Tak dapat kupungkiri bahwa sejak dalam perjalanan menuju pemandian air panas ini kontolku ngaceng terus. Terlebih lagi setelah menyaksikan Mama Aleta telanjang bulat dengan menyiarkan aura seksual yang begitu dahsyatnya. Semakin ngaceng jugalah batang kejantananku ini. Sehingga aku jadi malu melepaskan pakaianku.
Tapi Mama Aleta menegurku. “Ayo lepasin pakaianmu dan turun ke sini. Mau nonton mama telanjang doang?”
Akhirnya kulepaskan busanaku sehelai demi sehelai, sampai telanjang bulat seperti Mama Aleta. Lalu turun ke bak air panas yang airnya sudah setinggi paha Mama Aleta.
Mama Aleta menyambutku dengan memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini. “O my God…! Penismu panjang gede gini Chep…! Sudah ngaceng pula. Udah kepengen dientotin ke sini ya?” ucap Mama sambil menepuk - nepuk memeknya yang bersih dari bulu.
“Hehehe… kalau dikasih sie aku takkan menolak Mam.”
“Nanti aja di rumah ya. Jangan di sini. Kan kita hanya boleh seperempat jam berada di dalam kamar mandi ini. Kalau kelamaan bisa pada pingsan nanti. Sekarang sabunin mama dong. Mau?”
“Siap Mam,” sahutku sambil menyambar botol sabun cair Mama Aleta dari bibir bak mandi.
Mama Aleta pun membelakangiku sambil berkata, “Punggungnya dulu Chep.”
permintaannya. Dan mulai menyabuni punggungnya yang terasa padat kencang. Bokongnya pun terasa padat kencang sekali.
Aku pun teringat ucapan Bu Shanti, bahwa mamanya rajin melakukan kebugaran di tempat fitness. Dan Bu Shanti jadi ikut - ikutan menyukai latihan kebugaran.
Sekarang aku sudah membuktikannya. Betapa padat dan kencangnya tubuh mamanya Bu Shanti yang bule asli ini.
Ketika aku menyabuni bagian depannya, kontolku semakin ngaceng. Karena aku mulai dengan menyabuni sepasang payudaranya yang juga hanya sedikit turun tapi belum kendor.
Yang mengagumkan adalah bahwa memek Mama Aleta tidak berbulu setitik pun. Mungkin dia melakukan waxing atau mungkin juga mengikuti mode zaman sekarang, membersihkan jembut dan bulu halus dengan sinar laser. Padahal anaknya (Bu Shanti) ada jembutnya, meski digunting pendek - pendek.
Dan ketika tiba giliran memek Mama Aleta yang mulai kusabuni, tanganku malah kerasan di bagian yang paling indah itu. Bahkan sesekali kuselinapkan jemariku yang bersabun ini ke dalam celah memek Mama Aleta, sehingga Mama Aleta merengkuh leherku, kemudian menciumi bibirku tanpa berkata - kata sepatah kata pun.
Terlebih setelah Mama Aleta menangkap kontolku, lalu mencolek - colekkan ke celah memeknya yang sudah licin oleh sabun cair.
Tentu saja aku mulai edan eling dibuatnya. Maka tanpa dapat kontrol diri lagi, ketikka terasa kepala penisku sudah agak masuk ke belahan memek Mama Aleta, kudesakka kontolku… blessssssss… melesak masuk ke dalam liang memek Mama Aleta.
“Kok dimasukin? Gak kuat nahan nafsu lagi ya?” ucap Mama Aleta sambil menyandar ke dinding dan mendekap pinggangku.
“Iya Mam… maafkan aku ya… semua ini terlalu erotis buatku…”
Lalu Mama Aleta menepuk - nepuk pantatku sambil berkata, “Ya udah entotin aja. Tapi jangan terlalu lama ya. Kalau kurang kenyang, nanti kita lanjutkan di rumah.”
“Iii… iya Mam… “kuayun kontol ngacengku sambil memeluk leher Mama Aleta disusul dengan pagutannya di bibirku, yang kusambut dengan lumatan penuh gairah.
Mama Aleta terasa sangat bergairah menyambut entotanku. Sementara aku sendiri merasakan sesuatu yang luar biasa. Bahwa liang memek Mama Aleta begini enaknya, empuk tapi legit. Seperti mengisap - isap moncong kontolku.
Meski sambil berdiri, ternyata ngentot Mama Aleta sangat enak. Karena tinggi badannya nyaris sama dengan tinggi badanku. Padahal tinggi badanku di atas rata - rata bangsaku.
Karena itu aku tak perlu membungkuk waktu mengentot Mama Aleta ini. Bahkan aku bisa menciumi dan menjilati leher mamanya Bu Shanti ini.
Mama Aleta pun berbisik, “Penismu luar biasa enaknya Chep… ooooohhhh… ini benar - benar fantastis… ooooh… bisa cepat ejakulasi nggak?”
“Masih lama Mam…”
“Kalau gitu cabut dulu deh penismu. Nanti kita lanjutkan di rumah aja yaaa…”
Aku sependapat dengan keinginan Mama Aleta. Karena aku juga merasa takut - takut melakukan semua ini, mengingat kami berada di dalam kamar mandi ini sudah lebih dari seperempat jam. Kalau terlalu lama bisa pingsan karena menghirup uap belerang. Karena itu kucabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.
“Mau dibilas pakai air dingin juga bisa Mam. Ada tempatnya di sini,” kataku.
“Nanti aja deh di rumah. Abis berendam dengan air panas lalu dibilas dengan air dingin kan gak enak,” sahut Mama Aleta sambil menghanduki tubuhnya di luar bak mandi.
Setelah kami sama - sama berpakaian, Mama Aleta mengusap - usap rambutku yang masih basah, sambil berkata, “Sabar ya Chep. Nanti di rumah akan mama kasih sepuasnya. Mau sampai lima enam kali juga mama kasih nanti.”
“Iya Mam,” sahutku sambil tersenyum.
Beberapa saat kemudian aku sudah melarikan mobilku menuju daerah rumah Bu Shanti kembali.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Mama Aleta sambil memegang tangan kiriku dan meremasnya, “Kan walau pun cuma sebentar sudah merasakan vagina mama.”
“Rasanya seperti bermimpi Mam. Karena tak menduga bakal merasakan fantastisnya memek Mama,” sahutku.
“Sama, mama juga seperti bermimpi, setelah belasan tahun puasa dari seks, tiba - tiba mendapatkan anak muda yang tampan dan menggemaskan ini,” kata Mama Aleta sambil menggerayangi celana jeansku dan berhasil menggenggam kontol di balik celana dalamku.
“Belasan tahun puasa dari seks?”
“Iya,” sahut Mama Aleta sambil mengelus - eslus moncong kontolku yang masih ngaceng karena belum ejakulasi ini, “Papanya Shanti kan sudah belasan tahun impoten.”
“Ohya?!”
“Memang begitulah keadaannya. Gara - gara terjatuh dari motor, bisa jadi begitu. Tulang ekornya retak dan ada tulang punggungnya yang patah. Lalu dirawat di rumah sakit, karena mendadak lumpuh. Setelah dirawat sebulan di rumah sakit, dia bisa jalan lagi. Tapi kejantanannya mengalami disfungsi. Sejak saat itulah dia impoten, sampai sekarang.
“Sudah berusaha ditolong oleh dokter, khusus untuk menyembuhkan impotensinya itu Mam?”
“Sudah ke Filipina segala untuk berusaha menyembuhkannya. Tapi para dokter di sana pun tidak bisa memulihkannya lagi.”
Setibanya di rumah Bu Shanti, Mama Aleta tidak lagi membahas masalah suaminya yang mengalami impotensi itu. Mama Aleta ingin mandi dulu untuk membersihkan badannya dari air mineral mengandung mineral tadi. Maka ia masuk ke dalam kamarnya yang berdampingan dengan kamar Bu Shanti. Sementara aku sendiri masuk ke dalam kamar Bu Shanti seperti yang sudah diuatur oleh pemilik kamar itu tadi siang.
Setelah mandi kukenakan baju kaus putih dan celana pendek abu - abu, tanpa mengenakan celana dalam. Karena aku yakin sebentar lagi aku sama sekali tidak membutuhkan celana dalam…!
Lalu aku duduk di ruang keluarga. Tapi baru sebentar aku duduk di sofa ruang keluarga, pintu kamar Mama Aleta terbuka. Mama Aleta langsung menggapaikan tangannya, “Ke sini aja,” ucapnya.
Aku pun masuk ke dalam kamar Mama Aleta.
Kamar yang ditempati oleh Mama Aleta itu fasilitasnya sama persis dengan kamar Bu Shanti (yang untuk sementara dijadikan kamarku). Ada sebuah bed luas, 1 set sofa putih, televisi layar lebar, kulkas, microwave dan banyak lagi. Kamar mandinya pun sama bagusnya dengan kamar mandi Bu Shanti sendiri.
Saat itu Mama Aleta sudah mengenakan kimono berwarna hitam, sehingga kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih.
Mama Aleta pun mengajakku duduk berdampingan di sofa. “Sekarang kamu nilai mama secara jujur ya. Mama ini seperti apa di dalam pandanganmu. Jawab aja sejujur mungkin. “”Luar biasa Mam. Tadinya kupikir Mama ini sudah tua. Tapi ternyata masih muda sekali.”
“Mama memang sudah empatpuluhlima tahun Chep. Waktu melahirkan Shanti, umur mama sembilanbelas tahun. Sekarang Shanti sudah duapuluhenam tahun kan?”
“Tapi Mama kelihatan masih muda. Bahkan bisa disejajarkan dengan wanita yang di bawah tigapuluhan.”
“Masa sih?!” Mama Aleta tampak senang mendengar ucapanku.
“Betul Mam. Sebagai contoh, ibu kandungku baru berumur tigapuluhdelapan tahun. Tapi Mama kelihatan lebih muda daripada ibuku. Kalau didampingkan, mungkin Mama seperti sebaya dengan ibu tiriku yang usianya baru duapuluhdelapan tahun.”
“Begitu ya? Mmm… jadi mama ini masih menarik bagimu?”
“Kalau aku boleh bicara jujur, Mama ini sangat menggiurkan bagiku.”
Mama Aleta tampak semakin tersanjung. Lalu ia menanggalkan kimono hitamnya, sehingga ia langsung telanjang bulat. Karena ia tidak mengenakan beha mau pun celana dalam di balik kimono hitam itu.
“Ayo lepaskan pakaianmu,” kata Mama Aleta, “Yang tadi belum tuntas kan?”
“Iya Mam,” sahutku sambil melepaskan celana pendek dan baju kausku. Sehingga aku jadi telanjang bulat seperti Mama Aleta.
Mama Aleta yang sudah telanjang bulat itu naik ke atas bed sambil berkata, “Di sini aja Chep. Biar lebih leluasa.”
Aku yang juga sudah telanjang bulat, lalu mengikuti Mama Aleta naik ke atas bed. Dan langsung merayap ke atas perutnya. Harum parfum pun semakin tersiar ke penciumanku, sehingga hasrat birahiku semakin menggila.
Mama Aleta pun menyambutku dengan pelukan hangat dan ciuman yang bertubi - tubi di bibirku.
Lalu terdengar suaranya, “Selama belasan tahun mama belum pernah tergoda oleh lelaki lain, meski suami mama sudah impoten begitu. Tapi hari ini mama sangat tergoda olehmu, Chep.”
Aku cuma tersenyum mendengar pengakuan Mama Aleta itu. Karena aku lebih tertarik untuk mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya… gila… toketnya masih padat, meski kalau sedang berdiri kelihatan menurun.
Lalu terdengar lagi suara Mama Aleta, “Lakukanlah apa yang mau kamu lakukan pada mama. Jangan sungkan - sungkan ya Chepi…”
Mendengar ucapan yang sangat welcome itu, aku pun melakukan apa yang ingin kulakukan. Bahwa ketika aku sedang mengemut pentil toket Mama Aleta, tanganku langsung melorot ke bawah perutnya… langsung mengusap - usap memeknya… lalu menyelinapkan jemariku ke dalam celah memeknya yang hangat dan licin ini.
Awalnya aku hanya menyelinapkan jari tengahku ke dalam liang memeknya. Lalu kumajumundurkan jari tanganku sampai terasa basah dan licin. Dan “kupindahkan” kebasahannya itu ke kelentitnya yang sebesar kacang kedelai itu. Setelah clitorisnya terasa licin, kugesek-gesek dengan jari tanganku.
Mama Aleta pun mulai menggeliat dengan mata terpejam - pejam.
Tapi tampaknya Mama Aleta sudah tidak sabaran lagi. Ia langsung menangkap kontolku, yang lalu moncongnya dicolek - colekkan ke mulut memeknya. Sampai pada suatu saat ia memberi isyarat agar aku mendorong kontolku.
Dan… blessssssss… kontolku melesak amblas ke dalam liang memek Mama Aleta.
“Oooooouuuhhhh… sudah masuk semua Chep… “Mama Aleta merangkul leherku ke dalam pelukannya.
Aku pun langsung mengayun kontolku, bermaju mundur di dalam liang memek Mama Aleta yang “gurih” rasanya.
Mama Aleta pun mulai mendesah - desah sambil menciumi bibirku dengan mesranya, seolah menciumi bibir kekasihnya. “Aaaaaaahhhh… emwuaaaah… aaaaaaahh… emwuaaaah… aaaaaaah… emwuaaaaah… kamu memang tampan sekali Cheeepii… kontolmu juga luar biasa enaknyaaaa… come on… fuck me harder please…
Aku memang mempercepat entotanku. Bahkan kelihatannya Mama Aleta suka kalau aku mendorongnya dengan keras (pada saat kontolku didorong maju). Sehingga menimbulkan bunyi pada memeknya yang tertepuk dasar kontolku. Plak… srtttt… plak… srtttt… plak… srtttt… plakkk… sretttt …
Untungnya kontolku cukup panjang. Sehingga moncong kontolku terus - terusan menyundul dasar liang memek Mama Aleta. Padahal konon liang memek wanita bule itu dalam - dalam. Lebih panjang liangnya. Tapi kontolku bisa mencapai dasar liang memek Mama Aleta ini.
Aku pun tak mau membiarkan mulut dan tanganku nganggur. Ketika aku meremas toket kanannya, mulutku menjilati leher jenjangnya disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Maka semakin riuh jugalah rintihan - rintihan histeris wanita bule itu.
Bahkan sebelum aku berkeringat, Mama Aleta sudah duluan dibasahi keringatnya. Aroma keringatnya yang bercampur harum parfum malah membuatku semakin bernafsu untuk mengentotnya habis - habisan.
Terkada kuemut dan kujilati pentil toket kirinya, sementara tangan kiriku digunakan untuk meremas - remas toket kanannya. Bahkan terkadang aku menjilati ketiaknya yang harum deodorant, disertai dengan sedotan - sedotan kuat. Tanpa peduli keringatnya tertelan olehku.
Akhirnya Mama Aleta berkelojotan sambil merintih seperti minta dikasihani, “Oooooohhh… Cheeepiiii… mama sudah mau datang… mau orgasme… Chepppiiii… aaaaauuuuu… aaaa…”
Lalu ia terpejam sambil menahan nafasnya. Dengan tubuh mengejang tegang. Lalu terasa liang memeknya mengejut - ngejut, diikuti dengan aliran lendir libidonya.
Dan akhirnya terdengar suaranya kembali, “Aaaaaaah… luar biasa indahnya. Terima kasih Chepi… mama akan ikut menyayangimu kelak… ini luar biasa rasanya.”
Tapi aku belum apa - apa. Maka setelah wajah Mama Aleta kelihatan berdarah lagi, aku pun mengayun kontolku kembali. Dalam gerakan cepat, karena liang memeknya sudah becek sekali.
“Kamu memang gagah perkasa Chep,” ucap Mama Aleta sambil menepuk - nepuk pipiku perlahan, “Kalau begini sie, mama bisa multi orgasme nanti.”
“Silakan aja Mam. Aku senang ikut menikmati wanita orgasme.”
Lalu aku mengayun kontolku dalam gerakan hardcore. Cepat dan keras. Sehingga terdengar bunyi unik dari liang memek Mama Aleta, sesuai dengan gerakan kontolku.
Stttt… crekkk… stttt… crekkkk… stttt… crekkkk… srttttt… crekkkk…!
Dan begitu seterusnya.
Keringat pun mulai membanjiri tubuhku, bercampur aduk dengan keringat Mama Aleta. Namun aku tetap tabah dan bernafsu untuk mengentot Mama Aleta habis - habisan. Sehingga Mama Aleta orgasme lagi dan orgasme lagi. Sudah tiga kali dia orgasme.
Namun aku pun sudah tiba di detik - dedtik krusial menjelang puncak kenikmatanku sendiri.
“Nanti… aku ejakulasi di mana Mam?” tanyaku terengah, tanpa menghentikan entotanku.
“Di dalam aja please… aman kok…”
Pada saatr berikutnya, aku menggelepar di atas perut Mama Aleta, sambil menancapkan kontolku sedalam mungkin, kontol yang sedang mengejut - ngejut dan memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crotttt… croooooottttt… crottttcrottt… crooootttttt… crooooooooottttttt… crottttt… crooootttt…!
Aku pun terkapar di atas perut Mama Aleta.
Lalu Mama Aleta menciumku disusul dengan bisikan, “Kamu sangat memuaskan Chepi. Jauh lebih memuaskan daripada papanya Shanti. Karena itu, mungkin mama akan tinggal lama di sini. Agar bisa dipuasi olehmu.”
“Asal jangan ketahuan oleh Shanti ya Mam,” sahutku sambil mencabut kontolku dari liang memek Mama Aleta.
“Tentu saja. Tapi mama kan bisa nyari alesan. Misalnya minta diantar belanja olehmu. Padahal kita akan check in ke hotel.”
“Iya bisa juga kalau begitu Mam. Sekarang kan banyak mall yang ada hotelnya. Jadi Mama bisa belanja beneran dulu, kemudian kita check in ke hotel.”
Esok paginya, Mama Aleta latihan kebugaran di fitness room yang terletak di bagian belakang rumah ini. Lagi - lagi aku tergiur olehnya. Karena Mama Aleta latihan kebugaran dalam keadaan… telanjang bulat…!
Waktu tubuhnya mulai bermandikan keringat, Mama Aleta malah semakin sexy di mataku.
Aku pun mendekati Mama Aleta yang sedang istirahat, dengan tubuh telanjang bermandikan keringat. Namun tiba - tiba handphoneku berdering. Cepat kukeluarkan hapeku dari saku celana trainingku. Ternyata dari Bu Shanti…!
“Sttt… dari Shanti… !” ucapku sambil menyimpan telunjuk di depan bibirku. Kemudian kuterima call dario dosen merangkap kekasihku itu.
Lalu :
Aku: “Hallo Sayang udah di Singapore kan?”
Bu Shanti: “Iya. Aku udah di Singapore. Tapi langsung sibuk mempersiapkan seminar. Jadi baru sekarang sempatnya call Papie.”
Aku: “Gak apa - apa. Yang penting dirimu sehat - sehat aja Beib.”
Bu Shanti: “Sehaaat. Lagi di mana nih?”
Aku: “Lagi di rumahmu. Kan tugasku harus standby selama dirimu di Singapore Beib.”
Bu Shanti: “Gimana keadaan Mama sehat dan ceria gak?”
Aku: “Iya. Sehat dan ceria, tak kurang suatu apa pun.”
Bu Shanti: “Sayaaang… Mama itu udah belasan tahun gak pernah disentuh lelaki, sejak papaku impoten.”
Aku (pura - pura belum tahu) : “Ohya?!”
Bu Shanti: “Iya. Kasian kan. Kalau bisa sih coba deketin dia. Sukur - sukur kalau bisa sampai terjadi hubungan sex. Aku ijinkan deh kalau sama Mama sih.”
Aku: “Beib… kamu ini ngomong apa sih? Kok bicara begitu?”
Bu Shanti: “Aku bicara secara fair dan open minded kok. Mama itu butuh sentuhan lelaki. Kalau dirimu tidak keberatan, coba rayu deh sampai dapat. Biar dia kerasan tinggal di rumah kita. Lagian supaya dia mendukungku untuk menikah dengan dirimu Sayang. Bilang aja kamu udah dapat ijin dariku gitu.”
Sebenarnya aku senang sekali mendengar saran dari Bu Shanti itu. Tapi aku masih bersikap seperti belum setuju pada sarannya itu. Padahal yang disarankannya itu sudah terjadi.
Maka kataku: “Nanti aku pikirkan dulu positif dan negatifnya, ya Beib. Ohya… sebentar… aku mau terima telepon dari mamaku dulu ya Beib. Nanti kutelepon balik kalau sudah selesai menerima telepon dari mamaku.”
“Iya… iya… titip salam aja buat mamamu, dari calon menantu gitu. Hihihiiii…”
“Siiip! See you…”
Hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup. Sebenarnya hanya akal - akalanku saja, bilang ada telepon dari mamaku. Padahal sebenarnya aku ingin memberitahu Mama Aleta tentang isi pembicaraanku dengan anaknya barusan. Karena tadi aku tidak mengeluarkan suara Bu Shanti lewat speaker. Jadi pasti Mama Aleta tidak tahu apa yang kubicarakan dengan anaknya tadi.
Lalu kuhampiri Mama Aleta yang tengah menghanduki tubuh telanjangnya.
“Ada berita gembira Mam,” ucapku sambil mencium leher Mama Aleta yang mengkilap karena keringat. Tapi aromanya justru merangsang nafsuku.
“Berita apa?” tanyanya dengan sorot penasaran.
Lalu kuceritakan isi pembicaraanku dengan anak Mama Aleta barusan.
“Masa dia ngomong begitu?” Mama Aleta seperti kurang percaya.
“Kalau Mama gak percaya, aku telepon dia sekarang ya. Suaranya akan dikeluarin ke speaker, biar Mama bisa ikut mendengarkan. Tapi Mama jangan bersuara ya. Aku mau ngomong sedang sendirian dan Mama sedang tiduran di kamarnya. Oke?”
“Oke, “Mama Aleta mengangguk.
Lalu aku memijat nomor hape Bu Shanti lewat sambungan internasional. Suaranya kukeluarkan lewat speaker supaya Mama Aleta bisa ikut mendengarkan.
Kemudian :
Bu Shanti: “Hallo Sayang…”
Aku: “Hallo juga. Pembicaraan tadi belum selesai Beib. Coba sekarang perjelas lagi. Supaya aku ngggak salah langkah.”
Bu Shanti: “Pokoknya aku ingin agar Chepi mendekati Mama yang sudah belasan tahun tidak merasakan sentuhan lelaki. Sedangkan Mama itu masih full of passion. Aku sering memikirkan hal itu. Dan sekarang kebetulan ada Chepi, bisa kujadikan tempat minta tolong.”
Aku: “Terus aku harus ngapain aja?”
Bu Shanti: “Ah… kayak bukan mahasiswa aja. Masa harus ngomong mendetail tentang soal ini? Kesimpulannya aja ya… kamu harus memuasi gairah Mama.”
Aku: “Berarti aku harus berhubungan sex dengan mamamu?”
Bu Shanti: “Ya begitulah. Tapi kalau Mama gak mau, jangan dipaksa.”
Aku: “Memangnya Mamie gak cemburu kalau sampai terjadi hal sejauh itu dengan mamamu?”
Bu Shanti: “Kalau sama orang lain, pasti aku cemburu. Tapi kalau dengan Mama, aku tiakkan cemburu. Karena Mama itu yang mengandung dan melahirkan ke dunia ini. Lalu merawatku dari bayi sampai sedewasa ini, dengan penuh kasih sayang dan pengorbanan. Masa aku tak mau berkorban sedikit pun untuk kebahagiaan Mama?
“Setelah Mamie pulang dari Singapore juga, aku diijinkan untuk melakukannya dengan Mama?”
Bu Shanti: “Kuijinkan. Anggap aja aku dan Mama istri pertama dan kedua. Wanita yang dipolygami saja banyak yang rukun kan?”
Aku: “Enak dong aku… punya memekmu dan memek Mama… hihihihiii…”
Bu Shanti: “Iya. Tapi cukupkan Mama dan diriku aja ya. Jangan nyari cewek lain lagi.”
Setelah hubungan seluler dengan Bu Shanti ditutup, aku menoleh kepada Mama Aleta yang sudah membelit tubuhnya dengan handuk.
“Sudah jelas kan?” tanyaku, “Dia malah menganjurkanku untuk menggauli Mama. Dia minta agar aku menganggap punya istri dua. Mama dan dia.”
Mama Aleta memeluk dan menciumi sepasang pipiku. “Shanti memang anak yang sangat menyayangi mama…”
Tampak mata Mama Aleta berlinang - linang. Mungkin dia bahagia bercampur terharu setelah mendengar suara anaknya lewat hapeku tadi.
Melihat air mata yang menetes dari kelopak mata Mama Aleta, kuseka dengan kertas tissue yang kotaknya tersedia di dinding.
Tapi tahukah Mama Aleta bahwa aku mendadak teringat mama kandungku sendiri?
Apakah aku tidak kangen kepada Mama kandungku dan tak pernah lagi mendatangi rumahnya? Bukankah aku sudah berjanji bahwa setelah punya mobil aku bisa sering sering datang ke rumahnya?
O, tentu saja aku selalu menepati janjiku. Setiap kali hari libur atau kalau sedang tidak ada kuliah aku selalu mendatangi rumah Mama, untuk meredakan perasaan kangenku kepada beliau sebagai seorang anak kepada ibu kandungnya. Sekaligus sebagai seorang lelaki muda kepada wanita yang bisa dijadikan penyaluran nafsu birahiku.
Ya, biar bagaimana pun Mama adalah the best bagiku, dalam segalanya. Baik dalam kelembutan dan kasih sayangnya, dalam hal kecantikannya dan dalam kelezatan… memeknya…!
Bahkan pada suatu malam Sabtu, sepulangnya kuliah malam, aku langsung memacu mobilku menuju kampung Mama. Karena aku ingin menghabiskan weekend di rumah ibu kandung tercintaku.
Aku baru tiba di depan rumah Mama ketika jam tanganku sudah menunjukkan pukul 10 malam. Tapi Mama sendiri yang membuka pintu depan, dalam kimono putihnya.
“Belum tidur Mam?” tanyaku setelah mencium tangan dan cipika - cipiki di ambang pintu depan.
“Belum. Lagi ingat kamu terus dari siang tadi,” sahut Mama sambil menutup dan menguncikan kembali pintu depan setelah kami berada di dalam.
“Aku juga makanya ke sini lagi ingat terus sama Mama. Makanya pulang kuliah malam langsung ke sini,” kataku sambil duduk di sofa ruang keluarga.
Mama pun duduk di samping kiriku. Yang kusambut dengan melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Mama.
“Perasaan Mama jadi agak langsing sekarang,” ucapku sambil menyelinapkan tangan kananku ke balik kimono Mama. Dan mengusap - usap perutnya yang semakin kempes rasanya.
“Kan kamu yang menganjurkan agar mama mengurangi makan nasi, supaya jangan banyak makan yang mengandung karbohidrat. Mama juga sekarang jadi sering senam. Malu sama anak sekaqligus kekasih mama yang bernama Chepi ini,” sahut Mama sambil menggelitik pinggangku.
Pada saat itulah tanganku sudah meraba - raba memek Mama yang tidak bercelana dalam. Karena Mama terbiasa, kalau mau tidur tak pernah mengenakan beha mau pun celana dalam. Biar gak mengganggu pernafasan, katanya.
Aku pun langsung duduk di karpet, di antara kedua paha putih mulus Mama.
Mama pun mengerti apa yang akan kulakukan. Ia merenggangkan jarak kedua pahanya, sambil memajukan bokongnya jadi di pinggiran sofa. Sehingga memeknya yang senantiasa dicukur bersih berhadapan dengan mulutku yang siap untuk menjilatinya.
Dua - tiga detik kemudian mulutku sudah nyungsep di permukaan memek mama yang senantiasa mengobarkan gairah dalam jiwaku.
Mama mengelus - elus rambutku sambil merintih perlahan, “Ooo… ooooohhh… Chepiiii… mama makin sayang saja sama kamu Naaaak… ooooh… kamu adalah segalanya buat mama sekarang Cheeeep… ooooh… ooooh… Cheeepiiii…”
Setelah terasa memek Mama basah kuyup oleh air liurku bercampur dengan lendir libidonya, mungkin, aku pun spontan berlutut sambil memegang kontolku yang sudah ngaceng berat ini.
Tapi Mama spontan menarik pergelangan tanganku sambil berdiri dan melangkah bergegas ke dalam kamarnya sambil berkata, “Di kamar aja biar leluasa Sayang…”
Mama setengah melompat ke atas bed barunya yang mewah dan sangat mahal harganya. Kemudian ia menelentang sambil merenggangkan kedua belah pahanya dan mengusap - usap memeknya.
Aku pun merayap ke atas perut Mama sambil meletakkan moncong kontolku di ambang mulut memek Mama yang sudah ternganga.
Dengan sekali dorong, kontolku langsung amblas ke dalam liang memek Mama yang sudah becek oleh air liurku… blessss… sssskkkkk…!
Mama ternganga sambil mendekap pinggangku. “Aaaaaaaah… baru sekali ini bisa langsung masuk semua ya Chep… kontolmu memang jauh lebih gagah daripada kontol papamu…! Ayo entotin…”
Aku memagut bibir Mama. Kemudian melumatnya sambil mengayun kontolku, bermaju - mundur di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya.
Seperti biasa, Mama pun tak mau berdiam dikri. Bokongnya mulai bergeol - geol menyerupai angka 8. Memutar - mutar dan meliuk - liuk. Membuat kontolku serasa dibesot - besot oleh dinding liang memeknya yang bergerinjal - gerinjal seperti barisan telur ayam yang masih ada di dalam perutnya (belum dikeluarkan).
Inilah yang membuatku selalu merem melek dan berdengus - dengus setiap kali mengentot mama kandung tercintaku ini.
Mama sendiri memang selalu lupa daratan ketika sedang kusetubuhi. Sehingga dia sering merintih terlalu keras, sehingga aku harus menyumpal mulutnya dengan telapak tanganku.
Sementara batang kejantananku maju - mundur terus di dalam liang memek Mama. Tanpa peduli bahwa liang yang sedang kuentot itu adalah liang yang melahirkan aku ke dunia.
O, betapa jahanamnya aku ini. Tapi kenapa aku merasakan keindahan yang luar biasa di balik kejahanaman ini?
Aku tahu bahwa Mama terkadang seperti mengalami kontradiksi dalam jiwanya ketika selesai kusetubuhi. Terkadang juga kulihat ada genangan air mata di kelopak matanya yang kearab - araban. Ya… aku seolah berhasil memuasi hasrat seks beliau. Tapi kenapa ada tetesan air mata? Apakah setelah beliau merasa puas, muncul penyesalan yang mendalam karena baru saja digauli oleh anak kandungnya?
Namun Mama seperti menindas perasaan menyesal itu dengan mengajakku bersetubuh lagi untuk kedua dan ketiga kalinya. Dan Mama seperti berhasil menindas perasaan sesal itu dengan kenikmatan kedua, ketiga dan seterusnya.
Begitulah. Meski aku hanya menginap semalam di kampung Mama, sedikitnya aku menyetubuhi Mama tiga kali.
Namun saat itu ada yang lain dari biasanya. Sebelum tidur, Mama berkata, “Kamu masih ingat Tante Aini, adik bungsu Mama?”
“Wah… ingat - ingat lupa Mam. Setahuku Mama punya adik banyak kan?” tanyaku.
“Iya. Adik mama ada delapan orang. Enam perempuan dan dua laki - laki. Tante Aini itu adik bungsu mama,” jawab Mama.
“Sebentar… adik - adik mama itu siapa saja namanya?” tanyaku, “Aku malah sudah gak ingat lagi.”
“Nama adik - adik mama itu yang perempuan bernama Dahma, Iqrah, Hibba, Rafna, Shaza dan yang bungsu Aini. Yang laki - laki bernama Bahrul dan Salam.”
“Namanya aneh - aneh ya Mam. Nama Mama sendiri Hafza kan?”
“Iya, semuanya kepakistan-pakistanan. Karena nenekmu orang Pakistan.”
“Oh… iya ya. Ibu Mama orang Pakistan ya.”
“Iya.”
“Terus ada apa dengan Tante Aini?”
“Dia itu jadi istri pengusaha minyak Arab yang kaya raya. Tapi dijadikan istri keempat. Walau pun begitu Tante Aini sangat dimanjakan oleh suaminya, karena dia itu istri termuda. Pokoknya di usia yang masih sangat muda, harta Tante Aini sudah berlimpah ruah. Dan dia sering nanyain kamu, ingin bertemu denganmu, karena ada sesuatu yang sangat penting, katanya.
“Yang penting apa ya?”
“Katanya sih ingin ngajak bisnis sama kamu. Mungkin ingin memutar uang yang berlimpah ruah itu. Mungkin dia ingin punya tangan kanan, orang yang bisa dipercaya.”
Mendengar kata “bisnis”, aku langsung tertarik. “Dia tinggal di mana Mam?” tanyaku.
“Dia sekota denganmu.”
“Kalau memang penting, kenapa gak datang ke rumah aja? Apalagi sekota denganku gitu.”
“Mama juga udah nyuruh temui kamu di rumah papamu. Tapi gak enak katanya. Karena mama sudah bukan istri papamu lagi. Tapi besok juga dia akan ke sini. Jangan pulang dulu sebelum Tante Aini datang ya.”
“Memangnya dia sudah janji mau datang besok?”
“Tadi waktu mama lihat lampu mobilmu muncul, sebelum membuka pintu depan mama ngirim WA dulu padanya. Bilang bahwa kamu sudah datang. Lalu dia balas bahwa besok akan datang ke sini katanya.”
“Iya Mam.”
Mama mengecup pipiku, lalu berkata, “Ya udah, kita bobo yuk.”
“Iya Mam,” sahutku sambil meletakkan tanganku di perut Mama. Perut yang pernah mengandung diriku. Lalu merayap ke bawah. Tapi ditepiskan oleh Mama.
“Jangan megang memek mama lagi dong. Nanti ujung - ujungnya mama bisa horny lagi.”
“Kalau horny lagi ya ngentot lagi aja.”
Mama memegang kontolku dan berkata, “Iiiih… kontolmu udah ngaceng lagi Chep?!”
“Iya Mam. Kalau berdekatan dengan Mama, spontan birahiku membara…” sahutku yang masih telanjang bulat, seperti Mama.
“Jujur, mama juga seperti itu Sayang. Ayo masukin lagi aja kontolmu,” kata Mama sambil menyingkirkan selimut yang tadi menyelimuti ketelanjangan kami berdua. Tanpa basa - basi lagi kubenamkan kontolku ke dalam liang memek Mama. Lalu mulai mengentot Mama lagi.
Mama pun meladeniku dengan lincah. Meremas - remas rambut dan bahuku. Pantatnya pun mulai bergoyang karawang lagi. Sehingga kontolku terombang - ambing dan terbesot - besot dengan serunya.
Ini adalah persetubuhan ronde keempat bagiku. Dengan sendirinya durasiku sangat lama. sampai jham dinding beredentang lima kali (pertanda sudah jam lima pagi), kontolku masih bergerak seperti pompa. Maju mundur maju mundur dan maju mundur terus di dalam liang memek Mama yang luar biasa enaknya ini.
Tubuh kami pun sudah bermandikan keringat lagi. Namun kami tak peduli.
Akhirnya kubenamkan kontolku sedalam mungkin, tanpa kugerakkan lagi. Disusul dengan mengejut - ngejutnya kontolku yang tengah memuntahkan lendir kenikmatanku.
Croootttt… croooottttt… crooootttt… croooottttttttt… crotttttt… crooootttt…!
Lalu kami sama - sama terkapar. Dan tertidur dengan nyenyaknya. Tanpa peduli pada ketelanjangan kami lagi.
Jam duabelas siang aku masih tertidur, tapi dibangunkan Mama, “Sayang… bangun Sayaaang… Tante Aini sedang menuju ke sini… ayo mandi dulu… !”
Aku membuka mata. Menggeliat dan melihat ke jam dinding. Kaget juga setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 12.15 siang.
Aku pun turun dari bed dan langsung melangkah ke kamar mandi Mama, dalam keadaan masih telanjang bulat.
Setelah mandi, kukenakan celana pendek putih dengan baju kaus berwarna hitam. Kemudian aku melangkah ke ruang makan. Ada roti bakar isi daging dua tangkep yang masih hangat.
“Ini boleh kumakan Mam?” tanyaku pada Mama yang sudah mengenakan busana muslim berhijab serba hitam.
“Iya, itu kan sengaja mama bikin buatmu sebelum mama bangunkan tadi,” sahut Mama, “Minumnya apa? Kopi pahit seperti biasa?”
“Iya Mam. Yang kental ya Mam. Biar jangan ngantuk.”
“Iya Sayang,” sahut Mama sambil melangkah ke dapur.
Tak lama kemudian Mama sudah muncul lagi dengan secangkir kopi di tangannya. Kopi iktu diletakkan di atas meja makan. Lalu Mama mengecup pipiku sambil berbisik, “Mama nggak disetubuhi sebulan juga gak apa - apa. Tadi malam kenyang sekali. Sampai semalam suntuk.”
“Kalau aku kangen, pengen ngentot Mama gimana?”
“Ya datang aja ke sini. Memang kapan mama pernah nolak? Kecuali kalau Mama sedang haid.”
“Heheheee… santai aja Mam. Aku juga kenyang banget kok,” kataku.
Baru aja aku selesai makan kedua tangkep roti bakar isi daging itu, tiba - tiba terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah Mama yang sangat luas.
“Nah itu Tante Aini datang. Jemput ke depan gih,” kata Mama sambil masuk ke dalam kamarnya.
Sementara aku melangkah ke ruang depan dan membukakan piuntu depan. Sebuah sedan sport merah sudah terparkir di bawah pohon kersen.
Anjrit… aku punya sedan mahal pemberian Mama. Tapi sedan sport itu jauh lebih mahal. Aku pernah iseng menanyakan harga sedan sport yang sejenis di showroom yang menjual mobil - mobil second. Harganya 16 milyar! Itu harga second. Apalagi harga barunya…!
Seorang wanita muda berpakaian muslimah serba coklat tua dan coklat muda turun dari sedang sport yang membuatku ngiler itu.
Aku pun spontan menghampirinya dan memuji di dalam hatiku, bahwa wanita muda yang adik bungsu Mama itu sangat cantik…!
“Tante Aini?” tanyaku sopan.
Ia menatapku dengan sepasang mata beningnya. “Iya. Kamu Chepi?!” tanyanya.
“Iya Tante,” sahutku sambil mencium tangan kanannya.
Wanita muda berhijab yang kutaksir baru 22-23 tahunan mengepit sepasang pipiku dengan kedua telapak tangannya yang hyalus dan hangat. “Chepi… setelah gede kamu kok jadi tampan sekali sih?” cetusnya yang disusul dengan ciumannya di sepasang pipiku. Harum parfum mahal pun tersiar ke penciumanku.
“Tante juga cantik sekali, laksana putri raja Arab.”
“Masa?! Jangan bawa - bawa Arab ah. Kita ini punya campuran darah Pakistan. Bukan Arab. Mmm… aku sudah sering nanyain kamu sama mama. Baru sekarang bisa berjumpa ya?”
“Iya Tante. Mari masuk.”
Tante Aini yang jelita itu mengangguk, lalu melangkah di sampingku, masuk ke dalam rumah Mama.
Mama baru keluar dari kamarnya. Kelihatan sudah bermake up sedikit, rambutnya pun tidak acak - acakan seperti tadi.
Mama berpelukan dan cipika - cipiki dengan Tante Aini. Kemudian kami duduk di ruang tamu yang sudah direnovasi oleh Mama, agar tidak terlalu ketinggalan zaman.
Setelah ngobrol singkat tentang masalah keluarga, Tante Aini berkata, “Sekarang kita bicara masalah bisnis ya.”
“Siap Tante.”
Mama langsung berdiri dan berkata, “Silakan aja bahas masalah bisnisnya. Aku mau ke dapur dulu ya.”
“Iya Kak,” sahut Tante Aini sambil tersenyum.
Setelah Mama meninggalkan ruang tamu, Tante Aini berkata padaku. Bahwa pada dasarnya ia membutuhkan orang yang bisa dipercaya untuk mengurus usahanya. Kemudian dia berkata bahwa di kota kami ada rumah yang bisa dijadikan kantor sekalian tempat tinggalku. Tapi urusan yang mendesak adalah, dia ingin agar namaku dipakai untuk perusahaannya yang akan membeli tiga buah kapal tanker dalam keadaan rusak.
“Aku tidak ingin suamiku tau bahwa ketiga kapal tanker itu dibeli olehku. Karena penjualnya teman - teman suamiku sendiri. Sedangkan suamiku takkan mengira aku punya uang sebanyak itu,” kata Tante Aini di tengah penuturannya.
“Lalu kapal - kapal tanker yang sudah pada rusak itu mau dijual sebagai besi tua Tan?”
“Hush bukan! Kalau sekadar mau dijadikan besi tua sih gampang banget. Baik di Jakarta mau pun di Surabaya ada haji Madura yang sudah pada jadi trilyuner sebagai buyer besi tua. Tinggal tawarin ke mereka saja, bisa langsung dibeli.”
“Terus mau diapain nantinya?”
“Begini,” kata Tante Aini, “ketiga kapal tanker itu memang mau dijual murah sekali. Bahkan lebih murah daripada kalau dijadikan besi tua. Maklum orang - orang Arab kan gak mau pusing. Punya mobil rusak di jalan aja bisa mereka tinggalkan begitu saja di pinggir jalan, tanpa diperbaiki. Ketiga kapal tanker itu pun begitu.
“Lalu peranku sebagai apa nanti Tante?”
“Kamu harus berperan sebagai pihak pembeli. Tentu saja duitnya dari aku nanti.”
“Supaya tidak ketahuan oleh suami Tante bahwa sebenarnya ketiga kapal tanker itu dibeli oleh Tante?”
“Betul Sayang. Aku mau percayakan semuanya padamu. Tapi tentu nanti akan kukasihtau ini itunya.”
“Jadi aku hanya sebagai wayang ya Tante.”
“Sebagai tangan kananku. Bukan sebagai wayang. Kan pada waktu negosiasi nanti, aku takkan ikut campur. Kamu bisa jalan sendiri kan?”
“Pemilik kapal - kapal itu orang Arab?”
“Iya. Kapalnya ada tiga, berarti tiga orang Arabnya.”
“Aku gak bisa bahasa Arab Tante.”
“Kan dia selalu membawa orang Indonesia yang bisa berbahasa Arab. Jadi ucapan kita dalam bahasa Indonesia akan diterjemahkan oleh interpreter itu.”
Aku merasa sedang diperhatikan oleh Tante Aini, tapi aku pura - pura tidak menyadarinya saja. Mungkin dia sedang memperhatikan sikapku, apakah aku ini jujur dan cerdas atau tidak.
“Bagaimana?” tanyanya.
“Siap Tante. Aku akan mencobanya semampuku. Tapi mungkin aku butuh teman, agar aku tidak terlalu sendirian.”
“Boleh. Karena nanti urusan kita bukan cuma kapal - kapal tanker itu. Masih banyak yang bisa kita kerjakan nanti. Yang penting Chepi harus jujur, ulet dan sabar.”
“Siap Tante.”
“Sekarang kuliahnya sudah semester berapa?”
“Baru semester tiga Tante.”
“Ntar dulu… waktu kamu lahir, umurku baru lima tahunan. Berarti sekarang baru delapanbelas tahunan ya.”
“Betul Tante,” sahutku sambil berkata dalam hati - Berarti tepat dugaanku, usianya 23 tahun -.
“Delapanbelas tahun sudah semester tiga. Termasuk cepat juga.”
“Aku lulus SMA pada usia menjelang tujuhbelas tahun. Sekarang semester tiga pun baru dijalani sebulan.”
“Begitu ya. Sudah punya cewek?”
“Belum Tante. Mau konsen kuliah dulu.”
“Itu bagus. Cowok setampan kamu, cewek sih gampang dapetinnya nanti, setelah jadi sarjana.”
“Hehehee iya Tante,” sahutku yang merasa malu sendiri. Karena sebenarnya aku sudah punya pengalaman banyak dalam masalah perempuan.
Tante Aini seperti mau ngomong lagi. Tapi keburu datang Mama yang berkata, “Ayo Aini… kita makan dulu seadanya.”
“Aduuuh… Kak Hafza suka repot terus kalau aku datang ke sini ya.”
“Walaaah… repot apa cuma nyediain makan adik kesayanganku… ayo Chepi temenin tantemu makan tuh…”
Aku pun bangkit berdiri dan mengikuti langkah Tante Aini menuju ruang makan.
Aneh memang. Perempuan berhijab selalu mendatangkan pesona tersendiri bagiku. Pesona sekaligus rasa penasaran yang jahanam. Karena aku sering membayangkan seperti apa perempuan berhijab itu kalau sudah telanjang bulat di depan mataku?