Pada waktu kami bertiga makan bersama, Tante Aini curhat kepada Mama. Bahwa sebagai istri keempat ia sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan ketiga istri lainnya. Ketinggalan dalam soal harta yang dimilikinya. Karena itu ia sedang mengumpulkan harta agar bisa mengejar ketertinggalannya. Dia sering minta uang dalam jumlah banyak kepada suaminya yang sudah berusia 65 tahun itu.
“Aku gak mau menunggu suamiku wafat Kak,” ucapnya waktu curhat kepada Mama sambil makan siang bersama itu. “Karena itu aku akan berusaha mnengejar ketinggalan itu dengan berusaha sendiri. Maka aku akan minta bantuan Chepi untuk mengurus usaha - usahaku. Dan semuanya itu akan diatur dari sebuah rumah yang sekarang masih kosong.
“Silakan aja manfaat tenaga dan pikiran Chepi, Dek. Sekalian aku titip Chepi ya. Tolong ikut pikirkan masa depannya nanti,” sahut Mama, “Karena dia satu - satunya anakku.”
“Iya, iyaaa… tentu saja Chepi harus banyak kemajuannya setelah aktif bersamaku nanti Kak.”
Setelah makan siang selesai, kami melanjutkan obrolan di ruang tamu lagi. Kemudian aku diajak oleh Tante Aini untuk melihat rumah yang katanya masih kosong itu.
Maka aku pun pamitan kepada Mama untuk langsung pulang.
Lalu aku dan Tante Aini menuju rumah yang terletak di kotaku juga itu, dalam mobil masing - masing.
Di belakang setir pikiranku belum fokus ke arah bisnis yang akan ditekuni olehku bersama Tante Aini. Aku malah membayangkan seperti apa tubuh Tante Aini itu kalau sudah ditelanjangi nanti. Dan… diam - diam pnisku ngaceng ketika aku masih mengikuti mobil Tante Aini menuju rumah yang belum pernah kulihat itu.
Tapi… aku harus menepiskan pikiran jahanam itu. Lebih baik aku memusatkan pikiranku kepada bisnis bersama Tante Aini nanti. Soal perempuan sih sudah cukup banyak yang bisa kujadikan pelampiasan nafsuku.
Tertegun aku setelah tiba di depan rumah besar dan megah itu. Begitu megahnya rumah yang kata Tante Aini akan dijadikan kantor sekaligus tempat tinggalku ini. Lalu aku dibawa masuk ke dalam.
Ternyata rumah yang katanya kosong itu sudah lengkap segalanya. Sepintas pun kulihat perlengkapan rumah ini serba mahal.
Di bagian belakangnya ada taman dan kolam renangnya segala. Kolam ikan hias pun ada, tapi masih kering. Kata Tante Aini, kalau aku sudah tinggal di rumah megah ini, silakan kolamnya diisi dengan ikan hias. Mungkin ikan koi cocok untuk dipelihara di kolam yang ditata secara artistik itu.
Ketika aku duduk di bangku kayu jati depan taman, Tante Aini duduk merapat di samping kiriku. “Rumah ini kubangun secara diam - diam tanpa sepengetahuan suamiku. Tadinya akan kupakai untuk istirahat kalau suamiku tidak sedang bersamaku.”
“Kata Tante, istrinya yang tinggal di Indonesia hanya Tante sendiri. Yang lainnya di timur tengah semua. Lalu bagaimana cara menggilirnya?” tanyaku.
“Aku kebagian seminggu dalam sebulan.” sahut Tante Aini.
“Jauh sekali jarak antara negaranya dengan Indonesia ya.”
“Iya. Tapi dia kan punya pesawat jet pribadi. Kapan pun bisa terbang ke mana saja.”
“Owh… iya ya. Sekarang artis Indonesia aja udah ada yang punya pesawat pribadi. Apalagi pengusaha minyak dari Arab.”
“Bagaimana? Kira - kira kamu nyaman tinggal di sini?”
“Nyaman Tante. Sangat nyaman.”
“Mmm… begini Chep… sebenarnya ada dua point yang membutuhkan dirimu. Pertama soal bisnis itu. Dan kedua… hihihi… malu mengatakannya…”
“Masalah apa Tante? Kok pakai malu segala?”
“Ketiga istri suamiku sudah punya anak semua. Tinggal aku yang belum. Jadi… ada tugas rahasia buatmu Chep. Kamu mau menghamiliku?” tanya Tante Aini sambil merapatkan pipinya ke pipiku.
“Serius Tante?” tanyaku ragu.
“Masa aku main - main dalam soal sepenting itu. Kamu mau kan menggauliku secara teratur pada saat suamiku sedang menggilir ketiga istrinya?”
“Sekarang Tante?”
“Sekarang sih jangan.”
“Kenapa? Aku sudah bersemangat nih Tante,” ucapku pede, karena pnisku pasti bisa ngaceng keras jika harus menyetubuhi Tante Aini.
“Sekarang aku sedang haid. Minggu depan aja kita ketemuan di sini ya. Sekarang kan hari Sabtu, jadi kita ketemuan hari Sabtu yang akan datang. Gimana?”
Aku menunduk sambil berkata, “Iya Tante.”
“Kok kelihatannya kayak yang sedih?” tanya Tante Aini sambil mengusap - usap rambutku.
“Nggak Tante. Tadi aku telanjur bersemangat. Tapi kalau Tante sedang ada halangan gak apa - apa. Biar kupendam aja dulu hasrat dan gairah ini.”
“Karena aku sedang menstruasi, kamu boleh menyelusuri tubuhku dari perut ke atas. Tapi dari perut ke bawah, gak boleh disentuh ya,” kata Tante Aini sambil membuka kancing baju jubahnya yang berada di depan, satu persatu.
Aku cuma mengangguk sambil tersenyum.
Lalu, dengan baju jubah yang sudah terbelah dua di bagian depannya, Tante Aini melingkarkan lengannya di leherku, disertai ucapan setengah berbisik, “Kamu memang tampan sekali Chep. Makanya aku mau melupakan bahwa kamu ini keponakanku.”
Sebagai jawaban, aku pun menyelinapkan tanganku dalam belahan baju jubah berwarna coklat tua itu, lalu mendekap pinggangnya yang hangat, tanpa terhalang apa pun lagi. “Tante juga cantik sekali. Sejak turun dari mobil di depan rumah Mama tadi, aku terkagum - kagum menyaksikan tanteku yang cantik rupawan begini…
Ucapanku terputus karena Tante Aini memagut bibirku ke dalam ciuman hangatnya, yang kusambut dengan lumatan penuh nafsu.
Nafsuku laksana api yang tak terpadamkan ketika saling lumat bi8bir dengan tanteku yang muda dan cantik itu. Terlebih setelah tanganku diijinkan merayapi payudaranya, yang ternyata masih sangat kencang… oooh… jelas ini membuat pnisku semakin ngaceng dan sulit mengendalikannya lagi.
Bukan cuma itu, aku pun sampai tidak menyadari bahwa tangan Tante Aini tahu - tahu sudah menggenggam pnisku yang sudah sangat tegang ini.
“Wow… pnismu international size Chepi…” bisik Tante Aini yang pentil toketnya sedang kumainkan.
“Pasti gedean pnis Arab lah,” sahutku tersipu, karena rahasiaku sudah terbongkar. Bahwa pnisku sudah ngaceng berat.
“Gak ah. Sama punya suamiku masih gedean dan panjangan punya kamu Chep.”
“Masa sih? Kata orang pnis arab gede - gede Tante.”
“Mythos itu sih. Yang luar biasa gede sih pnis negro zaman sekarang mah. pnis arab sih sama aja sama bangsa kita.”
Aku tidak menyahut, karena sedang asyik mengemut pentil toket kirinya sambil meremas toket kanannya yang ternyata masih sangat kencang.
Perawakan Tante Aini berbeda dengan peraWAKAN Mama. Kalau tubuh Mama Tinggi montgok dengan bokong dan sepasang toket gede, tubuh Tante Aini ini proporsional. Tinggi langsing tapi tidak kurus. Kulitnya pun tidak seputih kulit Mama, agak gelap warnanya. Dan wajah Tante Aini itu bukan hanya cantik, tapi sama sekali tidak mirip wajah wanita Indonesia.
“Mau lihat aku telanjang?” tanya Tante Aini tiba - tiba.
“Mau… tapi Tante kan lagi haid?”
“Lihat aja boleh, asal jangan disentuh.”
Tante Aini melepaskan baju jubahnyha, sehingga tinggal beha dan celana dalam yang masih melekat di tubuhnya. Yang unik adalah bentuk beha dan celana dalamnya itu
(lihat gambar). Celana dalam dan behanya terbuat dari bahan yang sama, berwarna biru dengan polka dot putih. Behanya berbentuk icon love, dengan ujung lancipnya berada di dekat pusar perutnya. Uniknya lagi, beha dan celana dalamnya itu seperti menyatu lewat tali dari bahan yang sama.
Kemudian Tante Aini menarik kursi yang lalu didudukinya, sambil melepaskan celana dalamnya. Kemudian dia duduk mengangkang sambil memamerkan vginanya yang plontos, tiada jembut sama sekali. Bahkan vginanya sampai mengkilap saking bersihnya. Mungkin dia menggunakan wax untuk membersihkan jembutnya.
“Kamu ingin memasukkan pnismu ke sini kan?” tanya Tante Aini sambil menepuk - nepuk vginanya dengan senyum menggoda di bibirnya.
“Iya Tante,” Sahutku, “Tapi Tante kan lagi haid?”
“Hihihihiii… aku gak sedang haid. Bahkan sekarang ini sedang dalam masa subur. Aku hanya ingin menguji ketabahanmu aja.”
“Ohya?! Hahahaa… Tante pintar juga mempermainkanku,” ucapku sambil melangkah maju, mendekati kursi yang sedang dipakai duduk mengangkang oleh tanteku itu.
“Aku ingin mengujimu saja. Bukan mempermainkanmu.”
Aku cuma tersenyum, dengan pandangan terpusat ke arah vgina Tante Aini. Lalu aku duduk di lantai, menghadap ke vgina Tante Aini yang sedang duduk mengangkang itu.
“Kenapa kamu duduk di lantai begitu?” tanya Tante Aini.
“Pengen jilatin vgina Tante,” sahutku.
“Owh… ya udah… jilatin deh sepuasmu…” ucap Tante Aini sambil mmengusap - usap pahanya sendiri.
Tanpa basa basi lagi kuciumi vgina tanteku yang cantik dan baru berusia 23 tahun itu.
“vginaku belum pernah dijilatin Chep…”
“Memangnya suamik Tante gak pernah menjilatinya?”
“Boro - boro jilatin. megang aja belum pernah.”
“Lalu kalau bersetubuh gimana?”
“pnisnya harus kupegangi. Kuarahkan sendiri. Setelah arahnya tepat, kusuruh dia mendorong pnisnya. Begitu selalu kebiasaannya.”
Aku tak menyahut lagi, karena mulai asyik menjilati vgina Tante Aini yang menyiarkan harum parfum mahal ini. Mungkin parfumnya cuma disemprotkan ke selangkangannya, lalu harumnya semerbak ke sana -p sini.
Tante Aini pun mengusap - usap rambutku sambil merintih dan mendesah, “Aaaaaah… aaaaaahhhhh… aaaaaaaah… ternyata enak dijilatin begini ya Chep… enak sekali…” ucap Tante Aini sambil mengusap - usap rambutku.
Terlebih lagi ketika aku mulai lahap menjilati kelentitnya, Tante Aini menggeliat - geliat sambil merintih - rintih… “Ooooh… Chepppiii… apa itu yang kamu jilatin? Itil ya? Ooooh… ini lebih enak lagik Cheeep… jilatin terus itilku Cheeepppiiii… ooooh… jilatin terusssss…”
Bahkan pada suatu saat Tante Ainik berdesis, “Ssssssshhhh… ssssshhhhh… masukin aja pnismu Cheeep… vginaku sudah basah sekali nih…”
Aku pun berdiri sambil melepaskan celana jeans dan celana dalamku. Bahkan baju kausku pun ditanggalkan. Kemudian dengan agak membungkuk kuletakkan molncong pnisku di ambang mulut vgina Tante Aini.
Dan… bleeessssss… pnisku mulai melesak ke dalam liang vgina tanteku.
“Dudududuuuuuh… terasa benar gedenya pnismu Cheeep… gak nyangka keponakanku yang tampan ini pnisnya luar biasa…” ucap Tante Aini sambil menarik kedua lipatan lututnya sehingtga kedua lututnya berada di samping sepasang toketnya. Sehingga aku bisa mendorong lagi pnisku sampai mentok di dasar liang vgina Tante Aini.
Sedetik kemudian aku pun sudah mulai mengentot liang vgina tanteku yang jelita dan masih sangat muda itu. Ternyata liang vgina Tante Aini luar biasa legitnya. pnisku serasa disedot - sedot oleh liang vginanya, saking legitnya.
Tante Aini pun mulai merintih - rintih histeris.
Namun pada suatu saat ia berkata terengah, “Pindah aja ke dalam kamar Chep. Biar lebih sempurna eweannya.”
Kuikuti saja keinginan Tante Aini itu. Tapi aku enggan melepaskan pnisku dari dalam liang vginanya. Karena itu kuangkat tubuhnya sedemikian rupa, sehingga pnisku tetap berada di dalam liang vgina tanteku.
Tante Aini memeluk leherku, sementara sepasang toketnya menempel di dadaku. Dan aku menahannya dengan memegang bokong tanteku, sementara pnisku tetap berada di dalam liang vgina Tante Aini.
Kubawa Tante Aini menuju kamar yang pintunya terbuka dan ditunjuk oleh Tante Aini.
Setelah berada di dalam kamar itu, aku masih bisa menggunakan kakiku untguk menutupkan pintu itu, kemudian membawa Tante Aini ke atas bed dengan hati - hati, agar pnisku jangan sampai tercabut dari liang vgina super legitnya.
Sesaat kemudian aku telah mengayun kembali batang kemaluanku, sambil mencium dan melumat bibir Tante Aini.
DI saat lain aku pun bisa meremas toketnya sambil menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai denbgan gigitan - gigitan kecil.
Semakin merintih - rintih juga Tante Aini dibuatnya. “Entot terus Cheeeep… pnismu luar biasa enaknya Cheeeep… entoooot teruuuuusssssssss… iyaaaaa… iyaaaaa… enak sekali Cheeep… enaaaaaaak…”
Aku pun menanggapinya dengan bisikan, “vgina Tante juga luar biasa legitnya… uuuuughhhh… uuuughhhh…”
Tante Aini memang sangat berbeda dengan Mama. Tubuhnya proporsional segalanya. Toketnya berukuran sedang - sedang saja, gede tidak kecil pun tidak. Bokongnya pun tidak gede - gede amat, tapi indah sekali bentuknya.
Dan yang paling menonjol pada dirinya, adalah rasa liang vginanya itu. Legit sekali, lebih legit daripada dodol Garut.
Pada waktu pnisku menggedor - gedor liang vagina legitnya, Tante Aini tiada hentinya merintih dan berdesah, dengan mata merem melek pula. “Cheeepiiii… aaaaaaah… Cheeeepiiii… ini luar biasa rasanya… baru sekali ini aku merasakan digauli yang senikmat ini Cheeeep… aku semakin sayang padamu Cheeeepppiii…
Tadi sebelum meninggalkan rumah Mama, aku yakin bahwa semuanya ini takkan terjadi. Mengingat tadi malam aku sudah habis - habisan menggauli Mama. Sampai empat ronde! Karena itu aku kurang pede pada awalnya. Tapi setelah berdekatan dengan Tante Aini, senjata pusakaku ngaceng terus, karena mnenemukan “pemandangan” baru.
Bahkan kini, ketika aku sedang asyik mengentot Tante Aini ini, aku laksana kebalikan plesetan lagu Jawa… suwe ora ngono, ngono ora suwe… lama tidak begituan, begituan tidak lama. Sementara aku baru saja tadi malam bertarung dengan Mama sampai empat ronde. Maka kini durasi ngentotku jadi lama…
Tante Aini klepek - klepek terus. Orgasme dan orgasme lagi entah sudah berapa kali.
Steleh lebih dari sejam aku menyetubuhi tanteku, akhirnya aku pun tiba di detik - detik krusialku, dengan keringat yang sudah membanjir, bercampur aduk dengan keringat Tante Aini.
“Lepasin di dalam Tante?”
“Iyalah. Aku kan pengen hamil olehmu,” sahut Tante Aini sambil mendekap pinggangku dengan eratnya.
Maka kupacu ayunan pnisku secepat mungkin, agar jangan mundur lagi ejakulasinya. Karena aku sudah merasa letih sekali…
Akhirnya kutancapokan batang kemaluanku sedalam mungkin, sampai menabrak dasar liang vgina Tante Aini. Tidak kugerakkan lagi. Dan… pnisku mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croottt… croooottttt… crooottt… croooooooottttttt… crotttt… crooootttttttt…!
Tante Aini menciumi bibirku disusul dengan bisikan, “Terimakasih ya Chepi sayaaang… gak nyangka kamu akan segagah ini menggauliku.”
“vgina Tante luar biasa legitnya,” sahutku setelah mencabut pnisku dari vgina Tante Aini, “Aku bakal ketagihan nanti.”
“Sama, aku juga bakal ketagihan. Tapi kamu kelihatannya udah banyak pengalaman dengan perempuan ya?”
Pengalaman sih ada, tapi hanya dengan satu orang wanita yang usianya jauh lebih tua daripada Tante,” jawabku berbohong. Kalau dia mendesakku, akan kusebut saja seorang pembantu sambil membayangkan Bi Caca.
“Seneng sama tante - tante ya, “Tante Aini mencubit perutku.
“Hehehee… sekarang kan sedang bersama seorang tante.”
“Itu kan sebutan menurut sirsilah keluarga kita. Padahal aku belum pantes disebut tante kan?”
“Memang belum. Tante masih sangat muda, cantik dan… heheheee…”
“Dan apa?”
“Enak sekali itunya,” sahutku sambil menunjuk vgina Tante Aini yang sedang diseka dengan kertas tissue basah.
“Syukurlah kalau kamu merasa enak sih. Dan yang penting, aku ingin dihamili oleh ini,” ucap Tante Aini sambil menggenggam pnisku yang sudah lemah lunglai, “Kalau aku sampai hamil… aku akan sangat memanjakanku nanti.”
“Siap Tante.”
Kemudian Tante Aini bersih - bersih di dalam kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap kembali. Aku pun mencuci batang kemaluanku di kamar mandi dan mengenakan pakaian lengkap lagi.
Lalu kami keluar dari kamar. Dan duduk di pinggir taman lagi.
Di situlah Tante Aini membahas masalah bisnis secara keseluruhan. Antara lain juga membahas masalah pavilyun rumah itu yang akan dijadikan kantor dan memang sudah ditata secara layak untuk dijadikan kantor.
Sebelum berpisah, Tante Aini mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat. Diserahkannya amplop sebesar map itu padaku sambil berkata, “Ini uang untuk biaya operasionalmu setelah aktif nanti. Carilah sekretaris dan tangan kananmu. Pilihlah orang - orang yang kamu anggap tepat dan bisa dipercaya.
“Siap Tante,” ucapku sambil membuka amplop sebesar map itu.
Wow… ternyata isinya 10 ikat uang dollar pecahan US $100. Berarti jumlah uang itu US $ 100.000. Dan kalau dirupiahkan lebih dari 1 milyar…!
Tapi aku tak mau kelihatan kaget. Takut dianggap katro oleh Tante Aini.
“Cari juga pembokat untuk bersih - bersih rumah dan masak untukmu. Kalau bisa nyari pembantu harus nyari sendiri ke pedesaan. Kalau asal - asalan ngambil dari yayasan, sering mengecewakan, karena baru dua - tiga hariu ada yang minta pulang dan sebagainya. Rekrut juga empat atau lima orang satgpam untuk bergiliran menjaga rumah ini.
“Siap Tante.”
“Ohya, kalau ada kekurangan uang, WA aja ke nomor hapeku. Nanti langsung kutransfer ke rekening tabunganmu.”
“Iya Tante.”
Sebelum berpisah Tante Aini mencium bibirku dengan mesranya. Lalu mengusap - usap rambutku sambil berkata, “Aku sayang sekali padamu Chep.”
“Sama Tante. Aku juga begitu.”
“Ohya… sebelum ada pembantu, kalau mau ninggalkan rumah ini kunci - kunci dulu semua pintunya ya Sayang.”
“Siap Tante,” sahutku dengan sikap hormat. Karena Tante Aini bukan sekadar tanteku, melainkan juga sudah terasa sebagai bossku.
Sebelum masuk ke dalam sedan sportnya, Tante Aini sempat berkata, “Nanti kalau aku sudah hamil dan melahirkan anak kita, aku akan memberikan sesuatu untukmu.”
Terawanganku buyar ketika lututku ditepuk oleh Mama Aleta, “Hai… kok malah ngelamun? Ingat sama Shanti ya?”
“Nggak Mam. Aku cuma agak kaget setelah ingat bahwa siang ini aku ada janji dengan temanku.”
“Lho… janji itu harus ditepati. Kalau tidak bisa memenuhi janji itu, sedikitnya harus memberi kabar,” kata Mama Aleta.
“Mama gak apa - apa kan kalau kutinggalkan sekarang ini?”
“Gak apa - apa. Asalkan pulangnya jangan terlalu malam,” sahut Mama Aleta.
Sebenarnya ada sesuatu yang memaksaku untuk meninggalkan rumah Bu Shanti siang ini. Tadi pagi ada telepon dari Papa, menyuruhku menyelidiki Mbak Nindie, kakak seayah beda ibu itu. Kata Papa, “Dia pulang sendiri ke rumah peninggalan ibunya, tanpa suaminya. Tadi dia nelepon papa, dengan suara seperti sedang menangis.
Itulah sebabnya aku meninggalkan rumah Bu Shanti, menuju rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie.. Di antara ketiga anak Papa, hanya aku yang masih punya ibu kandung. Ibu kandung Mbak Susie dan Mbak Nindie sudah meninggal.
Ya, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu lahir dari satu ibu. Hanya aku yang lahir dari ibu lain. Dengan kata lain, Mbak Susie dan Mbak Nindie itu dahulunya anak tiri Mama.
Berbeda dengan darah yang mengalir di tubuhku, ibunya Mbak Susie dan Mbak Nindie itu asli Jawa. Sehingga aku memanggil mereka dengan sebutan “mbak”. Sementara dari keluarga Mama sama sekali tidak ada yang menggunakan sebutan mbak.
Rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie kecil, tapi tanahnya lumayan luas. Terletak di pinggir jalan besar pula. Sehingga aku bisa memasukkan mobilku ke pekarangan rumahnya. Ketika aku turun dari mobil, kulihat Mbak Nindie muncul dan menghampiriku. Kakakku yang berperawakan chubby itu tampak kelopak matanya bengkak.
“Chepi?! Kirain Papa…” ucap Mbak Nindie sambil memelukku. Lalu kami cipika - cipiki.
“Papa kan lagi di Medan Mbak. Nanti kalau sudah pulang pasti ke sini.”
“Kata Papa, Mamie lagi hamil ya?”
“Iya,” jawabku agak kaget. Karena menanyakan sesuatu yang merupakan buah dari perbuatanku dengan Mamie.
“Kita bakal punya adek dong ya,” ucap Mbak Nindie sambil menuntunku ke dalam rumahnya.
“Iya,” sahutku mengambang. Masalahnya, batinku berkata bahwa yang di dalam perut Mamie itu calon anakku. Bukan calon adikku.
Di dalam rumah peninggalan ibunya Mbak Nindie itu kelihatan serba sederhana. Di ruang tamu hanya ada sebuah dipan jati ditutup dengan sehelai tikar. Tidak ada sofa, tidak ada apa - apa. Di atas dipan bertilamkan tikar itulah kami duduk.
“Mas Purwo gak ikut pulang Mbak?” tanyaku menanyakan suami Mbak Nindie.
“Aku sudah cerai dengan dia Chep,” sahut Mbak Nindie sambil memegang pergelangan tanganku.
“Cerai? Kenapa? Apa dia main gila dengan perempuan di Ternate?”
“Selentingan yang kudengar sih memang begitu. Tapi yang bikin aku gak tahan, dia sering KDRT. Sedikit - sedikit nempeleng, nonjok dan sebagainya. Makanya aku minta cerai aja.”
“O, begitu ya. Terus anak Mbak dikemanain?”
“Tinggalin aja sama dia. Biar dia urus. Aku kan gak punya penghasilan.”
“Anak Mbak kan baru satu yang namanya Pipit itu kan?”
“Iya. Aku gak mau nambah lagi. Soalnya Mas Purwo itu, aku sedang hamil aja bisa nempeleng dan nendang segala.”
“Wah, lelaki semacam itu sih memang harus ditinggalin Mbak.”
“Iya… hiks… cuma aku inget sama Pipit terus… hiks… “Mbak Nindie memelukku sambil menangis terisak - isak.
Dan… inilah watakku. Ketika Mbak Nindie memelukku ini, pikiranku malah melayang ke satu arah… arah jahanam.
Bahkan aku masih ingat benar, dahulu waktu aku m asih kecil, aku sering ngintip Mbak Nindie mandi…! Dan aku selalu saja merasa terangsang melihat toket gedenya… juga bokong gedenya…!
Tapi aku berusaha menahan diri. Dan bertanya, “Terus, untuk kebutuhan hidup sehari - hari Mbak dari mana?”
“Belum tau. Mungkin mau nyari kerja aja.”
“Kerja jadi sekretarisku mau?”
“Sekretarismu? Memangnya kedudukanmu sebagai apa sekarang ini?”
“Begini aja. Supaya Mbak jangan nganggap maen - maen, sekarang ganti baju deh. Ikut sama aku ke tempat Mbak akan kukerjakan dengan gaji pantas nanti.”
“Serius Chep?”
“Seriuslah. Masa aku mempermainkan Mbak yang sedang dalam suasana murung gitu.”
“Sekarang perginya?”
“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekaranglah. Mumpung aku gak lagi sibuk.”
Mbak Nindie ketawa cekikikan. Lalu masuk ke dalam kamarnya. Meninggalkanku sendirian di atas dipan keras ini.
Dan… aku mengikuti langkah Mbak Nindie dengan mengendap - endap.
Kebetulan pintu kamar Mbak Nindie hanya ditarik sedikit, tidak sampai tertutup rapat.
Pasti aku akan menyaksikan kakakku yang akan ganti pakaian.
Di dekat pintu kamar Mbak Nindie, kucopot sepatuku, supaya bisa melangkah tanpa bunyi. Lalu aku melongok ke dalam kamar yang pintunya terbuka setengahnya. Maaak… Mbak Nindie sudah melepaskan dasternya dan tinggal mengenakan celana dalam, sementara toket gedenya (yang sejak dahulu mengalirkan air liurku) terbuka penuh.
Kebetulan Mbak Nindie sedang membelakangi pintu, sehingga aku bisa mnelangkah masuk tanpa menimbulkan bunyi.
Aku melangkah mengendap - endap ketika Mbak Nindie sedang memilih pakaian dari dalam lemarinya. Dan setelah aku berada tepat di belakangnya, langsung kujulurkan tanganku untuk menangkap sepasang toketrnya, “Ini dia yang kukhayalkan sejak kecil dahulu …” ucapku sambil mengcakup sepasang toket gewdenya dengan kedua tanganku.
“Chepi…! “seru Mbak Nindie, “Kamu bikin kaget aja iiih…”
Tapi Mbak Nindie tidak meronta sedikit pun. “Mas Purwo memang bodoh. Masa wanita seseksi Mbak ini disia - siakan…”
Mbak Nindie menyahut, “Kamu kan adikku. Jelas aja harus ngebelain kakak. Tapi Mas Purwo yang sedang gila cewek lain, malah semakin garang sikapnya padaku.”
Aku mulai memainkan kedua pentil toket Mbak Nindie meski masih berdiri di belakangnya. Sehingga Mbak Nindie menepiskan kedua tanganku, “Udah ah… nanti kebablasan… kalau aku jadi horny gimana?”
“Sejak kecil aku suka sama toket Mbak. Tapi baru sekarang aku bisa memegangnya,” kataku.
“Tapi kalau kelamaan megangnya, lama - lama kamu bisa nafsu lho.”
“Sekarang juga aku sudah nafsu Mbak.”
“Nah tuh kan? Gak boleh begitu. Aku kan kakakmu.”
Aku malah mendekap pinggang kakakku dari belakang, “Mbak kan sedang kesepian. Apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa, mumpung Mbak belum kawin lagi.”
“Tuh kan makin ngaco kamu. Udah tungguin di depan gih. Biar aku bisa dandan dengan tenang,” kata Mbak Nindie.
Kutepuk dulu pantat Mbak Nindie yang gede, lalu poergi ke depan. Duduk di atas dipan lagi sambil mengenakan kembali sepatuku.
Agak lama aku menunggu di atas dipan ruang depan itu.
Namun akhirnya Mbak Nindie muncul juga sambil bertanya, “Mau langsung berangkat sekarang?”
“Iya…” sahutku sambil memandang kakak berbeda ibu yang sudah mengenakan celana jeans dan jaket hitam itu. Entah apa yang dikenakannya di balik jaket itu. Namun yang jelas, dalam pakaian sesimple itu pun Mbak Nindie tetap kelihatan sexy di mataku. Terlebih lagi melihat bibirnya yang sudah dipolesi lipstick tipis itu…
“Kok malah bengong gitu?” tanya Mbak Nindie sambil menepuk bahuku.
“Mbak memang sangat menarik di mataku…” sahutku yang kususul dengan kecupan hangat di pipinya, “emwuaaaah… !”
Mbak Nindie menatapku sambil tersenyum manis dan berkata setengah berbisik, “Kita ini bersaudara Sayang…”
Sesaat kemudian Mbak Nindie sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang sudah kuluncurkan di atas jalan aspal.
“Mobil ini sebenarnya punya siapa Chep?” tanyanya.
“Punyaku.”
“Haaa?! Kirain punya Mamie… kan Mamie yang punya mobil seperti ini… tapi warnanya berbeda ya?”
“Kebetulan aja typenya sama cuma beda warna dan tahun dikeluarkannya. Mobil ini lebih muda setahun daripada mobil Mamie.”
“Owh… dikasih sama Papa?”
“Hadiah dari Mama. Kan aku sudah diijinkan mengunjungi rumah Mama.”
“Wah… kamu sih enak, punya mama kaya. Nggak seperti aku… serba kekurangan.”
“Kalau rumahnya dijual kan bisa dibelikan mobil.”
“Terus aku tidur di kolong jembatan?”
“Hahahaaa… kalau Mbak mengikuti semua jalan yang kuberikan, aku akan menggantikan peran Mas Purwo untuk membiayai kebutuhan Mbak… bahkan mungkin kehidupan Mbak akan jauh lebih baik daripada waktu menjadi istri Mas Purwo.”
“Asalkan jangan jalan sesat, pasti kuikuti.”
“Jalan sesat gimana maksudnya?”
“Jalan yang tidak melanggar hukum. Seperti perdagangan narkoba, misalnya.”
“Amit - amit. Aku sih gak pernah menyentuh narkoba Mbak. Merokok juga hanya sekali - sekali. Mana mungkin aku menempuh jalan itu. Semua yang kutempuh, jalan legal Mbak.”
“Syukurlah kalau gitu. Soalnya di zaman sekarang ini banyak yang kaya mendadak. Gak taunya jalan sesat yang ditempuh.”
“Aku lapar. Kita makan dulu ya,” kataku sambil membelokkan mobilku ke pekarangan sebuah rumah makan.
Setelah makan, barulah kulanjutkan lagi perjalanan menuju rumah yang Tante Aini hadiahkan padaku itu.
Tak lama kemudian mobilku sudah memasuki garasi rumah megah itu.
Setelah turun dari mobil, Mbak Nindie tercengang dan bertanya, “Ini rumah siapa Chep?”
“Rumahku. Pemberian adik Mama. Pavilyun itu akan dijadikan kantor yang baru akan dibuka tanggal satu bulan depan. Nanti Mbak bekerja di sana.”
“Pasti adik mamamu itu orang tajir ya. Rumah semegah ini diberikan begitu saja padamu.”
“Dia punya suami pengusaha minyak dari salah satu negara Arab di timur tengah.”
“Oooo… pantesan. Terus aku mau dijadikan apa di kantormu nanti?”
“Mbak akan kujadikan sekretarisku.”
Kemudian kami masuk ke dalam rumah. Mbak Nindie memeluk pinggangku terus pada waktu melihat - lihat keadaan di dalam rumah yang kamarnya banyak ini.
Ketika berada di dalam kitchen yang ditata secara modern dan peralatannya serba mahal ini, Mbak Nindie mendadak berkata, “Aku tugaskan ngurus kitchen aja Chep. Jangan dijadikan sekretaris.”
“Maksud Mbak, ingin jadi juru masak gitu?”
“Iya. Aku kan punya hobby masak. Waktu di Ternate juga pernah jadi asisten chef di sebuah restoran.”
“Kalau mau jadi juru masak, kamar Mbak di situ tuh,” kataku sambil menunjuk ke pintu kamar yang berdampingan dengan kitchen.
Lalu kubuka pintu itu. Keadaan di dalamnya memang sama saja dengan kamar - kamar lainnya. Ada kamar mandi tersendiri, yang fasilitasnya serba trend masa kini.
“Waaaah… kamarnya bagus sekali. Aku mau deh pindah ke sini…” ucap Mbak Nindie sambil melepaskan sepatunya, lalu melompat ke atas bed bertilamkan seprai biru muda itu.
“Boleh, sahutku sambil duduk di pinggiran bed. Tapi selama seminggu Mbak harus tinggal sendirian di sini. Karena aku masih banyak urusan yang belum selesai. Berani tinggal sendirian di sini?”
“Berani. Suasananya romantis begini. Pasti kerasan aku tinggal di sini, “Mbak Nindie duduk bersila sambil melepaskan jaket hitamnya.
Oi maaak…! Ternyata di balik jaket hitam itu tidak ada blouse. Tidak ada beha pula. Yang ada cuma penutup dada yang terbuat dari bahan seperti jaring. Sehingga toket Mbak Nindie tampak jelas di mataku.
“Mbak… ooooh… Mbak ini seksi sekali di mataku.”
“Kamu seneng toketku kan?”
“Semuanya seneng. Tadi waktu Mbak sedang ganti pakaian, aku sampai sulit bernafas.”
Mbak Nindie tersenyum. Lalu penutup dada yang terbuat dari kain jaring itu ditanggalkan. Celana jeansnya pun ditanggalkan. Sehingga tubuh gempalnya tinggal dilekati celana dalam hitam.
“Ayo deh… sekarang apa yang kamu inginkan akan kuikuti, “Mbak Nindie turun dari bed, lalu berbaring miring di atas sofa kulit berwarna coklat tua. Di situlah ia melepaskan celana dalamnya. Sehingga tubuh chubby-nya tak tertutup sehelai benang pun lagi.
Tanpa banyak basa - basi lagi kutanggalkan seluruh benda yang melekat di tubuhku, sehingga tubuhku jadi telanjang bulat seperti kakakku.
Mbak Nindie terperanjat dan melotot ke arah pnisku yang memang sudah ngaceng sejak di rumahnya tadi. “Edaaaan…! Ternyata pnismu jadi segede dan sepanjang ini Chep?!” cetusnya sambil menggenggam pnisku.
“Makanya kubilang tadi, mumpung Mbak gak punya suami, apa salahnya kalau kita saling berbagi rasa… saling berbagi keindahan… toh di rumah ini hanya ada kita berdua…”
Mbak Nindie berjongkok di depan kakiku. Sambil memegang dan menciumi pnisku. Dan berdesis, “Gak nyangka pnismu segede dan sepanjang ini. Padahal waktu masih kecil aku sering mandiin kamu. Pada waktu itu pnismu masih kecil. Gak taunya sekarang jadi pnis raksasa…”
“Kayak pernah lihat raksasa aja Mbak. Lagian masa dibandingin dengan waktu aku masih kecil. Saat itu tetek Mbak juga belum tumbuh kan?”
“Iya… waktu kamu lahir, umurku baru delapan tahun,” sahut Mbak Nindie.
Ucapannya itu mengingatkanku bahwa Mbak Nindie sekarang sudah berumur 26 tahun. Sedangkan Mbak Susie, setahku 2 tahun lebih tua daripada Mbak Nindie. Berarti Mbak Susie sekarang sudah 28 tahun. Sebaya dengan usia Mamie.
Dalam hal itu aku salut juga kepada Papa, karena berhasil menggaet Mamie yang usianya sebaya dengan Mbak Susie.
Ketika Mbak Nindie bangkit berdiri di depanku, tiada keraguan lagi bagiku untuk mencium bibirnya yang sensual itu. Mbak Nindie pun mendekap piunggangku erat - erat, sehingga terasa pnisku bertempelan ketat dengan vginanya.
“Kamu hanya ingin mainin toketku atau sekujur tubuhku?” tanya Mbak Nindie setelah ciuman kami terlepas.
“Semuanya dong Mbak. Terutama ini nih,” sahutku sambil mengusap dan mencolek - colek vgina Mbak Nindie yang bersih dari jembut.
“Padahal kita kakak beradik ya,” ucap Mbak Nindie sambil menggelitik pinggangku.
“Tapi kita terlahir dari rahim yang berbeda Mbak.”
“Iya sih,” sahut Mbak Nindie sambil menuntunku ke arah bed, “tapi aku gak mau munafik. Sejak masih di rumahku tadi, aku sudah mulai horny Chep.”
Lalu aku membuka jalan untuk mencairkan suasana. Dengan mendorong Mbak Nindie sampai celentang di atas bed. Lalu aku merayap ke atas perutnya. Untuk mengemut pentil toket kirinya, sedangkan tangan kiriku digunakan untuk meremas toket kanannya.
Kedua lengan Mbak Nindie berada di bokongku, sambil meremas - remas sepasang buah pantatku.
Pada saat kemudian aku mulai melumat bibir Mbak Nindie, sementara tanganku merayap ke bawah perutnya… menjelajahi vginanya yang bersih dari jembut.
Jari tanganku mulai menyelusup ke dalam liang vgina Mbak Nindie. Membuatnya semakin lahap melumat bibirku.
Bahkan pada suatu saat Mbak Nindie membisikiku, “Chep… aku sudah horny berat nih. Langsung masukin aja pnismu.”
“Tadinya pengen jilatin vgina Mbak dulu.”
“Jangan. Nanti hornyku keburu ngedrop. Lain kali kan bisa jilatin vginaku sepuasmu.”
Aku pun bergerak sambil memegang pnisku yang sudah ngaceng berat ini. Sementara Mbak Nindie sudah merentangkan sepasang paha gempalnya selebar mungkin.
Setelah merasa arahnya sudah pas, kudorong sang pnis sekuatnya… uuuugh… masuk sedikit demi sedikit, sampai hampir setengahnya.
Ternyata liang vgina kakakku yang sudah punya anjak satu ini tidak bisa dianggap remeh. Masih sempit dan menjepit. Tak kalah dengan vgina Tante Aini yang sama sekali belum pernah melahirkan.
Mbak Nindie pun langsung memeluk dan mencium bibirku, disusul oleh suaranya setengah berbisik, “Edane pnismu iki Chep… guede ra ketulungan… !”
Dan ketika aku mulai mengayun batang kemaluanku, terasa benar mantapnya liang vgina kakakku ini. Empuk dan licin tapi luar biasa legitnya.
Maka aku pun berbisik terengah, “Hhh… vgina Mbak luar biasa legitnya… lebih legit daripada jenang…”
“Aku kan rajin minum jamu Chep… oooohhhh… pnismu juga… enak sekali… lebih enak daripada pnis Mas Purwo… aku jadi takut… takut ketagihan…”
“Bulan depan kita kan bakal tinggal serumah di sini Mbak… kalau perlu bisa tiap malam kita ewean di sini.”
“Hihihihiii… ewean… hihiiihiii… ayo cepetin ngentotnya… iyaaaaa… iyaaaaa… entot terus Cheppphhh… entooootttt teruuuuussss… enaaaaak Chepiiii… pnismu ini… luar biasa enaknyaaaaa… sampai merinding - rinding gini niiiih… entooot terusssss… iyaaaa… iyaaaaa…
Mbak Nindie merintih terus sambil menggoyangkan pinggulnya secara gila - gilaan. Memutar - mutar dan membentuk angka 8. Sehingga pnisku terombang - ambing seperti perahu oleng di tengah samudra. Namun semua ini luar biasa nikmatnya. Karena dinding liang vgina Mbak Nindie yang empuk - empuk hangat itu membesot - besot pnisku dengan binalnya.
Ini membuatku semakin bergairah untuk mengentot kakak seayah berlainan ibu itu.
Aku pun ingin melengkapi gesekan antara pnisku dengan liang vgina Mbak Nindie ini. Dengan menjilati lehernya yang mulai keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Sementara tangan kiriku meremas - remas toket kanan kakakku.
Tak cuma itu, terkadang kuemut pentil toket kirinya, sementara tangan kananku tetap meremas - remas toket kanannya. Semakin menggila jugalah geolan - geolan pantatnya yang memutar - mutar, meliuk - liuk dan menghempas - hempas. Dengan goyangan seperti itu, maka dengan sendirinya itil Mbak Nindie bergesdekan terus - menerus dengan pnisku.
Akibatnya… tak lama kemudian Mbak Nindie klepek - klepek, berkelojotan sambil mendekapku erat - erat, seolah takut ditinggalkan olehku.
Kemudian ia mengejang tegang, dengan perut agak terangkat ke atas. Disusul dengan rengekan erotisnya, “Chepiii… aku lepassss… !”
Pada saat itu pula kutancap pnisku sedalam mungkin, sampai menyundul dasar liang vgina Mbak Nindie. Liang vgina yang lalu berkedut - kedut kencang. Lendir libidonya pun terasa membanjiri liang surgawinya.
Nafas Mbak Nindie tertahan selama 2-3 detik. Lalu terdengar elahan nafasnya, “Aaaaaahhhhh… ini luar biasa nikmatnya Sayaaaang… “disusul dengan ciuman mesranya di bibirku.
Aku masih membiarkan pnisku direndam di dalam liang sanggama yang sudah basah sekali ini. “Dengan saudara malah lebih enak daripada dengan orang lain ya?” tanyaku sambil memainkan kedua puting payudara Mbak Nindie.
“Iya… awalnya sih memang risih. Tapi setelah jalan, dientot sama Chepi malah jauh lebih enak daripada sama mantan suamiku sendiri,” sahut Mbak Nindie sambil mendekap pinggangku, “Ayo lanjutin… kamu belum ngecrot kan?”
“Pengen nyobain doggy,” sahutku.
“Ayo… aku juga suka sekali posisi itu. Nanti sambil kemplangin pantatku sekuatnya ya. Aku suka digituin…”
“Iya…” sahutku sambil mencabut pnisku.
Mbak Nindie pun merangkak sambil menungging tinggi, sehingga vginanya tampak sepenuhnya meski aku berada di belakang bokong gedenya juga.
Sambil berlutut, dengan mudah aku bisa membenamkan pnisku ke dalam liang vgina Mbak Nindie yang masih basah ini.
Mbak Nindie menungging sambil memeluk bantal guling. “Becek ya vginaku?”
“Gak apa - apa. Justru aku seneng vgina becek sehabis orgasme begini,” sahutku sambil mulai mengayun pnisku, bermaju mundur di dalam liang vgina Mbak Nindie yang ternyata luar biasa enaknya ini.
Untuk mengikuti keinginannya, kutampar - tampar bokong gede Mbak Nindie. Plak… plakk… plakkk… plakkkk… plakkkk…
“Iya begitu Chep… lebih kencang lagi kalau bisa,” ucap Mbak Nindie.
“Nggak sakit?”
“Justru sakitnya itu yang bikin nikmat. Ayo kemplangin sekuatmu Chep… !”
Kutanggapi permintaan kakakku dengan mengemplangi kedua buah pantatnya, dengan sekuat tenaga. Plakkk… plooook… plaaaak… plooook… plaaaak… plooook… plaaaak… plooook… Sementara pnisku semakin cepat bermaju mundur di dalam liang vgina Mbak Nindie yang memang jadi becek sekali ini.
Tapi aku tidak bisa melanjutkan ngemplangin pantat Mbak Nindie, karena telapak tanganku sudah panas rasanya. Maka kupegang saja pinggang kakakku sambil mempergencar entotanku …