak melanjutkan sekolahnya.”
“Owh, Oom sudah meninggal. Aku ikut prihatin mendengarnya. Kalau tidak salah, Niko melanjutkan sekolahnya ke SMK, ya Tante.”
“Iya. Setamatnya SMK dia langsung nyari kerja. Karena tidak punya uang untuk membiayai kuliah segala macam,” sahut Tante Lien ytang lalu menengok ke dalam sambil berseru, “Nike! Liat nih ada siapa?”
Terdengar suara cewek menyahut dari dalam, “Ya Mam.”
Lalu muncullah seorang cewek tinggi langsing bermata sipit dan cantik sekali. Ia memperhatikanku sebentar lalu berkata ragu, “Ini Chepi bukan?”
“Iya. Apa kabar Nik?” aku berdiri dan berjabatan tangan dengan cewek yang sebaya denganku itu.
“I am fine. Duuuh Chepi kok jadi tampan gini sih?! “sambut Nike dengan sikap familiar.
“Dari dulu juga tampan kali. Heheheheee… dan kamu… jadi cantik sekali… kayak artis Korea…”
“Aku juga dari dulu cantik kok,” sahut Nike sambil duduk di samping ibunya.
“Tapi dulu kamu cengeng sekali. Dikit - dikit nangis. Sekarang Nike masih cengeng Tante?”
“Nggak dong. Sekarang kan udah gede,” sahut Tante Lien.
“Sayang Niko lagi kerja ya. Kalau ada dia pasti rame nih, “sambung Nike.
“Iya. Kangen sekali sama Niko. Tadinya sih mau sekalian ngajak kerja di perusahaanku. Tapi Niko udah kerja ya?”
“Chepi udah punya perusahaan sendiri? Pantesan mobilnya juga mobil keren tuh,” ucap Nike.
“Kalau mau nawarin kerja, mendingan Nike tuh tempatin Chep,” kata Tante Lien, “Dia kan kuliah nggak, kerja juga nggak.”
“Kalau Nike mau, boleh aja,” sahutku.
“Perusahaannya bergerak di bidang apa Chep? “tanya Nike.
“Kegiatan utamanya ekspor pakaian ke beberapa negara di Timur Tengah. Nggak ribet kok kerjanya. Cuma ngecek pakaian yang akan dikirim. Perusahaannya baru akan dibuka tanggal satu bulan depan.”
“Terus… kalau aku kerja di perusahaanmu, bakal dijadiin apa?” tanya Nike.
“Bisa aktif di komputer gak?”
“Bisa dong. Bikin program juga bisa.”
“Aku akan menempatkanmu sebagai sekretaris. Tapi sambil ikut pendidikan sekretaris. Gak usah muluk - muluk, ambil de-satu juga boleh. Biar setahun selesai.”
“Mau… mau! Aku mau jadi sekretaris. Kerjanya kan gak berlepotan kayak Koko Niko.”
“Ya udah. Sebelum tanggal satu bulan depan, datang aja ke alamat ini. Untuk mengikuti pengarahan awal dulu,” kataku sambil menyerahkan secarik kartu nama.
Nike menjemput kartu namaku sambil bertanya, “Boleh tau gak, gajiku berapa nanti?”
“Dua kali lebih besar dari UMR ditambah dengan uang makan.”
“Asyiiik… !” wajah cantik Nike tampak ceria.
“Tapi kantorku kecil Nik. Cuma satu ruangan. Karyawannya juga hanya sepuluh orang,” kataku.
“Nggak apa,” sahut Nike, “Daripada jadi kambing di kandang macan, mending jadi macan di kandang kambing.”
“Hahahaaa… iya juga tuh. Bekerja di perusahaan besar, kalau cuma jadi OG mendingan jadi sekretaris di perusahaan kecil. Tapi kalau perusahaanku ada perkembangan yang positif, bisa saja nanti bangun kantor baru, sesuai dengan kebutuhannya.”
“Berarti mulai sekarang aku harus manggil Boss sama Chepi ya?”
“Alaaa… biasa aja. Gak usah terlalu protokoler. Ohya… bahasa Inggrismu lancar?”
“Kalau bahasa Inggris sih lancar. Kan sejak masih di SMP aku ikutan kursus bahasa Inggris.”
“Lengkaplah sudah kalau gitu. Soalnya surat - menyurat dengan pihak importir di Timur Tengah menggunakan bahasa Inggris semua.”
“Ohya?! Untung gak pakai bahasa Arab. Kalau pake bahasa Arab, mati aku… !”
“Bahasa Mandarin bisa?”
“Cuma sepatah dua patah kata. Kami kan orang hoakiau. Biasanya kalau orang Kek, bisa berbahasa Mandarin,” sahut Nike.
“Ya udah, soal itu sih gak penting,” kataku, “Yang terpenting, ikuti program de-satu kesekretarisan ya. Biaya pendidikannya aku yang nanggung nanti.”
“Siap Boss,” sahut Nike dengan sikap formal.
Aku tersenyum menyaksikan sikap Nike itu. Lalu berkata, “Kalau gitu aku mauj pamit dulu ya.”
“Eee… kenapa buru - buru amat Chep? Disuguhin minum juga belum,” kata Tante Lien.
“Biar aja gak usah repot - repot Tante,” sahutku.
“Sekarang mau ke kantor?” tanya Nike.
“Iya,” sahutku.
“Boleh aku ikut? Kan biar tau suasana tempat kerjanya nanti.”
“Ayo kalau mau ikut sih,” sahutku.
Beberapa saat kemudian Nike sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang tengah kukemudikan. Tapi aku tidak langsung menuju rumah dan kantor pemberian Tante Aini itu. Aku membelokkannya di pelataran parkir sebuah rumah makan padang besar.
“Kita sarapan dulu ya. Suka masakan padang gak?” tanyaku.
“Suka. Terutama rendang dan gulai kikilnya,” sahut Nike.
“Hihihiii… seleramu sama dengan seleraku,” ucapku sambil mematikan mesin mobil. Kemudian kami turun dan masuk ke dalam rumah makan itu.
Kami duduk berhadapan, sehingga aku bisa sepuasnya memperhatikan betapa cantiknya adik Niko itu.
“Kamu udah punya pacar?” tanyaku ketika makanan belum dihidangkan di meja kami.
“Nggak punya.”
“Masa sih cewek secantik kamu gak punya pacar?!”
“Serius,” sahut Nike, “Jadikan aku pacarmu aja Chep.”
Aku agak tersentak mendengar ucapan adik Niko itu. Lalu kataku, “Pacaran doang sih gak ada gunanya. Buang - buang waktu doang. Makanya aku gak nyari calon pacar, tapi calon istri.”
“Ya udah. Jadiin aku calon istrimu.”
“Kalau jadi istriku, kamu harus jadi mualaf dulu.”
“Siap jadi mualaf. Saudara Mama banyak kok yang jadi mualaf.”
“Serius nih?” tanyaku ragu, karena aku lihat Nike itu cantik sekali. Bahkan mungkin terlalu cantik bagiku. Orang Tionghoa pula. Namun dengan cepat aku membayangkan, kalau Nike jadi istriku… pasti keren…!
“Kita sudah saling kenal sejak bertahun - tahun yang lalu. Masa aku gak serius dalam hal yang sangat penting ini,” sahut Nike.
Maka kujulurkan tanganku di atas meja sambil bertanya, “Berarti kita jadian nih?”
Nike menjabat tanganku sambil, tersenyum manis. “Iya. Mulai saat ini aku siap dijadikan calon istrimu Chep.”
Tangan Nike yang masih memegang tanganku terasa halus dan hangat. Senyum manisnya pun terasa hangat. “Kita sudah lama gak berjumpa, sekalinya ketemu lagi langsung jadian ya?”
“Dan yang nembak duluan aku ya?”
“Iya. Kalau kamu gak nembak, aku gak berani nembak duluan.”
“Kenapa? “Nike tampak heran.
“Karena kamu cantik sekali… bahkan terlalu cantik bagiku. Jadi takut ditolak.”
Nike tersenyum manis dan berkata perlahan, “Kamu juga tampan sekali Chep… makanya aku nekad nembak duluan. Takut kamu keburu nembak cewek lain.”
“Tapi dari mana kamu yakin bahwa aku belum punya pacar?”
“Dari ucapanmu sendiri,” sahut Nike, “Tadi kamu nanya aku udah punya pacar belum? Pertanyaan seperti itu biasanya diucapkan oleh cowok yang naksir kepada si cewek. Dan berharap sama - sama jomblo.”
“Iya… “gumamku tepat pada saat pelayan menghidangkan makanan di meja kami. Seperti biasa, semua makanan yang ada di rumah makan padang suka dihidangkan. Nanti tinggal menghitung apa saja yang dimakan oleh konsumennya.
Pada waktu makan, seringkali aku memperhatikan wajah Nike. Kalau kebetulan Nike memandangku juga, kami jadi sama - sama tersenyum.
Semua ini memang di luar dugaanku. Bertamu untuk menjumpai Niko, malah mendapatkan adiknya sebagai calon istriku.
Lalu bagaimana dengan Bu Shanti?
Entahlah… setelah Bu Shanti terbang ke Inggris, gairahku jadi melemah. Karena aku punya teman yang ayahnya mengejar S3 di Jerman. Sampai 4 tahun belum pulang - pulang juga.
Lalu kalau Bu Shanti lebih dari 3 tahun berada di Inggris, adakah jaminan bahwa dia masih mencintaiku?
Lagian aku disebut sebagai “calon suami” kepada Mama Aleta hanya sekadar pura - pura belaka. Karena Bu Shanti ingin menghindari perjodohannya dengan lelaki tua itu. Sementara aku sendiri belum pernah menyiapkan mental untuk menjadi seorang suami di usia yang masih “mentah” ini.
Maka kini jadianku dengan Nike, bukanlah suatu pengkhianatan.
Begitu juga setelah makan dan masuk kembali ke dalam mobilku, kuciumi tangan Nike lalu berkembang menjadi ciuman di pipinya, aku tak merasa berkhianat kepada siapa pun.
Ketika kuperkenalkan Nike kepada Mbak Nindie, kelihatannya tiada ketegangan sedikit pun di wajah Mbak Nindie. Terlebih lagi setelah aku berkata kepada Nike, bahwa Mbak Nindie itu kakakku, wajah cantik Nike semakin cemerlang di mataku.
Setelah melihat - lihat ruang kerja Nike nanti, kelihatan sekali Nike bersemangat untuk bekerja di perusahaanku, sekaligus akan menjadi kekasih tercintaku. Ruang kerja Nike itu bersatu dengan ruang kerjaku. Kebetulan di samping pavilyun itu ada ruangan nganggur. Maka aku mnenyuruh tukang tembok untuk menjebol dindingnya dan dipasang pintu menuju pavilyun.
Yang jelas, Nike akan kujadikan “target” seriusku. Bukan sekadar tempat untuk melampiaskan nafsu birahiku.
Kemudian Nike kuantar ke rumahnya kembali. Aku tidak turun, karena harus segera berangkat ke Puncak. Di hari Sabtu begini, biasanya jalan menuju Puncak itu macet. Karena itu aku harus berangkat lebih cepat dari biasanya.
Menjelang jam lima sore, aku baru tiba di depan villa Mbak Susie. Di depan villa yang dikelilingi pagar hidup tinggi (bambu pring) itu, sudah ada mobil yang lebih mahal daripada mobilku. Sama - sama dari Eropa, tapi mobil Mbak Susie made in England, sedangkan mobilku built up Jerman.
Di ambang pintu depan villa tampak Mbak Susie sudah berdiri, dalam gaun dalam yang aduhai… gaun hitam yang sangat transparan. Sehingga aku bisa menyaksikan payudaranya yang takj berbeha, bisa menyaksikan celana dalamnya yang berwarna hitam juga.
Memang sekujur tubuh Mbak Susie jauh berbeda jika dibandingkan dengan Mbak Nindie. Mbak Susie ini berperawakan tinggi langsing. Toketnya pun sedang - sedang saja. Tidak segede toket Mbak Nindie. Namun jelas bahwa Mbak Susie ini awet muda. Sementara wajahnya pun lebih cantik daripada wajah Mbak Nindie.
“Nggak susah ya nyari villa ini walau pun masuk ke dalam jalan kecil?” sapa Mbak Susie dengan senyum manis di bibirnya.
Aku bahkan terlongong menyaksikan kecantikan dan keawet-mudaan kakak seayah berlainan ibu itu.
“Kenapa malah bengong?” tanya Mbak Susie sambil memegang kedua pergelangan tanganku.
“Sulit dipercaya bahwa Mbak seumuran dengan Mamie. Karena Mbak tampak seperti belum duapuluh tahun.”
“Syukurlah kalau aku tampak muda di matamu,” sahut Mbak Susie sambil mengecup bibirku. Lalu mengajakku masuk ke dalam villa.
“Sopirnya nunggu di mana?” tanyaku.
“Aku nyetir sendiri, gak bawa sopir. Soalnya ini kan sangat pfribadi… sangat rahasia. Sebaiknya sopir jangan sampai tau.”
“Iya iyaaa… “tanggapku sambil duduk di sofa ruang tamu villa.
“Rencananya kita mau nginap di sini sampai Senin pagi kan?” tanya Mbak Susie sambil duduk di pangkuanku, menghadap ke arahku. Spontan kurengkuh dan kudekap pinggangnya, untuk menjaga agar jangan sampai dia terjengkang ke belakang.
“Apa pun keputusan Mbak, aku ikut,” sahutku sambil menggores - goreskan bibirku ke bibir Mbak Susie yang sensual. Mbak Susie pun memagut bibirku, lalu melumatnya dengan hangat.
Awalnya aku merasa agak risih. Karena biar bagaimana pun juga Mbak Susie itu adalah kakak sulungku dari pihak Papa. Tapi berkat kelincahan Mbak Susie, suasana pun menjadi cair. Dan tanpa ragu lagi kubopong Mbak Susie menuju pintu kamar yang sudah terbuka, pintu yang Mbak Susie tunjuk.
Di kamar itulah Mbak Susie memperlihatkan toketnya yang tidak besar namun tidak terlalu kecil juga. Bahkan tanpa ragu Mbak Lies melepaskan celana dalam hitamnya, laluj memperlihatkan bentuk kemaluannya yang berjembut pendek - pendek di atas clitorisnya.
“Suamiku melarang menggunduli vginaku. Dia berkeras harus ada jembut yang disisakan seperti ini,” kata Mbak Susie.
“Gak ada masalah Mbak. Gundul atau gondrong punya kelebihan masing - masing,” sahutku sebagai tanggapan. Lagian memang jembut Mbak Susie ada di bagian atas clitorisnya. Jadi kupikir takkan mengganggu kalau aku ingin menjilati vginanya.
Setelah telanjang bulat, Mbak Susie menelentang sambil merentangkan kedua lengannya dan berkata, “Ayo mau diapain aku ini sekarang?”
Aku tersenyum sambil melepaskan segala yang melekat di tubuhku. Tinggal celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku.
Tanpa basa - basi lagi aku merayap ke atas perut dan dada Mbak Susie, lalu memagut bibirnya ke dalam lumatanku. Ketika tanganku ikut aktif untuk meremas toketnya, Mbak Susie pun membalas lumatanku dengan hangatnya. Suasana romantis pun mulai terasa. Semakin terlupalah aku bahwa Mbak Susie itu kakak seayahku.
“Toketku gak segede toket Nindie ya?” bisiknya.
Aku yang sudah tahu bahwa Mbak Nindie telah membuka rahasia kepada Mbak Susie, menyahut, “Tapi toket Mbak masih kencang, seperti toket gadis duapuluhan.”
Pada saat yang sama tangan Mbak Susie menyelinap ke balik celana dalamku. Dan tersentak setelah menggenggam pnisku yang sudah mulai ngaceng ini. “Haaa?! Nindie gak bilang kalau pnismu sepanjang dan segede ini…”
Aku tidak menanggapinya. Tapi Mbak Susie langsung duduk sambil melepaskan celana dalamku. Kemudian mendorong dadaku agar celentang.
Kuikuti saja ke mana arah keinginan kakakku itu.
Ia mulai menjilati leher dan moncong pnisku. Lalu ia mengulum batang kemaluan ngacengku ini. Dan mulai mengoralnya dengan trampil.
Mungkin Mbak Susie sudah terbiasa mengoral suaminya yang sudah tua, sekadar untuk membangkitkan ereksinya. Tapi aku masih muda. Duapuluh tahun pun belum. Aku tidak butuh dioral, bahkan ingin mengoral vgina Mbak Susie.
Maka kutunggu selama beberapa menit Mbak Susie menyelomoti pnisku. Kemudian giliranku untuk mendorong dada Mbak Susie agar celentang. Lalu mulutku nyungsep di permukaan vginanya yang berjembut pendek - pendek di atas kelentitnya.
Lidahku sudah cukup terlatih, sudah mengerti bagian mana yang harus kujilati secara intensif. Maka aku hanya sebentar menjilati bagian dalam vgina Mbak Susie yang berwarna pink itu. Kemudian menjilati kelentitnya habis - habisan. Terkadang malah disertai sedotan - sedotan sehingga kelentit Mak Susie jadi agak “mancung”.
Tentu saja Mbak Susie menggeliat - geliat terus sambil merintih - rintih histeris.
Bahkan pada suatu saat Mbak Susie memegang kepalaku sambil berkata terengah - engah, “Aaaa… aaaaah… udah cukup Chepiii… udah basah banget nih… masukin aja pnismu Cheeep… aaaaaaah… pakai pnis aja Cheeeep… aaaaaah…”
Tanpa buang - buang waktu lagi, kuletakkan moncong pnisku di ambang mulut vgina Mbak Susie.
Seperti gak yakin kalau aku bisa mengarahkan moncong penisku, Mbak Susie ikut memegang leher pnisku, lalu mencolek - colekkan moncongnya sambil agak ditekan.
Kemudian ia memberi isyarat dengan kedipan matanya.
Aku pun mendorong pnis ngacengku sekuat tenaga. Dan melesak sedikit demi sedikit ke dalam liang vgina Mbak Susie.
“vgina Mbak luar biasa… kayak vgina gadis aja…” ucapku setelah berhasil membenamkan pnisku lebih dari separohnya.
Mbak Susie menyahut, “Masalahnya pnismu kegedean Chep. Nanti istrimu pasti selalu puas punya suami pnisnya segede pnis kuda gini sih. Hihihiiii… ayo entotin Cheeeep…”
Aku pun mulai mengayun pnisku, bermaju mundur di dalam liang vgina Mbak Susie yang terasa sangat sempit dan menjepit ini.
Sambil mengentot aku pun mulai menyelomoti pentil toket kiri Mbak Susie, sementara tangan kiriku mulai meremas - remas toket kanannya yang laksana toket gadis belasan tahun saking padatnya (meski tidak segede toket Mbak Nindie).
“Aaaaa… aaaaah… pnismu luar biasa terasanya… terasa menggesek - gesek liang vginaku Cheeepiii… ini enak sekali Cheeeeep… ooooh… semoga dari enak menjadi anak ya Cheeep…”
“Aaaa… amiiiin…” sahutku sambil menahan tawaku.
Makin lama entotanku semakin lancar, karena liang vgina Mbak Susie sudah “beradaptasi” dengan ukuran batang kemaluanku.
Rintihan - rintihan histeris Mbak Susie pun semakin erotis terdengarnya di telingaku.
“Entot teruuuuussss Cheeepiiiii… entooot teruuuussss… aaaa… aaaaah… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaaa… entooottttt… entooooottttttt… entooootttttttt… iyaaaaa… iyaaaa… luar biasa enaknya pnismu ini Cheeeep… entooottttt… entooootttt…”
Tubuh Mbak Susie pun menggeliat - geliat dan mengejang - ngejang terus, seperti ular yang terinjak kepalanya.
Terlebih setelah aku mulai menjilati leher jenjangnya, disertai dengan gigitan - gigitan kecil yang tidak menyakitkan. Sementara tanganku semakin giat meremas - remas toketnya.
Bahkan ketika tangan Mbak Susie berada di samping kepalanya, kujilati ketiaknya yang licin dan harum deodorant ini. Disertai dengan sedotan - sedotan kuat, yang membuat Mbak Susie semakin menggelepar - gelepar.
Permainan surgawi ini berlangsung cukup lama. Sehingga keringat pun mulai membasahi tubuh kami.
Mbak Susie tampak begitu bergairah menikmati entotanku, sehingga berkali - kali bibirku dipagut dan dilumatnya, disusul dengan bisikan, “Aku makin sayang saama kamu Cheeep… sayang sekaliii Cheeep… oooohhhh… ini luar biasa enaknyaaa…”
Mbak Susie benar - benar penuh gairah waktu meladeni entotanku. Terkadang ia meremas - remas rambutku sampai acak - acakan dibuatnya. Terkadang ia juga meremas bahuku. Dan bahkan ia pun tak sungkan - sungkan untuk meremas pantatku dengan ekspresi seperti sedang gemas.
Bukan cuma itu. Ternyata Mbak Susie pun trampil menggoyang pinggulnyha, dengan gerakan memutar - mutar dan meliuk - liuk. Terkadang vginanya menengadah ke langit - langit kamar villa, terkadang juga menukik dan bokongnya menghempas ke atas kasur. Dalam gerakan yang satu ini, dengan sendirinya kelentit Mbak Susie bergesekan terus dengan batang kemaluanku.
Tapi kali ini aku ingin mengikuti “ajaran” orang - orang. Bahwa kalau untuk tujuan menghamili, aku harus mengusahakan agar ejakulasiku berbarengan dengan orgasme pasanganku.
Maka diam - diam aku memperhatikan perilaku Mbak Susie waktu menikmati entotanku ini. Dan ketika ia mulai berkelojotan, aku pun mempercepat entotanku. Dengan tujuan ingin secepatnya ejakulasi.
Aku sudah cukup berpengalaman untuk mengulur atau mempercepat ejakulasiku.
Maka ketika sekujur tubuh Mbak Susie mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas… dengan nafas yang tertahan beberapa detik… aku pun menancapkan kontrolku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang vgina Mbak Susie.
Lalu terjadilah sesuatu yang terlalu indah dan sulit dijelaskan dengan kata - kata belaka itu. Bahwa ketika liang vgina Mbak Susie terasa berkedut - kedut kencang, pnisku pun mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croooootttttt… crooooooootttttt… cretcretttttt… crooootttttt… crooootttt… crooootttt…!
“Aaaaahhhhhhh… “Mbak Susie mendesah, kemudian terkapar lunglai. Begitu pula aku, mendengus - dengus lalu terkapar di atas perut Mbak Susie.
“Terima kasih sayang… ternyata kamu luar biasa memuaskanku… mudah - mudahan aku bisa hamil olehmu yaaa… emwuaaaaah …“ucap Mbak Susie disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
“Tapi tiada jaminan langsung jadi Mbak. Mungkin setelah puluhan kali kita bersetubuh, barulah Mbak bisa hamil,” sahutku sambil menarik pnisku sampai terlepas dari liang vgina Mbak Susie.
Cepat Mbak Susie menutup vginanya dengan telapak tangannya. Mungkin untuk menahan spermaku agar tetap berada di dalam liang sanggamanya dan jangan mengalir ke luar.
“Bukan sekadar ingin hamil… kamu sangat pandai menemukan titik - titik sensitifku. Ereksimu sempurna. pnis panjang gedemu luar biasa enaknya. Aku pasti ketagihan nanti Chep.”
“Kalau Mbak gak kepengen hamil sih, sebenarnya aku masih bisa bertahan jauh lebih lama dari yang barusan. Tapi karena Mbak ingin hamil, kupaksakan agar bisa mencapai puncaknya secara bareng - bareng.”
“Bersetubuh itu bukan harus lama. Yang paling penting, pihak wanita harus mencapai orgasme sebelum kamu ngecrot. Terlalu lama juga bisa lecet - lecet vginaku nanti.”
“Iya Mbak.”
Beberapa saat kemudian, “Chepi… kita makan malam di luar yuk. Sekalian cari makanan untuk di sini… siapa tau tengah malam kita lapar lagi,” kata Mbak Susie.
“Oke Mbak,” sahutku.
“Pake mobilmu aja ya. Gak usah dua - dua mobil.”
“Iya Mbak. Kalau kebetulan lagi sulit parkir, malah jadi pusing nanti jika bawa mobil dua.”
Tak lama kemudian, Mbak Susie sudah duduk di samping kiriku, dalam mobil yang tengah kukemudikan di jalan raya.
“Pertemuan selanjutnya sih aku mau datang aja ke tempatmu. Di rumahmu hanya ada kamu dan Nindie kan?” Mbak Susie membuka pembicaraan.
“Ada satpam tujuh orang yang bergiliran tugasnya jadi tiga shift. Ada pembantu juga dua orang. Semuanya perempuan Mbak.”
“Satpamnya juga perempuan?”
“Iya Mbak. Semuanya direkrut oleh Mbak Nindie. Ketujuh satpam wqanita itu bekas murid Mbak Nindie semua.”
“Oh iya… Nindie waktu masih gadis kan pelatih beladiri.”
“Iya Mbak.”
(Maaf, jenis beladiri-nya tidak bisa disebutkan, semata - mata untuk menjaga kerahasiaan para pelaku dalam cerita ini)
“Pembantumya yang seorang perempuan normal. Tapi yang satu lagi cebol Mbak. Semampai… semeter gak sampai. heheheee…”
“Kenapa pilih pembantu yang cebol segala?”
“Aku yang terima Mbak. Soalnya kasihan, ingin dapet pekerjaan. Nyari ke sana - sini gak ada yang terima. Setelah bekerja di rumahku, ternyata dia rajin, gesit dan jujur Mbak.”
“Tapi kalau mau ngambil yang letaknya tinggi - tinggi takkan bisa kan? Lalu dikasih tugas apa saja perempuan cebol itu?”
“Ngepel, jalanin vacum cleaner, jalanin mesin cuci, membersihkan taman dari rumput liar dan lain - lain. Pokoknya yang terjangkau olehnya aja.”
“Bagus juga sih… kita memang harus punya perasaan kasihan kepada orang - orang yang punya kekurangan pada fisiknya.”
“Iya Mbak. Umurnya sudah tigapuluhan, tapi bentuknya masih kayak anak usia tujuh tahunan.”
“Kasihan. Nanti aku mau nitip duit buat dia. Duit sedekah.”
“Iya Mbak. Dia hidup sebatangkara di dunia ini. Tidak punya orang tua lagi. Saudara pun tak punya.”
“Mmm… ternyata kamu seorang yang pemurah juga ya?”
Aku cuma tersenyum. Tidak berani menanggapi ucapan Mbak Susie itu. Karena hanya aku sendiri yang tahu siapa diriku.
Juga sikap dan perilakuku kepada wanita midget alias mini yang bernama Inay itu. Bahwa pada suatu sore, ketika aku merasa letih sekali, karena seharian ikut menata pavilyun yang akan dijadikan kantor itu.
Saat itu Mbak Nindie sedang pulang dulu ke rumahnya, untuk menata rumahnya yang sedang direnovasi sedikit - sedikit, tentu saja dengan membekal uang pemberian dariku di luar gaji tetapnya. Supaya rumahnya jangan terlalu sederhana dan serba kekurangan perlengkapannya.
Saat itulah kupanggil Inay mini ke kamarku. “Nay… berat badanmu berapa?” tanyaku.
“Tigapuluhdelapan Boss,” sahut wanita mini yang terkadang kelihatan lucu itu.
“Kalau gitu injakin punggungku ya. Pada sakit - sakit,” kataku, “Kakimu bersih kan?”
“Bersih Boss.”
“Ya udah injekin bagian kaki dan punggungku ya,” ucapku.
“Siap Boss.”
Lalu kulepaskan pakaianku sehelai demi sehelai, hanya celana dalam yang kubiarkan melekat di tubuhku. Lalu aku menelungkup di atas bed, “Injakin dari kaki sampai ke bahu ya Nay,” kataku.
“Iya Boss,” sahut Inay yang tinggi badannya tak sampai semeter itu.
Sengaja aku telungkup di samping dinding, supaya Inay bisa menjaga keseimbangan waktu menginjaki punggung dan kakiku dengan meletakkan telapak tangannya ke dinding.
Inay pun mulai berdiri di atas kakiku sambil berpegangan ke dinding. kemudian ia berjalan dari kaki sampai ke punggungku, turun lagi ke kaki, naik lagi ke artah punggung. Tidak terasa berat. Malah enak, seperti sedang diinjaki oleh anak kecil.
“Enak Nay… injekin terus begitu ya…” ucapku sambil berusaha menoleh ke arah wanita mini itu.
Saat itu Inay mengenakan daster yang terbuat dari bahan kaus. Sehingga aku bisa melihat celana dalam putihnya karena ia sedang berada di atas punggungku.
Lalu… pikiran jahanam mulai menggodaku. Seperti apa ya bentuk vgina wanita mini ini? Dan seperti apa rasanya menyetubuhi Inay ini?
Mungkin seperti menyetubuhi boneka, saking kecilnya.
Pikiran itu membuatku jadi penasaran. Dan… diam - diam pnisku mulai ngaceng.
Maka aku mulai memancingnya, “Kamu bilang pernah punya suami Nay. Terus sejak kapan kamu jadi janda?”
“Sudah lebih dari lima tahun saya menjanda Boss.”
“Kenapa bisa bercerai?”
“Ah, tidak cocok aja sifatnya Boss. Tiap hari kerjanya marah - marah melulu.”
“Mantan suamimu orang kecil juga seperti kamu Nay?”
“Iya. Sesama cebol Den.”
“Punya anak gak darinya?”
“Nggak Boss. Saya belum pernah hamil.”
“Wah… vginamu pasti enak dong, karena belum pernah turun mesin.”
“Hihihihiii… gak tau Boss,” sahutnya, “Memangnya Boss mau nyobain vgina saya?”
Aku agak kaget mendengar cetusan Inay yang frontal itu. Tapi menurut ku, orang yang punya kekurangan alias kurang normal, banyak yang suka over acting atau pun over confidence. Terbukti dengan rambutnya yang sengaja diwarnai, diblitch antara hitam, coklat tua dan blonde. Zaman now memang beda dengan tempo doeloe.
“Mau Nay… mau… !” sahutku spontan, “Coba kamu turun dulu.”
Inay pun turun dari punggungku. Tapi masih berdiri di atas bed ketika aku membalikkan badan jadi celentang. “Kapan terakhir kamu merasakan digauli lelaki?” tanyaku sambil memperhatikan bentuk wanita mini itu.
Aku tidak tahu berapa centimeter tinggi yang sebenarnya. Yang jelas kalau dia berdiri di dekat meja makan, tampak pangkal lehernya sejajar dengan meja makan. Sedangkan tinggi meja makan adalah 77 centimetrer. Jadi, mungkin tinggi Inay takan kurang dari 77 centimeter dan takkan lebih dari 110 centimeter.
“Sejak cerai sampai sekarang saya belum pernah merasakan digauli lelaki lagi Boss,” sahut Inay sambil duduk bersila di atas bed.
Aku pun duduk dan menyuruh Inay duduk di atas pahaku. Ia menurut saja, duduk membelakangiku di atas pahaku yang sedang bersila ini. Tanganku langsung menyelundup ke balik daster kausnya yang berwarna biru muda itu. Kuselinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Inay diam saja. Bahkan ketika jemariku menggerayangi kemaluannya yang “imut - imut” gundul plontos itu, ia malah tersenyum - senyum.
Pada saat itu pula kupelorotkan celana dalamku. Lalu menarik tangan kanan Inay, sampai menempel di pnisku yang sudah ngaceng berat ini.
“Aaaw… apa ini yang anget - anget keras?” Inay seperti kaget dan memutar badannya jadi berhadapan denganku. Lalu sadar bahwa ia sedang memegang pnis ngacengku.
“Adududuuuh…! Punya Boss segede dan sepanjang ini?! Bisa masuk nggak ya ke dalam vgina saya?” cetusnya sambil menciumi kepala dan leher pnisku.
“Bisa lah. vginamu bukan terbuat dari kertas kan?” sahutku sambil melepaskan daster kaus lewat kepala Inay.
Inay tinggal mengenakan celana dalam putih, karena sejak tadi pun ia tidak mengenakan beha.
Aku tidak mau bicara mengenai tampang dan bentuk fisik wanita mini itu. Semua biasa - biasa saja. Toketnya p[un kecil, cukup untuk digenggam oleh tanganku. Pahanya agak gempal, karena untuk ukuran manusia mini, mungkin dia termasuk rada montok.
Yang luar biasa adalah fisik mininya itu. Karena aku belum pernah merasakan vgina wanita mini alias midget.
Aku sudah merasakan tubuh chubby, tubuh langsing, wajah cantik dan bahkan yang masih perawan juga. Tapi tubuh mini seperti Inay ini belum pernah ngerasain…!
Lalu dengan mudahnya aku bisa mengangkat dan menggendong Inay ke arah meja tulisku. Di situlah Inay kucelentangkan dan kutarik celana dalam putihnya sampai terlepas dari kedua kaki pendeknya.
Kutarik kursi kerjaku ke dekat meja tulisku. Sementara Inay seperti sudah mengerti apa yang akan kulakukan. Ia celentang dengan kedua kaki mengangkang, dengan pantat berada di pinggir meja tulisku.
Kuperhatikan bentuk vgina Inay yang imut - imut dengan jembut tipis halus itu, sambil berkata, “Ini jalan agar pnisku mudah masuk ke dalam liang vginamu Nay.”
Dan sambil duduk di kursi yang kudekatkan ke meja tulisku, vgina imut itu pun mulai kujilati habis - habisan. Sementara kedua tanganku dengan mudah menjangkau dan meremas sepasang toket mungil (tapi waktu membungkuk tampak terjuntai panjang ke bawah) yang bisa tergenggam oleh tanganku.
Inay pun mulai bergeliang - geliut, seperti ular terinjak kepalanya. Bahkan sepasang betis pendeknya lalu bertopang pada kedua bahuku, sehingga mulutku semakin nyungsep ke permukaan vgina Inay.
“Aaaa… aaaaaah… Bosssss… Bossss… aaaahhhhhhhh… aaaaaaahhhh… “desahan dan rintihan Inay mulai bergaung di dalam kamarku.
Terlebih lagi setelah aku gencar menjilati kelentitnya, semakin menggelinjang - gelinjang juga tubuh perempuan mini itu.
Bahkan pada suatu saat aku menganggap sudah waktunya untuk memasukkan pnisku ke dalam liang vgina perempuan mini ini.
Lalu aku berdiri dan mengarahkan moncong pnisku ke mulut vgina Inay.
Kemudian kudorong pnisku sekuatnya. Dan membenam ke dalam liang vgina imut - imut itu tanpa kesulitan. Tapi tidak bisa masuk semuanya karena mentok di dasar liang vgina imut plontos itu. Ternyata benar dugaanku bahwa Inay yang bertubuh mini itu, liang sanggamanya pun dangkal.
Aku pun tidak berusaha memasukkan semuanya. Setelah terasa mentok di dasar liang kemaluan Inay, langsung kuayun pnisku perlahan - lahan.
Gila, ternyata liang vgina Inay nikmat sekali rasanya. Sehingga aku jadi sangat bergairah untuk mengentot vgina mini ini.
Inay sendiri tampak keenakan. Mungkin karena pnisku terlalu panjang untuk kedalaman liang vginanya. Sehingga tiap kali kudorong, moncong pnisku selalu menabrak dasar liang vgina Inay. Itu berarti bahwa Gspot di dasar liang vgina Inay terus - terusan disundul oleh moncong pnisku.
Ternyata Inay sangat atraktif. Ia berkali - kali mengajakku berubah - ubah posisi. Kadang ia minta dientot dalam posisi tengkurap dan agak menungging, kadang ia ingin main di atas (WOT) dan sebagainya.
Inay seolah ingin membuktikan bahwa meski tubuhnya mini, ia bisa memberikan kepuasan bagiku. Akibatnya, berkali - kali ia mengalami orgasme. Tapi ia tidak kelihatan letih. Dia tetap lincah memberikan kenikmatan padaku yang tak menyangka bahwa persetubuhan dengannya ini mengesankan sekali.
Memang dengan mudah aku bisa melakukan hal - hal yang belum pernah kulakukan kepada wanita lain. Misalnya, pada suatu saat aku turun dari meja tulisku, lalu mengangkat tubuh Inay tinggi - tinggi. Kedua pahanya nemplok di atas bahuku, sementara vginanya ada di depan mulutku. Kalau wanita normal, pasti aku merasa berat dibebani oleh tubuhnya.
Lalu kurebahkan tubuh mini itu di atas bed. Dan… kuentot lagi dalam posisi missionary, karena aku memang belum ngecrot.
Kali ini aku melakukan posisi hard missionary. Karena aku mengentotnya sambil mendorong sepasang pahanya, sehingga kedua lututnya berada di samping sepasang toket mininya.
Inilah pengalaman paling gokil bagiku. Tapi aku menganggapnya sebagai sesuatu yang istimewa. Daripada ngocok, jauh lebih enak menyetubuhi Inay mini.
Namun akhirnya aku tiba juga di detik - detik krusialku. Namun aku sadar bahwa aku tak mau menghamili Inay. Karena itu, begitu aku mau ejakulasi, cdewpat kucabut pnisku dari liang vgina Inay, kemudian kuletakkan pnisku di dada Inay, sambil kuurut - urut dengan tanganku sendiri.
Tadinya aku hanya ingin memuntahkan air maniku di wilayah dada Inay. Tapi Inay menangkap pnisku lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Diikkuti dengan selomotan yang sangat trampil.
Maka tak tertahankan lagi, lendir kenikmatanku meletus di dalam mulut Inay.
Crooot… croootttt… cretttt… crooootttttt… cretttttt… crooootttttt…!
Inay menelan spermaku sampai habis, tak terbuang setetes pun.
“Segerrrrr…” ucapnya setelah melepaskan pnisku dari mulutnya.
Aku masih ingat semuanya itu. Bahwa perempuan mini itu telah membuatku puas sekali. Karena itu aku tak ragu untuk memberinya “bonus” yang lumayan banyak. Supaya kalau kelak aku membutuhkan lagi vginanya, ia takkan malas - malasan meladeniku.
“Kalau aku hamil, pasti suamiku akan bahagia sekali,” ucap Mbak Susie membuyarkan terawanganku tentang perempuan mini bernama Inay itu.
“Dari suami Mbak yang pertama dahulu, Mbak sama sekali gak punya anak?” tanyaku.
“Nggak, “Mbak Susie menggeleng, “waktu masih jadi istri dia, aku selalu dipasangi alat pencegah kehamilan.”
“Kenapa?”
“Atas kesepakatan dengan dia juga, aku tak boleh hamil selama kehidupan kami masih pas - pasan. Dan sampai bercerai, dia memang tidak pernah sukses mengadu untung di Sulawesi. Tapi setelah menikah dengan Abror, aku tidak pasang alat kabe lagi.”
“Abror nama suami Mbak?”
“Iya. Ibunya kan orang Uzbekistan. Namanya terasa asing di telinga kita ya?”
“Iya Mbak. Dia bisnis apa?”
“Sejak masih remaja, Abror sudah terlatih untuk bisnis emas.”
“Ohya… Uzbekistan kan negara yang punya tambang emas besar ya Mbak.”
“Iya. Awalnya sih dia hanya memasarkan emas dari negaranya sendiri. Tapi lama kelamaan sih dia membeli emas dari mana saja, untuk dipasarkan di Asia Tenggara.”
Tak lama kemudian mobilku sudah tiba di depan villa kembali.
Dan… kami bersetubuh kembali sampai lewat tengah malam.
Esoknya pun kami bersetubuh dan bersetubuh kembali. Dengan harapan agar Mbak Susie bisa hamil olehku.
Aku memang sudah bertekad untuk menjadikan Nike sebagai calon istriku, bukan sekadar pacar biasa, Tapi aku juga yak bisa mengabaikan Bu Shanti yang sudah menyerahkan keperawanannya padaku, sebagai protes kepada orang tuanya yang akan menjodohkannya dengan lelaki tua itu. Tapi meski keputusannya itu sebagai protes pada keinginan orang tuanya yang akan menjodohkan dengan seorang lelaki tua, kenapa justru aku yang dipilih untuk merenggut keperawanannya?
Tentu ada sebabnya. Dan Bu Shanti sudah berterus terang, bahwa ia sudah jatuh hati padaku. Karena itulah ia memutuskan untuk menyerahkan kesuciannya padaku, tanpa pamrih.
Bu Shanti membebaskanku untuk mencintai dia atau tidak. Yang penting di depan ibunya, aku harus berpura - pura akan menikahi Bu Shanti. Itu saja. Nanti dengan berjalannya waktu, bisa saja muncul cowok lain yang Bu Shanti cintai, bisa juga muncul cewek lain yang aku cintai dan akan kujadikan istri.
Terbukti bahwa dengan cepatnya aku berjumpa lagi dengan adik Niko yang bernama Nike, yang sudah sangat lama tidak berjumpa denganku.
Lalu terjadilah sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya. Bahwa aku dan Nike sudah saling suka. Dan bahkan sudah terlontar janji untuk melanjutkan hubungan kami ke pelaminan.
Aku sadar bahwa Nike bukan target pelampiasan nafsu birahi semata. Karena itu aku sangat berhati - hati dalam memperlakukannya.
Saking berhati - hatinya aku, mencium bibirnya pun belum pernah. Setiap kali berjumpa atau mau berpisah, aku hanya melakukan cipika - cipiki dengannya. Tidak lebih dari itu.
Niked kuanggap seolah simpanan masa depanku. Bukan target nafsu sesaat.
Ternyata hal itu diamati juga oleh abangnya (Niko). Bahkan pada suatu saat Niko berkata, “Sebenarnya Nike itu tak pernah pacaran Chep. Baru kali ini dia terang - terangan mencintaimu. Aku senang - senang saja, karena Nike tidak jatuh ketangan yang salah. Titip aja adikku ya Chep. Aku percaya kamu selalu memperlakukannya dengan baik.
Kutepuk bahu sahabat lama yang akan menjadi abang iparku itu sambil menyahut, “Santai aja Nik. Kami sedang menyiapkan masa depan kami ke arah yang lebih baik.”
Hal itu memang sudah kubuktikan.
Aku masih ingat benar, bahwa sebelum berpisah dengan Mbak Susie, aku menerima dua lembar cek. Yang nominalnya besar sekali untukku. Yang nominalnya jauh lebih kecil untuk Mbak Nindie.
Tapi bukannya aku nyombong. Aku tidak membutuhkan uang meski jumlahnya begitu besarnya. Karena Tante Aini selalu mentransfer duit dalam jumlah banyak ke rekening tabunganku. Apalagi setelah Tante Aini mulai hamil, transfernya selalu gede - gedean.
Tapi aku tak berani menolak pemberian cek dari Mbak Susie.
Cek itu kuterima sambil mengucapkan terima kasih dan ciuman mesra di bibir Mbak Susie. Lalu cek untuk Mbak Nindie kuberikan kepada yang bersangkutan. Sementara cek untukku, kuberikan kepada Nike.
Nike tampak kaget setelah melihat nominal yang tertulis di cek itu. “Untuk apa uang sebanyak ini?” tanyanya.
“Terserah kamu Beib,” sahutku, “Mungkin untuk mobil murah - murah aja sih cukup.”
“Nyetir aja gak bisa. Buat apa beli mobil segala.”
“Terus apa kebutuhanmu yang paling mendesak?” tanyaku sambil membelai rambut Nike.
Nike tercenung sesaat. Lalu berkata, “Mungkin lebih tepat kalau untuk biaya renovasi rumah. Terutama kamarku, sudah ketinggalan zaman banget.”
“Terserah. Pokoknya cek itu sudah menjadi milikmu. Untuk apa - apanya, kamu tedntu tau apa yang terbaik untukmu saat ini.”
“Untuk renovasi rumah aja. Biar Mama dan Niko ikuy senang. Kalau ada lebihnya, belikan motor bebek aja. Biar gak naik angkot tiap hari.”
“Iya. Aku setuju. Kalau masih kurang, bilang aja terus terang padaku nanti ya Beib.”
“Iya. Terima kasih ya Sayang,” ucap Nike sambil mencium pipiku.
Ya… baik aku mau pun Nike hanya berani sebatas cium pipi. Belum berani lebih jauh dari cium pipi untuk memperlihatkan tanda cinta dan sayang kami.
Sudah lebih dari 3 bulan Bu Shanti tinggal di Inggris. Tapi belum pernah satu kali pun dia menghubungiku lewat hubungan seluler. Aku sendiri tidak pernah menghubunginya, karena takut mengganggu. Siapa tahu dia benar - benar sibuk dengan kuliahnya.
Tapi benakku mulai dihuni oleh tanda tanya besar. Ada apa dengan Bu Shanti? Apakah dia memang sibuk dengan kuliah S3 nya atau sudah menemukan calon suami yang sesuai dengan pendidikannya sendiri? Sementara aku, yang S1 pun belum, masih tetap menunggu dengan setia laksana si punguk merindukan bulan?
Kalau pikiranku sudah nyelonong ke sana, aku suka menggebrak diriku sendiri: Persetan dengan Bu Shanti! Biarkan dia mencari pasangan yang selaras dengannya, baik usia mau pun pendidikannya.
Aku bisa move on darinya kapan pun aku mau.
Hari demi hari pun berputar dengan cepatnya …
Sampai pada suatu sore …
Sore itu aku baru selesai kuliah dan menuju tempat mobilku diparkir di pinggir jalan, karena mahasiswa tidak boleh parkir mobil di area parkir kampus. Hanya dosen yang boleh parkir di sana. Maklum area parkirnya juga tidak terlalu luas.
Tukang parkir langgananku langsung menghampiri sambil bertanya, “Mau jalan Dek?”
“Iya, “aku mengangguk sambil memberikan uang parkir padanya. Lalu melangkah ke pintu depan sebelah kanan.
Belum lagi pintu samping setir itu kubuka, ada yang menepuk pangkal lenganku dan terdengar suara wanta di belakangku, “Chepi… numpang pulang dong.”
Ketika aku menoleh ke belakang, ternyata yang menepuk dan berkata itu dosenku yang senantiasa mengenakan jilbab. Bu Pratiwi namanya.
“Silakan Bu,” kataku sambil bergegas membuka pintu depan sebelah kiri. Bu Pratiwi (Biasa dipanggil Bu Tiwi saja) pun masuk ke dalam mlobilku.
“Rumah Ibu di daerah mana ya?”
Wanita empatpuluh tahunan itu menyebutkan nama daerahnya yang terletak di batas kota arah ke selatan. Padahal kampusku di ujung utara kotaku. Berarti cukup jauh juga aku harus mengantarkan Bu Tiwi itu.
Tapi biarlah, sekali - kali berbuat kebaikan pada dosenku sendiri kan positif nilainya.
“Wah… beruntung nih diriku. Bisa numpang mobil mewah begini,” kata Bu Tiwi setelah mobil kujalankan di jalan aspal.
“Yang biasa antar jemput pakai vespa ke mana Bu?”
“Dia kan anak semata wayangku Chep. Sekarang dia sudah pindah ke Jogja, karena kuliahnya di sana.”
“Owh… cewek yang suka anter jemput itu anak Ibu?”
“Iya. Cantik nggak anakku itu?”
“Masih cantikan Ibu. Hehehe…”
“Masa perempuan tua begini dibilang cantik.”
“Tua apa? Ibu lagi sedeng - sedengnya menawan.”
“Aaah… kamu bisa aja, “Bu Tiwi menepuk tangan kiriku yang nganggur.
“Suami Ibu kerja di mana?”
“Suami apa? Sudah lima tahun aku hidup menjanda Chep.”
“Lho… kenapa? Divorce Bu?”
“Dia meninggal dalam kecelakaan di tempat kerjanya.”
“Owh… maaf. Ikut prihatin mendengarnya.”
“Terimakasih. Tapi sekarang aku sudah mulai bisa melupakannya.”
“Sudah move on Bu?”
“Move on benar sih belum. Baru bisa melupakan almarhum yang sudah tenang di alam kekal.”
”Sudah dapat penggantinya Bu?”
“Belum,” sahut Bu Tiwi. Dan tiba - tiba dia mendekatkan mulutnya ke telingaku, disusul dengan bisikan, “Memangnya kamu mau mengisi kesepianku Chep?”
“Sangat - sangat mauuu…” sahutku dalam kaget.
“Serius?” tanyanya sambil menggenggam tangan kiriku yang nganggur.
“Serius Bu. Kalau perlu kita buktikan sekarang juga.”
Tiba - tiba Bu Tiwi mencium pipi kiriku, “Emwuuuaaaah…”
“Terima kasih Bu. Pucuk dicinta ulam tiba.”
“Memang udah lama ya kamu merhatiin aku?”
“Iya Bu.”
“Memangnya apa yang menarik pada diriku?”
“Banyak. Mata Ibu yang bundar bening, bibir yang sensual dan terutama pakaian yang Ibu kenakan tiap hari membuat penasaran… ingin tahu seperti apa bentuk Ibu di balik baju jubah panjang dan hijab ketat itu.”
“Nanti akan kamu lihat semuanya,” sahut Bu Tiwi sambil merapatkan pipi hangatnya ke pipiku.
“Serius Bu?”
“Tentu aja serius. Tapi kamu bisa menyimpan rahasia gak?”
“Rahasia sangat terjamin Bu. Mulutku bukan ember bocor,” sahutku sambil memutarkan mobilku, kembali ke arah utara.
“Lho… kenapa balik lagi?” tanya Bu Tiwi.
“Aku ingin bersama Ibu duduk berdua di puncak bukit yang bisa memandang ke arah kota kita. Sebentar lagi hari mulai gelap kan Bu. Jadi kita bisa melihat kota kita laksana ribuan kunang - kunang di gelap malam.”
“Ogitu… iya deh… aku ikut sama keinginanmu aja… tapi kenapa kamu bisa tertarik sama wanita yang sudah berumur seperti aku ini Chep?”
“Terus terang aja, aku pengagum wanita setengah baya Bu.”
“Pernah punya pengalaman dengan wanita seumuran denganku?”
“Pernah Bu. Tapi sekarang sudah pindah ke luar Jawa,” sahutku cuma mengarang saja.
“Kamu ini tampan sekali Chep. Nyari cewek yang seperti apa juga pasi bisa.”
“Gak ketarik sama cewek - cewek seusia atau lebih muda dariku Bu. Lebih ketarik sama wanita yang seperti Ibu ini.”
“Ya udah, nanti nginep aja di rumahku. Mau?”
“Siap Bu.”
“Tapi kalau ada tetangga yang nanya, bilang aja kamu ini keponakanku, gitu.”
“Emangnya tetangga Ibu suka usil?”
“Nggak juga sih. Cuma jaga - jaga aja, kalau ada yang nanya kamu siapa… jawab aja keponakan Bu Tiwi, gitu.”
“Iya deh. Sip pake telor. Kurang sip buka kolor.”
“Hihihihiiii…”
Di luar mobilku mulai gelap. Sehingga aku mulai menyalakan lampu HID-ku yang menyorot dengan terangnya ke arah jalan yang akan diinjak oleh ban mobilku.
Lampu mobil buatan Eropa pada umumnya kurang terang lampu sorotnya. Sehingga lampu - lampu depan kuganti. Lampu fog kuganti dengan lampu HID yang rendah kelvinnya, sehingga sinarnyha kekuning - kuningan untuk menembus kabut. Lampu dekat kuganti dengan lampu HID yang tinggi kelvinnya, sehingga sinarnya kebiru - biruan.
Beberapa saat kemudian mobilku sudah kuparkir di puncak bukit yang ada cafénya. Kupesan black coffee americano dan Bu Tiwi meminta coffee late, keduanya minta dikemas dalam cup plastik dan minta diantarkan ke mobilku yang sudah dihadapkan ke pinggir tebing, menghadap ke arah kotaku nun jauh di bawah sana…
Setelah minuman pesanan kami datang, kuletakkan kedua cup plastik itu di pembatas antara aku dan Bu Tiwi, karena minumannya masih panas sekali.
“Kota kita indah sekali dilihat dari ketinggian begini ya Bu,” kataku sambil memegang tangan kanan Bu Tiwi yang hangat dan halus.
“Iya… seindah hati kita ya?”
“Iya Bu. Tapi mungkin duduknya enakan di belakang, biar gak ada pembatas di antara kita berdua.”
“Oke,” sahut Bu Tiwi sambil membuka pintu di sebelah kirinya. Aku pun pindah ke seat belakang sebelah kanan. Sementara Bu Tiwi duduk di sebelah kiriku.
Mesin mobil tetap kubiarkan hidup, karena ingin menikmati musik yang mengalun perlahan dari audio mobilku, memutar album Vasiliy Nikitin - Chillout Ambient, yang tenang sekali dan sudah dipublish sampai lebih dari seri ke 170. Juga agar AC tetap hidup, agar kami tidak sesak nafas. Hanya lampu - lampunya kumatikan semua.
Setelah duduk berdampingan tanpa pembatas begini, aku bisa melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Bu Tiwi dengan ketat, sehingga harum parfum yang dikenakannya tersiar mewangi ke penciumanku.
Memang di puncak bukit ini banyak sekali pasangan yang sengaja melakukan “sesuatu” di dalam mobilnya masing - masing.
Maka aku pun tak ragu untuk memagut dan mencium bibir Bu Tiwi, yang disambut dengan lumatan hangat dosenku yang sexy habis di mataku ini.
Cukup lama kami saling lumat di kegelapan malam di atas seat belakang mobilku. Namun aku malah makin penasaran. Sehingga aku berusaha menyelinapkan tanganku ke balik jubah panjang yang dikenakan oleh dosenku.
Sangat menyenangkan, karena Bu Tiwi seperti mengerti apa yang kuinginkan. Ia menarik baju jubah panjangnya sampai ke pangkal pahanya, sehingga aku bisa langsung mengusap - usap paha dosenku sampai ke pangkalnya.
Tak cuma itu. Aku pun berhasil mewnyelinapkan tanganku ke balik celana dalamnya. Dan… wow… langsung menyentuh vginanyha yang plontos alias gundul abis itu…!
Semakin garang juga Bu Tiwi melumat bibirku, bahkan lalu kami bertukar sedot lidah. Ketika lidahku terjulur, Bu Tiwi menyedotnya ke dalam mulutnya, lalu menggelutkan lidahnya dengan lidahku. Begitu juga waktu lidah Bu Tiwi terjulur, kusedot ke dalam mulutku dan digeluti oleh lidahku. Sehingga air liur kami bercampur aduk dan berpindah - pindah tempat.
Lebih asyik lagi ketika jemari tangan kananku sudah menemukan celah di vgina Bu Tiwi yang bersih dari jembut ini.
Lalu jemariku mulai menyelusup ke dalam yang agak basah dan licin serta hangat ini. Pelukan Bu Tiwi di leherku pun semakin erat saja rasanya. Sementara jari tengahku mulai maju - mundurkan di dalam celah vginanya.
Sekujur tubuh Bu Tiwi makin menghangat. Pertanda perempuan setengah baya ini sudah horny.
“Chepi… aku udah gak kuat menahan nafsu lagi,” bisik Bu Tiwi.
“Mau dilakukan di sini aja?” tanyaku.
“ML sih jangan… jangan di sini…”
“Lalu mau check in ke hotel?”
“Jangan juga Chep. Takut ketemu sama orang yang kenal.”
“Lalu mau di mana?”
“Di rumahku aja… tapi mainkan terus kemaluanku Chep… ininya nih… itilnya…” ucap Bu Tiwi sambil menarik jariku ke arah kelentitnya.
“Mau dijilatin itilnya?” tanyaku.
“Jangan ah… pakai jari aja mainkan terus itilku… sampai orgasme… kalau mau jilatin segala sih nanti aja di rumahku.”
Aku sudah banyak pengalaman untuk mengekspoitasi kelentit agar cepat orgasme. Baik dengan main jilatan lidah maupun dengan gesekan ujung jari tangan.
Karena itu setelah Bu Tiwi meletakkan ujung jari tengahku di kelentitnya, meski gelap gulita pun aku bisa menekankan ujung jariku ke kelentit sebesar kacang kedelai itu. Kemudian kugerak - gerakkan jari tengahku dengan gerakan menekan dan memutar - mutar. Terkadang kucelupkan jari tgengahku ke liang kecil di vgina Bu Tiwi, hanya untuk membasahinya dengan lendir Bu Tiwi.
Bu Tiwi pun mulai mendesah - desah perlahan, “Aaaah… aaaaaaa… aaaaaah… aaaaa… aaaaahhhhh… aaaa… aaaa… aaaaaaaaahhhhhhh… aaaa… aaaa… aaaahhhhh…”
Hanya beberapa menit akju melakukan semuanya ini. Sampai akhirnya tubuh Bu Tiwi mengejang sambil mendekapku erat - erat, dengan nafas tertahan.
“Aaaaah… sudah… sudah lepas…” kata Bu Tiwi sambil mengeluarkan tanganku dari balik celana dalamnya. “Haaaah… lega sekarang. Ayo ke rumahku aja sekarang. Nanti di rumah akan kuberikan semuanya untukmu Chep.”
“Iya Bu… sahutku sambil melompat ke depan lewat celah dua seat depan. Bu Tiwi pun ikut - ikutan pindah lewat celah di antara kedua seat depan.
“Kopinya masih hangat Chep,” kata Bu Tiwi sambil membuka tutup cup coffee latenya. Lalu meneguk isinya tanpa sedotan. Aku pun melakukan hal yang sama. Meneguk kopiku yangb masih hangat sampai habis setengah cup. Kemudian kupindahkan gigi matik mobilku ke R. Untuk memundurkan mobilku.
Tak lama kemudian mobilku sudah menuruni bukit itu di atas jalan yang berkelok - kelok.
“Sebenarnya tadi masih seneng mainin punya Ibu,” kataku di belakang setir mobilku.
“Nanti di rumah mauj diapain juga terserah kamu Chep. Yang penting jaga rahasia kita ya. Kalau bocor keluar, aku bisa dipecat dari kampus.”
“Tenang Bu. Di kampus kita malah harus saling cuek- cuekan. Supaya kita tidak dicurigai. Kalau ada yang perlu kita bicarakan, bisa lewat handphone kan?”
“Owh iya… kalau mau ketemuan, kita pakai WA aja nanti ya. Tapi namamu akan kusaving sebagai nama cewek.”
“Dan nama Ibu akan kusaving sebagai nama cowok.”
“Iya. Di kampus kita gak usah komunikasi sama sekali. By phone aja komunikasinya kalau kita sudah jauh dari kampus,” kata Bu Tiwi sambil memegangi ritsleting celanaku.
“Mau ngapain Bu?” tanyaku.
“Pengen kenalan sama punyamu,” sahutnya sambil merapatkan pipi kanannya ke pipi kiriku.
Tersenyum aku mendengar ucapan dosenku yang sereba sensual ini. Lalu kuturunkan ritsleting celanaku, sekalian kusembulkan batang kemaluanku yang sejak tadi masih tetap ngaceng ini.
“Wow… penismu ini… penis giant size… !” seru Bu Tiwi sambil memegang penis ngacengku.
Lalu ia membungkuk dan menciumi penisku.
“Jangan dioral Bu. Aku kan lagi nyetir,” ucapku.
“Nggak dong. Kan sebentar lagi juga kita tiba di rumahku,” sahut Bu Tiwi sambil mengusap - usap kepala dan leher penisku.
“Oh… iya… di dalam kompleks perumahan itu kan?” tanyaku sambilk menunjuk ke gerbang sebuah perumahan yang berbentuk gapura dan sudah dekat denganh mobilku.
“Iya,” sahut Bu Tiwi sambil memasukkan kembali penis ngacengku ke balik celana dalam dan menutupkan kembali ritsleting celanaku.
Setelah memasuki gerbang berbentuk gapura itu, Bu Tiwi berkata, “Lurus aja terus. Nanti setelah mentok belok ke kanan.”
“Siap Bu.”
Ternyata rumah Bu Tiwi di kompleks perumahan sederhana itu bukan rumah besar. Mungkin type 40an. Kamarnya pun hanya satu. Sementara di ruang tengah hanya dihampari permadani besar. Tiada kursi mau pun meja.
Setelah mengunci pintu depan, Bu Tiwi mengajakku masuk ke dalam kamarnya.
“Sederhana sekali rumahku kan? Tapi sebenarnya rumah utamaku bukan di sini,” kata Bu Pratiwi sambil melepaskan baju jubahnya.
“Rumah utama Ibu di mana?” tanyaku.
Bu Tiwi menyebutkan nama sebuah kota yang jaraknya sekitar 60 kilometer dari kota ini.
Di dalam kamar Bu Tiwi pun lantainya ditilami sehelai permadani yang agak kecil kalau dibandingkan dengan permadani di ruang tengah. Di atas permadani itulah Bu Tiwi duduk sambil melepaskan beha dan celana dalamnya. Tapi gaun dalamnya yang berwarna ungu tidak dilepaskan. Kerudungnya pun masih membelit kepalanya.
Apalagi setelah duduk di atas permadani, ia sengaja memamerkan sepasang toketnya yang indah sekali di mataku.
Setelah melepaskan sepatu dan kaus kakiku, aku pun duduk di samping Bu Tiwi, di atas permadani tebal itu. Dan di atas permadani itu aku memegang toketnya, sambil mencelucupi pentilnya.
“Tempat tidurku sudah agak reyot,” kata Bu Tiwi sambil melepaskan kancing - kancing kemeja tangan pendekku, “Mainnya di sini aja ya,” ucapnya perlahan.
“Iya Bu,” sahutku, “bersama Bu Tiwi sih di atas rumput juga pasti menyenangkan.”
“Kamu suka main outdoor?” tanyanya sambil melepaskan kemeja tangan pendekku.
“Iya… tapi belum kesampaian.”
“Nanti kalau di kampungku bisa outdoor. Tapi aku juga belum pernah mengalaminya.”
“Iya… kapan - kapan kita main ke kampung Ibu ya,” kataku sambil melepaskan celana panjang dan celana dalamku.