Hadiah Ulang Tahun Terindah Dari Ibu Tiri 7 - 10



Inilah pengalaman paling gila dalam kehidupanku selama ini. Bahwa ketika sedan hitamku tengah dilarikan oleh Yama di jalan tol, vgina Gita naik turun terus, sementara batang kemaluanku berada di dalam liang vgina licin dan hangatnya.


Sebelum ini, aku tak pernah berciuman bibir dengan Gita. Paling banter juga hanya sampai cipika - cipiki. Sedangkan sekarang, bukan cuma saling lumat bibir, tapi bahkan sedang ewean di dalam sedan hitamku yang tirainya sudah ditutup ini (takut kelihatan dari luar, meski kaca mobilku kaca gelap semua).


Tapi hanya belasan menit Gita mampu memainkan perannya sebagai cewek dominan. Akhirnya dia ambruk di puncak orgasmenya.


“Gila… pnis lu terlalu gede Chep… makanya gue gak sanggup lama - lama… lepas deh,” ucap Gita sambil duduk di sampingku. Padahal aku belum apa - apa. Masih jauh dari ngecrot.


Tapi aku masih bisa iseng, memasukkan jari tengahku ke dalam liang vgina Gita yang baru mengalami oprgasme. “Pengen tau seperti apa vgina yang udah orgasme,” ucapku yang merasa liang vgina Gita jadi becek sekali. Maka kutambah dengan telunjuk, sehingga jadi dua jari bisa masuk ke dalam liang vgina Gita.


“Masukin aja kepalan tanganmu sekalian… !” seru Gita sambil mencubit perutku.


Aku cuma ketawa sambil mengurangi jumlah jari tanganku, cukup dua jari saja, telunjuk dan jari tengah, yang kumasukkan ke dalam liang vgina Gita.


“Sudah berapa macem pnis yang pernah ngentot vgina lu ini Git?”


“Baru satu macem! Memangnya gue ayam kampus?!”


“Jadi gue yang kedua ya?”


“Iya. Yama juga sama, senasib sama gue. Baru diewe sama satu cowok waktu masih di SMA dulu.”


“vgina lu enak Git,” kataku sambil menggerak - gerakkan dua jariku di dalam liang vgina Gita, “Sayang lu gak tahan lama.”


“pnis lu juga luar biasa enaknya. Makanya gue gak tahan lama - lama. Nanti aja di hotel kita lanjutkan rame - rame sama si Yama. Udah ah… nanti gue horny lagik kalau diginiin vgina gue, “gita menjauhkan tanganku dari vginanya.


Lalu terdengar suara Yama dari belakang setir, “Kok cepat - cepat banget maennya?”


Gita yang menjawab, “pnis si Chepi luar biasa gedenya. Gesekannya jadi terasa banget. Makanya gue cepat orga.”


“vgina si Gita enak gak Chep?” tanya Yama.


“Enak,” sahutku sambil memegang bahu Yama dari belakang, “vgina lu enak nggak?”


“Gak tau. Kan entar juga lu bakal ngentot gue. Rasain aja sendiri, enak apa nggak,” sahut Yama.


“Hahahaaaaa… kita jadi TTM beneran ya. Gak nyangka…” ucapku sambil memijat - mijat bahu Yama yang sedang nyetir.


“Kan pertemanan kita biar lebih solid Chep,” sahut Yama.


Sementara Gita tampak sedang menyeka vginanya dengan kertas tissue basah. Lalu mengenakan celana dalam dan celana jeansnya kembali. Maka tirai mobil pun kubuka kembali.


Gita pun menjulurkan kakinya, lalu memejamkan matanya. Tak lama kemudian Gita tampak sudah tidur beneran.


Sedan hitamku yang sedang dikemudikan oleh Yama meluncur terus di jalan tol.


Sejam kemudian, kami sudah tiba di sebuah hotel apartment hotel dekat jembatan Semanggi, yang sudah Yama pesan dan Yama bayar lewat aplikasi online. Tentu saja uang untuk pembayaran hotel itu menggunakan uang kas panitia. Karena kami bertiga berada di Jakarta untuk urusan panitia.


Setibanya di hotel, kami langsung makan siang dulu di resto hotel. Selesai makan kami pun naik ke lantai 36 dengan lift yang terasa sudah agak tua.


“Pinter juga lu milih hotel Yam,” ucapku setelah masuk ke dalam kamar, yang terdiri dari 2 kamar tidur dengan kamar mandi masing - masing, dapur lengkap dengan peralatannya dan ruang tamu yang lumayan gede.


“Iya,” sahut Yama, “Kamar apartemen disewakan dengan harga lebih murah daripada hotel bintang lima.”


“Boleh nih kapan - kapan kita bertiga nginep di hotel ini lagi. Tapi gilanya… kita berada di lantai tigapuluhenam ya. Serem juga… terlalu tinggi,” kata Gita.


“Lu keliatan tomboy, tapi ternyata ada takutnya juga ya?” ucapku sambil menepuk bahu Gita.


“Udah lu entot dulu Yama gih. Gue mau tidur di kamar yang agak kecilan itu. Ngantuk berat, tadi malem gak bisa tidur sampai subuh,” kata Gita sambil nyelonong ke kamar yang dipilihnya.


Aku dan Yama menjinjing tas pakaian masing - masing, menuju kamar yang satunya lagi, yang memang lebih besar daripada kamar yang dipakai oleh Gita.


“Sebentar… gue mau pipis dulu ya,” ucap Yama sambil mengeluarkan sehelai kimono putih dari tasnya dan langsung masuk ke kamar mandi.


Aku tersenyum sendiri. Karena sejak tadi aku sudah membayangkan nnikmatnya menyetubuhi Yama yang cantik dan anggun itu.


Memang Yama punya beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan Gita. Karena Gita cuma manis dan gokil. Sementara Yama itu cantik, anggun dan jarang berkelakar. Ngomong pun jarang. Makanya aku tak menyangka kalau Yama itu tidak perawan lagi, seperti yang dibisikkan oleh Gita di dalam mobilku tadi.


Pokoknya Yama itu bening banget. Tapi tidak berarti bahwa Gita itu jelek. Gita memang manis dan ceria terus sikapnya, tapi kalah cantik kalau dibandingkan dengan Yama. Kulitnya pun Yama menang. Jauh lebih putih bersih daripada Gita.


Tapi kalau rasa vginanya, entahlah… karena aku baru mau merasakan vgina Yama sebentar lagi


Sebenarnya aku memendam rasa khusus pada Yama. Tapi mengingat bahwa dia itu teman dekatku, ada perasaan takut mengatakannya. Takut kalau dia menjauh, jadi teman dekat pun tak mau.


Namun kini yang kudambakan itu datang sendiri. Muncul dari kamar mandi dalam kimono putihnya, yang membuat Yama semakin cantik dan anggun.


Sikapku jadi berbeda waktu memegang kedua pergelangan tangannya. Jujur, ada perasaan yang berbeda di dalam hatiku, tak sama dengan waktu menghadapi Gita di dalam mobilku tadi.


“Persahabatan kita jangan sampai rusak nanti ya,” ucapku.


“Ya iyalah,” sahut Yama sambil tersenyum. Oooo… betapa manisnya senyum cewek yang satu ini…!


Maka dengan gairah menggelegak, kurangkul leher jenjang dan kupagut bibir sensualnya ke dalam ciuman hangatku.


Yama pun menyambut dengan lumatan hangat.


Aku sadar bahwa acara ini bukan acara pacaran. Karena itu, ketika aku masih saling lumat dengan Yama, kedua tanganku tidak memelujk ledhernya lagi, melainkan meremas bokongnya, sambil menaikkan kimononya sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya aku meremas langsung bokongnya tanpa halangan kimono lagi.


Ternyata Yama tidak mengenakan celana dalam di balik kimononya itu. Mungkin dia sudah mempersiapkan diri untuk disetubuhi olehku. Aku pun bisa memastikan bahwa beha pun tidak ada lagi di balik kimono putih itu, karena dua pentil toket membayang tonjolannya ke luar.


Maka dengan sigap kuangkat dan kubopong tubuh langsing Yama ke atas bed yang sudah siap untuk dijadikan arena persetubuhan kami berdua.


Tanpa canggung - canggung Yama melepaskan kimono putihnya, sehingga sekujur tubuhnya jadi tak tertutup seutas benang pun lagi.


Aduhai… Tubuh Yama memang mulus sekali. Sehingga aku pun ingin memamerkan serkujur tubuhku yang mulus juga. Gak ada bekas luka atau kudis setitik pun. Maka klucuti pakaianku sehelai demi sehelai sampai telanjang bulat. Lalu melompat ke atas bed dan menerkam tubuh mulus yang sudah menungguku itu.


“Sebenarnya udah lama gue ngebayangin beginian sama lu Chep, “sambut Yama sambil mendekap pinggangku, “tapi gue takut merusak persahabatan kita yang sudah solid benar. Makanya keinginan itu gue pendam aja di dalam hati. Ternyata sekarang terjadi juga.”


“Sama gue juga gitu. Suka bayangin paha lu yang putih mulus… malah suka bayangin vgina lu segala. Ternyata vgina lu ada jembutnya tapi tipis dan halus jembut lu ini ya,” sahutku sambil mengusap - usap vgina Yama yang berjembut tipis dan halus itu, “Gue mau jilatin vgina lu dulu ya.”


“Pake minta ijin dulu segala. Memang musti dijilatin dulu. pnis lu gede bingit sie…”


“Harusnya sih bawa pil kontrasepsi. Biar bisa ngecrot di dalem.”


“Gue bawa kok pil kontrasepsi. Dapet nyolong punya nyokap.”


“Berarti nyokap lu masih aktif dong dalam soal seks.”


“Aktif lah. Masih muda kok. Baru tigapuluhenam tahun umurnya.”


“Hampir sama dengan nyokap gue dong. Nyokap gue tigapuluhdelapan.”


“Tapi nyokap lu kayak masih muda banget Chep.”


“Lu gak pernah jumpa sama nyokap gue ah. Yang di rumah itu kan nyokap tiri.”


“Oooo… yang di rumah lu itu nyokap tiri? Masih muda dan cantik sekali. Jangan - jangan lu embat juga tu nyokap tiri lu.”


“Aaah… gila… masa ibu tiri diembat?!” ucapku sedang memboohongi diriku sendiri.


“Nyokap gue sih janda Chep.”


“Sama. Nyokap kandung gue juga janda. Kan bercerai sama bokap.”


“Kalau nyokap gue sih ditinggal mati sama bokap yang kena kanker otak. Meninggalnya juga di Singapura. Loh… katanya mau jilatin vgina gue. Koq malah jadi ngobrol?!”


“Hihihihiii… santai Yam…” sahutku sambil menepuk - nepuk vgina Yama yang sudah berhadapan dengan mulutku.


Lalu kujilati vgina berjembut tipis jarang itu dengan lahap. Bukan cuma menjilatinya, tapi jari tengahku pun “menyelidik” ke dalam celah vgina Yama. Ternyata liang vginanya masih sempit, tidak seperti liang vgina Gita tadi.


Maka dengan penuh semangat kujilati juga kelentitnya sambil sesekali kusedot -sedot.


Ini membuat Yama terkejang - kejang sambil meremas - remas rambutku. Apa lagi setelah jari tengahku digerak - gerakkan di dalam liang vgina Yama… cewek cantim dan anggun itu pun mulai menggeliat - geliat diiringi desahan - desahan nafasnya. “Aaaaa… aaaaaahhhh… aaaaaaa… aaaaaaaahhhhh …


Tentu saja aku sengaja mengalirkan air liurku ke dalam liang vgina Yama, yang dibantu oleh gerakan jari tengahku.


Dan setelah terasa liang vgina Yama sudah cukup basah, aku pun bergerak sambil memegangi pnisku.


Kuletakkan moncong pnisku tepat di ambang mulut vgina sahabatku. Lalu kudesakkan sekuatnya… uuuuggghhhh… sempit sekali. Padahal sudah kubuat banjir air liur.


Tapi setelah “berjuang mati - matian”, akhirnya berhasil juga aku membenamkan pnisku ke dalam liang vgina Yama. “Liang vginamu sempit sekali Yam…”


“Ya iyalah,” sahut Yama, “sejak putus dari pacar SMA gue, baru sekaranglah gue merasakannya lagi. Ini juga lantaran lu yang siap ngentot gue. Kalau cowok lain gak bakalan gue mau.”


Lalu aku berbisik ke telinga Yama, “Liang vgina si Gita koq udah gede?!”


“Dia juga sama seperti gue. Cuma salahnya, dia sering pakai dildo hitam yang gede banget. Sambil bayangin dientot sama negro kale. Gue udah ingetin, jangan pakai dildo yang gede gitu, nanti liang vginanya jadi gede juga. Tapi dia tetep aja pakai dildo hitam yang segede pergelangan tangan itu.”


Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun pnisku di dalam liang vgina Yama yang sempit menjepit ini.


Terasa… sangat terasa bedanya vgina Yama dengan vgina Gita. Sehingga aku pun bisa menikmati semuanya dengan penuh gairah.


Bahkan ketika aku mulai gencar mengentotnya, aku pun meremas toket kanan Yama sambil menjilati leher jenjangnya disertai gigitan - gigitan kecil.


Yama pun mulai merintih - rintih histeris, Cheeeepiii… oooohhhhh… Cheppppiii… oooo… ooooooooohhhhhhhh… pnismu luar biasa enaknya Cheeeep… ooooohhhhh… udah dua tahun gue berpuasa dari pnis. Sekalinya merasakan lagi… dapet belalai gajaaaah…”


Ketika sedang bersama Bu Shanti di ruang fitnessnya, pikiranku masih melayang - layang. Aku memang mengagumi rumah dosenku ini yang serba lengkap. Ada fitness room di bagian belakangnya, ada pula kolam renangnya. Sehingga aku mulai punya cita - cita, kalau aku sudah punya rumah sendiri, aku ingin rumah itu lengkap seperti rumah dosenku ini.


Fitness room ini benar - benar private fitness room. Karena menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, pintunya selalu dikunci kalau dia sedang latihan sambil telanjang, seperti sekarang ini. Bahkan kolam renangnya pun tertutup, tak bisa dilihat dari luar. Sehingga Bu Shanti bisa berenang dalam keadaan telanjang bulat, tanpa takut ada orang yang melihatnya.


Menurut pengakuan Bu Shanti sendiri, ia suka melatih kebugaran fisiknya karena ikut - ikutan pada ibunya. Dia bilang, “Mamaku kelihatan bugar terus, meski usianya sudah kepala empat. Tubuhnya tidak gemuk, tidak buncit dan sebagainya. Sehingga kelihatan seperti baru berumur tigapuluhan. Ya karena rajinnya latihan kebugaran seperti yang kulakukan sekarang ini.


Aku cuma mengangguk - angguk sambil tersenyum. Sementara pikiranku masih menerawang kejadian yang kualami di Jakarta itu.


Tentu saja aku masih ingat semuanya itu, karena peristiwanya baru terjadi beberapa hari yanjg lalu. Aku masih ingat betapa menggelepar - geleparnya Yama di dalam amukan pnisku yang seolah pompa manual, gencar bermaju mundur di dalam liang vginanya yang sempit menjepit itu.


Kebetulan fisikku sedang fits. Padahal waktu bersetubuh dengan Gita di dalam mobil tadi, aku belum ngecrot. Tapi pada waktu sedang menyetubuhi Yama ini, aku bisa mengontrol diriku sendiri, agar jangan cepat ejakulasi.


Akibatnya, ketika Yama sudah dua kali orgasme, aku masih saja tabah mengentotnya. Ketika Yama kelihatan mau orgasme lagi untuk ketiga kalinya, barulah aku konsentrasi agar bisa ejakulasi pas Yama sedang orgasme lagi.


Dan aku berhasil. Ketika Yama sedang terkejang - kejang, sementara liang vginanya terasa berkedut - kedut kencang, pnisku pun sedang mengejut - ngejut sambil memuntahkan lendir kenikmatanku. Croootttttt… crooottttt… crooootttt… crottttcrottt… crooootttt…


Lalu kami sama - sama terkapar dalam keadaan sama - sama telanjang bulat.


Aku ketiduran saking letihnya.


Dan terbangun ketika merasakan sesuatu yang bergerak - gerak, mengelus - elus pnisku. Ketika kubuka mataku, ternyata Gita sedang menyelomoti pnisku…!


Kubiarkan saja Gita mengoralku. Bahkan ada perasaan kasihan juga karena dia belum bisa menikmati persetubuhan yang perfect denganku.


Begitu trampilnya Gita mengoral pnisku. Mungkin karena dia sering menyelomoti dildo hitam segede pergelangan tangan seperti yang diceritakan oleh Yama tadi.


Setelah pnisku benar - benar ngaceng, Gita merebahkan diri, celentang di samping Yama yang masih terkapar, telungkup seperti tak menyadari apa yang terjadi di sekitarnya.


“Ayo entot lagi. Yang di mobil tadi sih hitung - hitung foreplay aja,” kata Gita sambil mengusap - usap vginanya yang bersih dari jembut itu.


“Foreplay tapi orgasme ya,” sahutku sambil merayap ke atas perut Gita yang sudah telanjang bulat. Sambil memegang leher pnisku yang moncongnya sudah kuletakkan di mulut vgina Gita.


Gita tidak menanggapi, karena aku mengakhiri ucapanku dengan mendorong pnisku sekuatnya. Dan… blessss… pnisku membenam lebih dari separohnya. Sehingga aku bisa mulai mengentotnya.


Biar bagaimana Gita adalah sahabat dekatku. Karena itu aku ingin memberikan kepuasan padanya, seperti yang telah kuberikan kepada Yama tadi.


Maka ketika aku mulai mengentotnya, kupagut bibirnya ke dalam lumatanku, yang Gita sambut dengan lumatan pula. Cukup lama kami salin g luimat, sementara pnisku sudah mulai gencar bermaju - mundur di dalam liang vgina Gita.


Di saat lain mulutku mulai nyungsep di leher Gita, untuk menjilatinya disertai dengan gigitan - gigitan kecil, sementara tangan kananku mulai meremas - remas toket kirinya yang… jujur aja kalau soal toket sih punya Gita lebih kencang daripada toket Yama.


Gita pun mulai merintih - rintih histeris. “Aaaaaaah… Cheeepiiii… pnismu memang luar biasa Cheeeep… terasa sekali menggesek - gesek liang vginaku…”


“Enak mana sama dildo?” tanyaku sambil melambatkan gerakan pnisku sejenak.


“Lu tau gue suka pake dildo?”


“Tau.”


“Alaa… paling juga tau dari si Yama. Memang gue sudah dua tahun suka mainin dildo. Biar gak mikirin cowok mulu. Ayo cepetin lagi ngentotnya, jangan pelan gini.”


Aku pun mempercepat lagi ayunan pnisku, sambil menjilati leher Gita sekaligus meremas - remas toket kanannya.


“Aaaaakhhhh… aaaaaaa… aaaaah… iyaaaaa… entot terus yang cepet kayak gini Chep… iyaaaa… iyaaaaa… entot teruuuuusssss… entooot… entoooooooottttttttt… iyaaaa… iyaaaa… iyaaaa… enak Cheeeep… entot teruuuussss… entooooottttt… entoooottttt… ooooooh Cheppiiiii enaaaaak…


Suara Gitga cukup bising, sehingga pada suatu saat kulihat Yama terbangun. Memperhatikan kami yang sedang bersetubuh. Lalu Yama duduk sambil tersenyum - senyum. Bahkan mendekatkan vginanya ke pipiku dari samping kiri Gita yang sedang meraung - raung histeris.


Tanpa basa - basi kuciumi vgina Yama. Bahkan lalu jari tangan kananku diselinapkan ke dalam liang vginanya. Lalu digerakkan seperti pnis sedang mengentot.


Tiba - tiba Gita berkelojotan sambil berdesis, “Ssssshhhhhh… gue mau orga Cheeeeep…!”


Aku pun mempercepat entotanku. Dan… manakala Gita sedang terkejang - kejang, kutancapkan pnisku sedalam mungkin, tanpa menggerakkannya lagi.


“Anjriiiiiitttttt… nikmat sekaliiiiiiiii… !” pekik Gita dengan mata terpejam. Lalu terasa liang vginanya berkedat - kedut kencang, pertanda sedang mengalami orgasme.


Setelah Gita terkulai lemas, cepat kucabut pnisku dari liang vginanya. Lalu pindah ke atas perut Yama yang tampak sudah bergairah lagi.


Dengan mudah aku menjebloskan pnisku ke dalam liang vgina Yama, karena liang vginanya masih basah, bekas orgasme tadi, ditambah lagi dengan permainan jariku ketika sedang bersetubuh dengan Gita tadi.


Yama menyambutku dengan dekapan eratnya di pinggangku. Dengan mata kadang terpejam, kadang terbuka. Di mataku, wajah Yama itu makin cantik saja. Sayang masa lalunya tidak sebaik masa lalu Bu Shanti. Tapi biar bagaimana pun juga vgina Yama ini enak sekali. Aku harus menikmatinya sepuas mungkin.


Terawanganku tentang segala yang pernah terjadi dengan kedua sahabatku itu langsung buyar ketika handphone Bu Shanti terdengar berdering - dering.


Dalam keadaan masih telanjang bulat Bu Shanti memburu handphonenya yang tergeletak di meja kecil sudut fitness room.


“Sttt… dari Mama… !” Bu Shanti menyimpan telunjuk di depan bibirnya. Kemudian membuka percakapan dengan mamanya yang aku tidak tahu. Hanya terdengar Bu Shanti berkata saja… iya Mama… iya Mama Sayang… iyaaaa… iyaaaaa… daag…!


Hanya sebentar Bu Shanti berbicara di dekat handphonenya. Dan setelah hubungan seluler dengan ibunya ditutup, Bu Shanti mengambil kimononya yang tergantung di kapstok, lalu mengenakannya sambil berkata, “Mamaku sedang dalam perjalanan dari Jakarta menuju ke sini.”


“Haaa?! Panjang umur beliau ya,” ucapku dalam kaget, “baru tadi diomongin, sekarang sudah mau ke sini. Terus aku harus gimana? Apakah aku harus standby di sini atau harus pulang aja?”


“Sayang,” sahut memegang sepasang pipiku, “maaf ya, aku bukan ngusir. Tapi sebaiknya kamu pulang dulu, biar jangan banyak pertanyaan dari mamaku nanti.”


“Oke, aku mengerti Mam.”


“Tapi besok sore, sebaiknya ke sini lagi. Biar bisa kenalan sama mamaku. Mudah - mudahan aja suasananya sudah menjadi nyaman. Aku memang mau berterus terang sudah punya calon suami, yaitu kamu Pap. Kamu gak keberatan kalau kusebutkan sebagai calon suami?”


“Iya, silakan aja. Pokoknya Mamie atur aja deh mana yang tebaik bagi Mami.”


“Nanti kita bicara by phone aja ya. Sekarang aku harusa siap - siap dulu menyambut kedatangan Mama yang sudah dekat. Katanya sih sejam lagi juga pasti tiba di sini.”


“Oke. Kalau gitu aku mau pulang aja sekarang ya,” ucapku yang disusul dengan kecupan hangat di bibir Bu Shanti.


“Take care honey,” ucap Bu Shanti sambil menepuk bahuku.


“You too,” sahutku sambil melangkah ke garasi, untuk mengeluarkan mobilku.


Diiringi kissbye dan lambaian tangan Bu Shanti, mobilku kujalankan ke luar pekarangan rumah dosenku. Setelah menginjak jalan aspal, kubunyikan klakson, sebagai tanda pamitan. Bu Shanti pun melambaikan tangannya lagi yang kubalas dengan lambaian tangan dsan kissbye ku.


Tak lama kemudian mobilku sudah berlari di jalan raya menuju pulang ke rumah.


Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memikirkan apa yang akan terjadi dengan Bu Shanti kelak? Apakah ibunya datang untuk memaksa Bu Shanti agar mau dinikahkan dengan lelaki tua itu atau bagaimana?


Entahlah. Yang jelas aku siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi kelak. Bahkan seandainya aku disuruh menikah dengan Bu Shanti pun, akan kujalani saja. Meski usiaku baru 18 tahun, kalau memang terpaksa harusa menikah, ya menikah saja. Itu sebagai wujud tanggung jawabku, karena aku sudah merenggut keperawanan Bu Shanti (meski pun hal itu atas keinginan Bu Shanti sendiri sebagai protesnya atas rencana perkawinannya dengan lelaki tua itu).


Tapi kalau Bu Shanti tetap harus menikah juga dengan lelaki tua itu, aku tak bisa merintanginya juga. Yah, apa yang akan terjadi, terjadilah.


Setibanya di rumah, kumasukkan mobilku ke garasi. Tampak mobil Papa pun ada di garasi. Membuatku ingat bahwa hari itu adalah haru Sabtu. Papa tentu tidak masuk kantor di hari Sabtu dan Minggu.


Aku sendiri tadinya mau pulang besok, hari Minggu. Tapi karena mamanya Bu Shanti mendadak mau datang, terpaksa aku “mengungsi”. Supaya tidak banyak pertanyaan, kata Bu Shanti.


Mamie menyambutku di dalam garasi. Dengan ciuman mesranya di bibirku, disusul dengan pertanyaannya, “Tadi malem nginep di mana?”


“Di rumah dosen Mam. Tadinya malah harus dua malam nginepnya, karena banyak tugas. Tapi bisa dipersingkat, sehingga bisa pulang lebih cepat,” sahutku berbaur dengan kebohongan.


“Papa terbang ke Medan lagi tuh nanti malam. Barusan dijemput oleh mobil perusahaan yang akan membawanya ke bandara,” kata Mamie.


“Iya,” sahutku sambil tersenyum, “Pantesan Mamie udah senyum - senyum kayak gitu. Kangen ya sama aku?”


“Memang kangen. Tapi ada sesuatu yang lebih penting Sayang.”


“Apa tuh yang lebih penting?”


“Mamie udah dinyatakan hamil, tapi baru empat minggu.”


“Ohya?! “seruku girang. Laluj memeluk dan mengangkat tubuh Mamie, disusul dengan ciuman bertubi - tubi di sepasang pipinya dan di bibirnya.


“Berarti sekitar sembilan bulan lagi kita akan punya anak Sayang.”


“Iya Mam. Aku bahagia sekali mendengarnya,” ucapku sambil menurunkan Mamie lagi. Dan mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.


Mama langsung membawaku ke dalam kamarnya.


Mamie duduk sambil menyelonjorkan kakinya di atas bed.


“Biasanya orang yang baru hamil suka ngidam dan punya keinginan yang aneh - aneh. Mamie mau apa?” tanyaku sambil duduk di pinggiran bed, sambil mengelus paha Mamie yang terbuka lewat belahan kimononya.


“Belum kepengen apa - apa. Cuma kangen sama pnismu aja…” sahut Mamie sambil tersenyum dan memegang pergelangan tanganku.


Lalu kami bergumul dengan mesranya.


Memang terasa sekali Mamie sudah kangen padaku, sehingga ketika pnisku dibenamkan ke dalam liang vginanya, Mamie langsung memeluk leherku. Menciumi bibirku dan berkata, “Mamie memang sudah cinta berat sama kamu sayang.”


Ayunan batang kemaluanku di dalam liang vgina Mamie seolah sudah sama - sama hafal. Mamie sudah hafal tentang “rasa” pnisku, sementara aku pun sudah hafal pada rasa vgina ibu tiriku cantik dan baik hati padaku itu.


Aku pun sudah hafal pada apa yang selalu Mamie inginkan pada waktu sedang kusetubuhi begini. Dia paling sukla kalau dijilati leher dan telinganya. Itu biasa kulakukan sambil meremas dan memainkan pentil toket kanannya.


Maka berkumandanglah desahan - desahan erotis Mamie yang berbaur dengan rintihan dan rengekan histerisnya.


“Oooo… ooooh Chepi… Chepiiii… pnismu memang luar biasa Cheeeep… mamie sudah tergila - gila oleh entotanmu… enak sekali Cheeepiii…”


Semuanya terjadi dengan penuh nikmat. Karena biar bagaimana pun Mamie adalah sosok yang penuh surprise bagiku. Sosok yang kugilai sejak aku masih di SMP dan akhirnya kudapatkan setelah aku menjadi mahasiswa.


Diam - diam aku mulai menghitung sosok - sosok yang pernah kugauli selama ini. Sudah ada 6 orang. Mamie, Mama, Bi Caca, Bu Shanti, Gita dan Yama.


Cukup banyak. Tapi kalau dibandingkan dengan pengakuan teman karibku yang bernama Hendra itu, aku masih kalah jauh. Hendra hanya lebih tua 2 tahun dariku. Tapi pengalamannya sudah segudang. Dia mengaku sudah menggauli 23 orang perempuan. Tentu saja semuanya perempuan baik - baik, maksudnya bukan PSK, amatir dan sebangsanya, karena kami sama - sama tak mau menyentuh perempuan nakal.


Setelah aku dan Mamie sama - sama terkapar, aku masih sempat bertanya poadanya, “Bagaimana sikap Papa setelah tau Mamie mulai hamil?”


“Senang sekali,” sahut Mamie, “terutama karena mamie dihamili oleh anak kandungnya sendiri. Darah dagingnya sendiri.”


“Nggak keliatan cemburu sedikit pun?” tanyaku.


“Kalau orang luar yang menghamili mamie, tentu Papa bakal cemburu. Tapi karena yang menghamili mamie anak kesayangannya, Papa malah tampak bahagia.”


Tiba - tiba handphoneku berdenting. Itu adalah WA dari Bu Shanti, karena bunyi notificationnya kubedakan dengan notification dari yang lain. Tapi aku tak mau langsung membukanya, takut Mamie menanyakan WA dari siapa dan aku susah membohonginya.


Setelah bersih - bersih dan berada di dalam kamarku, barulah kubuka WA dari Bu Shanti itu. Isinya :


-Sayang, ternyata mamaku sudah setuju kalau dirimu dijadikan calon suamiku. Tapi dia ingin bertemu dulu denganmu. Besok kan hari Minggu. Bisa kan datang ke rumahku pagi - pagi? Tapi ingat, jangan ngomong kalau kita pernah berhubungan sex ya -


Kujawab singkat : -Siap Mam -


Setelah meletakkan handphoneku di atas meja tulis, aku merebahkan diri sambil menerawang jauh ke depan. Aku memang sudah menyiapkan mentalku, jika pada suatu saat aku harus menikah juga dengan Bu Shanti, aku akan menyetujuinya. Tapi setahuku, Bu Shanti akan mengambil program S3 dulu, baru mau menikah.


Yah… pokoknya aku akan mengikuti arus air saja, mengalir dari hulu ke muara. Gak rugi juga aku menikah dengan perempuan yang 8 tahun lebih tua dariku. Terlebih lagi kalau mengingat bahwa Bu Shanti takkan menyusahkanku, karena dia sudah punya pekerjaan terhormat, sebagai dosen di kampusku. Sudah punya rumah yang mentereng pula.


Esok paginya, setelah sarapan pagi aku pun mengeluarkan mobilku, menuju rumah Bu Shanti yang terletak di luar kota itu.


Ketika mobilku sudah memasuki pekarangan rumah Bu Shanti, dosenku yang cantik itu sudah berdiri di ambang pintu depan, dengan senyum manis menghiasi bibir sensualnya.


“Suasananya sudah benar - benar clear?” tanyaku setengah berbisik.


“Yang jelas Mama sudah menyerahkan kep;utusannya padaku sendiri. Gak maksa harus menikah dengan lelaki tua itu lagi,” sahut Bu Shanti, “Ayo masuk.”


Aku pun melangkah masuk ke dalam rumah dosenku, lalu duduk di sofa ruang tamu.


Bu Shanti masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia muncul lagi, lalu duduk di sampingku sambil menyerahkan sepucuk surat dengan amplop berlogo kampusku.


“Apa ini?” tanyaku heran.


“Surat tugas dari rektor,” sahutnya, “Besok aku harus terbang ke Singapore, untuk mengikuti seminar. Coba baca aja sendiri, biar jelas.”


Lalu kukeluarkan surat dari dalam amplop berlogo kampus itu. Dan kubaca isinya.


“Cuma berdua dengan Bu Nia?”


“Iya. Seperti yang tertera di surfat itu, aku akan berada di Singapore selama seminggu. Mau ngawal aku ke sana?”


“Aku belum punya paspor. Lagian kalau kuliahku ditinggalkan gimana?”


“Ohya… begini aja. Supaya hati Mama benar - benar tenang dan nyhaman, selama aku di Singapore, Papie tidur di sini aja ya.”


“Tidur di sini?”


“Iya. Yang penting malam aja. Supaya ada cowok yang memberikan rasa aman kepada mamaku. Siang dan sorenya sih mau seharian di luar juga gak apa - apa. Jadik kuliahnya berangkat dari rumah ini. Bisa kan Sayang?”


“Bisa,” sahutku, “tapi aku harus ngomong dulu sama orang tua.”


“Tentu aja. Semingguan di sini tentu bikin cemas ortu kalau gak minta ijin dulu. Besok pagi saja datangnya ke sini. Aku mau berangkat siang kok. Terbangnya dari Jakarta jam enam sore.”


“Mau dianterin ke Jakarta?”


“Gak usah. Kan pakai mobil kampus. Yang penting jagain Mama dan bikin dia kerasan di sini. Kalau gak kerasan entar pergi begitu saja. Lalu laporan sama Papa yang nggak enak.”


Belum sempat aku menanggapi ucapan Bu Shanti, muncul seorang wanita bule berperawakan tinggi tegap. Hmm… itu pasti mamanya Bu Shanti. Benar p- benar bule ibunya itu. Dan seperti kata Bu Shanti kemaren, ibunya itu tampak seperti wanita tigapuluh tahunan, padahal usianya sudah kepala empat.


“Mama… ini kenalin sama pacarku yang kuceritakan itu,” kata Bu Shanti sambil berdiri. Aku pun ikut berdiri. Membungkuk dan menjabat tangan wanita yang tak kalah cantik dari anaknya itu, dengan sikap sopan: “Chepi…” ucapku mengenalkan namaku.


“Aleta, “mamanya Bu Shanti mengenalkan namanya juga dengan senyum di bibir, tapi dengan mata seperti sedang menyelidik, “Pacarmu masih sangat muda Shanti, “ia menoleh ke arah Bu Shanti.


“Yang penting jiwanya sudah dewasa Mam,” sahut Bu Shanti.


“Tapi dia kan masih kuliah.”


“Gak masalah Mam. Orang sudah punya cucu juga ada yang baru masuk kuliah.”


“Terus rencana kalian mau menikah kapan?”


“Kalau Chepi sih siap menikah kapan aja. Masalahnya justru ada di aku,” kata Bu Shanti, “aku mau mengambil es-tiga dulu. Setelah dapet es-tiga, aku siap kawin Mam.”


“Iya, iya, iyaaa… mama sih setuju saja. Mudah - mudahan papamu juga bisa menyetujuinya. Terus rencanamu besok mau berangkat jam berapa?” tanya mamanya Bu Shanti yang aku belum tau harus menyebut apa. Nyebut tante atau ibu atau apa?


“Dari sini berangkatnya siang. Terbangnya dari Jakarta jam setengah tujuh malam.”


“Lalu mama di sini sama siapa selama kamu di Singapore? Masa cuma sama bediende? “(bediende = pembokat/pelayan)


“Ohya… selama aku berada di Singapore, Chepi mau tidur di sini Mam.”


“Betul begitu Chep?” mamanya Bu Shanti menoleh padaku.


“Betul Tante,” sahutku.


“Panggil mama aja deh. Kamu kan calon menantuku,” kata mamanya Bu Shanti. Maka untuk selanjutnya aku akan memanggilnya Mama atau lengkapnya Mama Aleta (supaya tidak tertukar dengan mama kandungku).


Lalu kami ngobrol ke barat ke timur. Tapi pembicaraan diborong oleh Bu Shanti dan mamanya, sementara aku leb ih banyak jadi pendengar yang baik saja.


Esok paginya aku membekal pakaian agak banyak di dalam tasku. Dan pamitan pada Mamie. Bahwa aku disuruh nungguin rumah dosen yang mau seminar di Singapore. Aku juga bilang bahwa dosen yang satu itu sangat menentukan bagiku di kampus. Karena itu aku ingin berbaik - baik dengannya.


Mamie cuma mengangguk - angguk dan mengiyakan. Tanpa bertanya apakah dosen itu lelaki atau perempuan.


Lalu aku berangkat ke rumah Bu Shanti.


Setibanya di rumah Bu Shanti, aku ikut membantunya untuk packing barang - barang yang mau dibawa ke Singapore. Dan secara bisik - bisik Bu Shanti bilang harus begini harus begitu dalam menghadapi wanita bule yang ibu kandungnya itu.


“Kalau dia minta diantar ke mall, antarin aja ya, please,” kata Bu Shanti.


“Iya, santai aja Mam. Kalau minta diantar ke daerah wisata gimana?”


“Ya kalau Papie gak keberatan, silakan anterin aja. Yang penting hatinya merasa nyaman dan kerasan tinggal di sini. Tapi ini tidak berarti kalau aku mendikte dan main perintah sama kamu Sayang.”


“Ya nggaklah. Beliau kan calon mertuaku Beib.”


Bu Shanti tersenyum. Mengecup bibirku lalu berkata, “Sebenarnya aku ingin bercinta lagi denganmu. Tapi suasana belum mengijinkan. Nanti aja sepulang dari Singapore kita habis - habisan ya.”


“Siap Bu Dosen cantik rupawan…”


Bu Shanti tersenyum manis lagi.


Siangnya, sebuah minibus datang menjemput Bu Shanti. Aku hanya bisa mengantarkannya ke pintu pagar bersama Mama Aleta, sambil melambaikan tangan.


Kebetulan hari itu tidak ada kuliah. Sehingga aku bisa berkata kepada Mama Aleta, “Kalau Mama mau ke mall atau ke mana aja, aku siap mengantarkan Mama.”


Mama Aleta malah mengusap - usap rambutku di ruang tamu sambil berkata, “Kamu baik dan sopan. Tampan pula. Pantaslah Shanti jatuh cinta padamu. Ohya, kamuj kuliah jam berapa? Ini sudah jam satu siang Chep.”


“Kebetulan hari ini gak ada kuliah Mam. Besok juga kuliahnya sore,” sahutku.


“Mama sih udah kangen sama pemandian air panas mineral,” kata Mama Aleta sambil menyhebutkan nama pemandian air panas itu.


“Mama mau ke sana? Ayo kuantarkan sekarang. Mumpung aku gak ada kuliah.”


“Beneran nih? Nggak ngerepotin?”


“Nggak Mam. Jangankan ke pemandian air panas. Mama minta diantarkan ke Jakarta juga akan kuantarkan. Asalkan besok sore aku masih bisa kuliah.”


“Ya udah… kita ke pemandian air panas aja sekarang. Tapi harus bawa handuk dan sabun ya?”


“Iya, sebaiknya begitu Mam.”


Beberapa saat kemudian Mama Aleta sudah duduk di samping kiriku, dalam sedan hitam yang kukemudikan menuju ke luar kota.


“Enaknya sih ke pemandian air panas itu malam - malam,” kata Mama Aleta ketika mobilku sudah meluncur menuju ke daerah pemandian air panas itu.


“Iya Mam. Kan pemandian air panas itu buka duapuluhempat jam.”


“Betul. Lain kali kalau mau ke sana lagi, harusnya malem - malem. Ohya, Chep… hubunganmu sudah sejauh mana dengan Shanti?”


“Sangat dekat Mam.”


“Siapa yang duluan jatuh cinta? Kamu apa Shanti?”


“Aku Mam. Sudah berbulan - bulan kupendam perasaan ini. Tapi akhirnya diucapkan juga. Kebetulan dia juga jatuh hati padaku. Jadi begitulah.”


“Kamu sudah pernah berhubungan seks sama dia?”


“Belum Mam,” sahutku berbohong, seperti yang dianjurkan oleh Bu Shanti.


“Masa?!”


“Betul Mam.”


“Perlu mama ajarin supaya bisa memuaskan Shanti kelak? Hihihiii…”


“Haaa?! Diajarin gimana Mam?”


“Ah masa kamu gak ngerti?! Mmm… di matamu, mama sama Shanti cantikan mana?”


Aku bingung menjawabnya. Kok ada ya seorang ibu ingin dibandingkan kecantikan dengan anaknya. Tapi aku berusaha menjawab sejujur mungkin, “Mama sama Shanti sama cantiknya. Cuma Mama punya nilai plus di mataku.”


“Apa itu nilai plusnya?”


“Mama lebih itu… mmm… berat ngomonginnya.”


“Ah cuma ditanya segitu aja pakai berat segala. Mama jadi penasaran nih. Apa nilai plus mama Chep?”


“Mama… mmm… Mama lebih seksi.”


“Ohya?! Terima kasih ya,” ucap Mama Aleta yang dilanjutkan dengan kecupan hangatnya di pipi kiriku, membuatku terkejut. Lalu pikiranku jadi ngelantur ke mana - mana.


Lebih dari itu, Mama pun menggenggam tangan kiriku sambil berkata, “Nanti sepulangnya dari pemandian air panas, mama ajarin kamu ya…”


“Mau ngajarin aku dalam soal apa Mam?” tanyaku ingin mendapat kejelasan.


“Dalam soal seks. Kamu mau kan diajarin masalah seks?”


“Teorinya atau mmm… atau prakteknya Mam?”


“Dua - duanya.”


“Wah… mungkin Mama mau menjebakku. Ingin menguji kesetiaanku pada Shanti ya Mam?”


“Mama tidak selicik itu Chep. Bahkan kalau kamu diajarin prakteknya nanti, jangan sampai Shanti tau nanti.”


Pikiranku semakin tak menentu. Seandainya Mama Aleta punya niat yang sebenarnya padaku, tentu saja aku takkan menolaknya.


“Apa motivasi Mama sehingga mau mengajariku dalam masalah seks?” tanyaku.


“Supaya kamu trampil nantinya. Dan jujur saja… mama juga membutuhkan laki - laki yang masih segar seperti kamu.”


“Jadi nanti kita harus take and give ya mam.”


“Ya… take and give di dalam bahasa Belandanya… genomen en gegeven.”


Tak lama kemudian mobilku sudah kuhentikan di areal parkir pemandian air panas mineral yang terkenal ini. Peralatan mandi Mama Aleta dan peralatan mandiku dikeluarkan dan kujinjing menuju loket penjualan tiket. Aku mendahului Mama Aleta membayar tiket masuk, karena jangan sampai beliau yang membayar.


Setelah berada di dekat kolam renang air panas, aku bertanya pada Mama Aleta, “Mau mandi di kolam itu atau mau di kamar mandi?”


Mama Aleta menjawabnya dengan bisikan, “Kalau di kolam kan harus poakai bajku renang. Mama gak bawa baju renang. Di kamar mandi aja.”


“Mau pakai dua kamar apa satu kamar Mam?”


“Satu aja. Ngapain dua - dua?”


Lalu kupesan dan kubayar satu kamar mandi.


Beberapa saat kemudian aku dan Mama Aleta sudah berada di dalam kamar mandi yang tertutup dan terkunci. Ada bak mandinya yang hampir menghabiskan lantai kamar mandi ini saking besarnya.


Air panas mineralnya sedang dikucurkan dengan derasnya, sehingga uap pun mengepul dari permukaan air panas yang berasal dari gunung berapi itu.


Mama Aleta seperti tak sabar lagi. Beliau melepaskan blouse putih dan celana panjang corduroy biru tuanya. Disusul dengan pelepasan beha dan celana dalam serba putihnya. Lalu Mama Aleta turun ke bak mandi yan g lebih tepat disebut kolam kecil itu. Padahal airnya baru sebatas lutut.


Sementara aku cuma terlongong menyaksikan betapa indahnya tubuh wanita Belanda itu. Biasanya perempuan yang sudah berumur kepala empat, perutnya suka buncit. Tapi perut Mama Aleta kecil, tidak kelihatan buncit sedikit pun.





Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top