Mamie terheran - heran melihatku pulang dengan sedan hitam yang sama persis dengan sedan miliknya, hanya warnanya saja yang berbeda. Punya Mamie berwarna merah, sementara mobilku berwarna hitam.
Untungnya garasi kami cukup luas, sehingga meski ada mobil papa dan mobil Mamie, mobilku tetap bisa masuk dengan leluasa. Bahkan mungkin ditambah satu mobil lagi pun masih bisa muat di garasi kami.
“Ini mobil siapa Chep?” tanya Mamie sambil memegang pergelangan tanganku.
“Mobilku Mam. Hadiah dari Mama,” sahutku.
“Mmm… mau dikasih mobil sama mamie, kamu gak mau. Dikasih mobil sama mama kandung tercinta sih mau ya,” ucap Mamie sambil mencubit perutku.
“Ini mobil tau - tau udah ada di depan rumah. Mama gak pernah bilang - bilang sebelumnya, Mamie Sayang,” kataku sambil mendekap pinggang Mamie, “Ehhh… Papa ada ya?”
“Ada… lagi tidur,” sahut Mamie sambil menuntunku ke dalam kamarku, “Ada yang mau mamie bicarakan…”
Begitu berada di dalam kamarku, Mamie menutup dan menguncikan pintu kamarku, lalu mengajak duduk berdampingan di sofa.
“Ada apa Mam? Kok kelihatannya ceria sekali?” tanyaku.
“Tadinya kita takujt ketahuan Papa kan? Tapi sekarang justru Papa yang nyuruh mamie agar minta dihamili sama kamu Sayang.”
“Mamie serius?”
“Sangat serius.”
“Kok bisa begitu?”
“Begini… awalnya Papa yang nanya, apa cita - cita mamie yang belum kesampaian? Mamie jujur aja menjawab, bahwa mamie ingin punya anak.”
“Terus?”
“Awalnya Papa kelihatan bingung. Tapi akhirnya dia bilang, bahwa spermanya sudah lemah. Dokter bilang Papa sulit untuk mendapatkan anak lagi. Karena itu Papa nyuruh mamie merayu kamu supaya bersedia menghamili mamie.”
“Tanpa dirayu pun aku sudah sering menyetubuhi Mamie, “tanggapku.
“Iya. Tapi Papa kan belum tau kalau kita sudah mendahului sarannya itu.”
“Kira - kira saran Papa itu diucapkan dengan hati yang ikhlas gak ya?”
“Sangat bersemangat, bukan ikhlas lagi. Malah dia udah gak sabaran, nyuruh mamie telepon kamu supaya cepat pulang. Tapi mamie kan kasihan karena kamu sedang menjumpai ibu kandungmu yang sudah sembilan tahun tidak berjumpa. Makanya mamie minta Papa bersabar menunggu sampai kamu pulang tanpa diburu - buru.
Aku cuma mengangguk - angguk dengan perasaan masih bingung.
“Nah… kedengarannya Papa udah bangun tuh. Nanti kalau ditanya, bilang aja kita belum pernah ngapa - ngapain ya. Tapi setelah ada restu dari Papa, kita bisa main sesuka hati. Pada waktu Papa ada di rumah pun kita masih bisa main. Gimana? Kamu seneng?”
“Seneng sekali Mam. Baiklah… aku mau mandi dulu ya.”
“Iya. Cepetan mandinya. Karena papa nanti sore akan terbang ke Medan. Jadi kita bebas mau melakukan apa pun.”
“Iya Mam.”
“Nanti Papa pasti manggil kamu Chep.”
“Iya Mam,” sahutku sambil melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Sambil mandi terawanganku melayang - layang tak menentu. Tentang Mama yang begitu menyayangiku, sehingga apa pun yang kuinginkan selalu dikabulkannya, termasuk pemasrahan vginanya. Juga tentang berita yang barusan kudengar dari Mamie, tentang keinginan Papa yang terasa aneh bagiku.
Setelah mandi, aku keluar dari kamar mandi. Ternyata Papa sudah berada di dalam kamarku. Sedang duduk di sofa.
“Bagaimana keadaan mamamu Chep? Sehat?” tanya Papa.
“Sehat Pap. Malah jadi lebih gemuk daripada dahulu.”
“Syukurlah kalau sehat sih. Sini sebentar Chep. Papa mau ngomong sebentar.”
“Iya Pap, sebentar… ganti baju dulu,” sahutku sambil buru - buru mengenakan baju dan celana piyamaku. Kemudian menyisir sebentar. Dan melangkah ke arah sofa yang sedang diduduki oleh Papa.
Setelah mencium tangan Papa, aku pun duduk di sampingnya.
“Kamu dibeliin mobil mahal sama mamamu?” tanya Papa.
“Iya. Mobil itu tau - tau udah nongkrong aja di depan rumah Mama. Katanya sih Mama punya nazar untuk menghadiahkan mobil kalau aku datang menjumpainya.”
“Ya syukurlah. Kalau bisa membelikan mobil mahal begitu, berarti mamamu tidak kekurangan setelah hidup sendiri.”
Papa terdiam sejenak. Lalu berkata sambil memegang bahuku, “Ohya… papa mau minta tolong sama kamu Chep.”
“Minta tolong apa Pap?”
“Kamu kan sudah delapanbelas tahun. Papa mau bicara secara dewasa aja ya. Mamiemu itu pengen punya keturunan. Sedangkan papa sudah diperiksa ke dokter, hasilnya sangat mengecewakan. Kata dokter, sperma papa sudah lemah. Jadi takkan bisa membuahi lagi. Kalau dipaksakan pun nanti bayinya bisa bermasalah, bahkan bisa cacat dan sebagaInya.
Papa terdiam lagi sesaat. Lalu melanjutkan dengan suara setengah berbisik, “Papa takut kalau keinginan Mamie tidak tercapai, lama - lama bisa minta cerai nanti sama papa.”
“Iya Pap. Seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja punya keinginan menjadi seorang ibu, “tanggapku.
“Nah… kamu kan sudah jadi mahasiswa, tentu kamu bisa menganalisa keadaan ini. Jadi… setelah papa pikirkan matang - matang, papa hanya punya satu tumpuan harapan, yakni dirimu Chep.”
“Apa yang bisa kulakukan untuk membantu Papa?”
“Papa ingin agar kamu mewakili papa untuk menghamili Mamie.”
“Wow… itu kan berarti aku harus…”
“Harus menggauli Mamie serajin mungkin. Agar dia bisa hamil.”
Aku tertunduk sejenak. Lalu bertanya, “Memangnya Papa gak cemburu kalau aku melakukan tugas dari Papa itu?”
“Tidak, “Papa menggeleng sambil tersenyum, “Kamu kan anak papa. DNAmu pasti identik dengan DNA papa. Karena kamu adalah darah daging papa.”
Aku tidak langsung setuju, karena ada perasaan kurang nyaman juga di dalam hatiku.
“Bisa kan? “Papa menepuk bahuku, “Bisa kamu membantu papa dalam masalah yang satu itu?”
Aku menatap mata Papa. Lalu mengangguk perlahan, “Demi Papa aku mau mencoba untuk melakukannya. Tapi… Papa udah yakin kalau Mamienya mau begituan sama aku?“
“Sudah mau. Masa dikasih anak muda setampan kamu gak mau?! Hhhh… hhhh… hhhh… “Papa malah ketawa ditahan - tahan.
“Iya deh… hitung - hitung sekalian belajar aja sama Mamie ya Pap.”
“Naaaah… dada papa langsung plong Chep. Lakukanlah dengan tenang ya. Jangan punya perasaan ini - itu. Konsentrasi saja pada Mamie yang ingin hamil. Kamu pasti bisa. Tapi ingat… semua itu rahasia kita dengan Mamie saja. Kedua kakakmu juga jangan sampai tau.”
“Siap Pap.”
Papa tersenyum sambil menepuk - nepuk bahuku. “Ya udah papa mau terbang ke Medan nanti sore, sekarang mau siap - siap dulu.”
“Iya Pap. Pulangnya bawain sirop markisa ya.”
“Iya. Lakukanlah tugas rahasiamu dengan baik, bahagiakan hati Mamie sebisamu.”
“Siap Pap.”
Papa keluar dari kamarku. Aku pun keluar menuju dapur, minta dibikinin kopi pahit sama Bi Caca, pembantu yang sudah bertahun - tahun bekerja di rumah ini.
Jam 13.00 sebuah mobil perusahaan datang untuk menjemput dan akan mengantarkan Papa ke bandara.
Aku dan Mama mengantarkan kepergian Papa sampai pintu pagar besi.
Setelah mobil perusahaan yang akan mengantarkan Papa ke bandara menghilang dari pandangan, Mamie mengajakku ke dalam kamarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Mamie memegang pergelangan tanganku sambil berkata, “Mamie ingin nyobain dibawa olehmu dengan mobil baru itu. Tapi nanti malam aja jalannya. Sekarang sih pengen kangen - kangenan dulu sama kamu.”
“Iya Mam. Aku juga udah kangen berat, dua minggu gak lihat Mamie rasanya rindu banget,” sahutku sambil memeluk dan mencium bibir ibu tiriku yang jelita itu.
Mamie pun mendekap pinggangku sambil menciumi sepasang pipiku. “Mamie apa lagi. Kangen sekali padamu.”
“Sekarang kita bisa melakukannya dengan tenang ya Mam. Tanpa rasa takut ketahuan Papa lagi.”
“Iya. Tapi jangan sampai ketahuan sama Caca juga. Nanti dia bisa bocorin rahasia ke luar.”
“Tentu aja Mam. Tadi Papa juga udah mewanti - wanti bahwa kita harus merahasiakan. Teh Susie dan Teh Nindie juga jangan sampai tau.”
Tapi diam - diam aku teringat sesuatu yang pernah terjadi, tanpa sepengetahuan Mamie. Sesuatu yang memalukan, mungkin. Tapi biar bagaimana hal itu sudah tergores di dalam history of my life. Sejarah kehidupanku. Takkan bisa dihapus lagi. Dan aku masih ingat semuanya.
Sebelum aku mendapat libur panjang, Papa dan Mamie sedang berada di kampung Mamie. Katanya sih mau menikahkan adik Mamie di kampungnya.
Pada saat itulah, sepulang kuliah aku memanggil Bi Caca. “Bi bisa mijitin gak?”
“Mijit? Sedikit - sedikit sih bisa Den,” sahut Bi Caca, “Memang Den Chepi mau dipijit?”
“Iya Bi… duuuh pegel - pegel kaki dan pinggangku Bi.”
“Iya. Entar saya pijitin. Mau cuci tangan dulu ya Den.”
“Iya, kutunggu di kamar ya Bi.”
“Iya Den…”
Kemudian aku masuk lagi ke dalam kamarku. Kutanggalkan baju dan celana yang kupakai kuliah tadi. Dan dalam keadaan cuma bercelana dalam, aku menelungkup di atas bedku.
Tak lama kemudian Bi Caca masuk ke dalam kamarku. “Mau pakai minyak gosok Den?” tanyanya.
“Jangan ah,” sahutku, “Nanti badanku berminyak - minyak dan panas. Pakai tangan aja,” kataku sambil tetap menelungkup.
“Mau diurut biasa Den?”
“Iya. Diurut biasa aja, sambil pijit - pijit. Biar pegel - pegelnya berkurang.”
Lalu Bi Caca mulai memijati telapak kaki dan jari -jarinya. Dilanjutkan dengan memijat dan mengurut - urut betisku.
“Nahhh… ini enak Bi… pinter juga Bibi mijit ya…”
“Kalau ada Ibu mah mungkin saya gak disuruh mijit ya Den. Hihihiii…” kata Bi Caca sambil menahan tawanya.
Aku kaget mendengar ucapan Bi Caca itu. Apa maksudnya? Apakah dia menyindirku atau asal nyeplos ngomong aja.
“Aku gak pernah dipijitin sama Mamie Bi.”
“Iii… iya Den. Tapi Ibu memang sangat baik ya sama Den Chepi. Gak seperti ibu tiri.”
“Sangat baik gimana?”
“Ngg… nggak pernah marahin… hihihihiii… “Bi Caca menahan tawanya lagi.
Wah… jangan - jangan dia sudah tahu kalau aku suka menggauli Mamie.
Lalu aku harus bilang apa? Aku malah tak berani menanggapinya, karena takut masalahnya jadi melebar ke mana - mana.
Tapi bagaimana kalau dia menyebar gossip ke pembantu tetangga yang suka pada ngerumpi di pinggir jalan?
Aku harus berusaha meredam nsegala kemungkinan buruk di kemudian hari…!
Lalu aku langsung memindahkan topik pembicaraan. “Bi Caca ini statusnya janda apa punya suami?” tanyaku.
“Punya suami Den. Tapi ketemunya juga cuma dua tahun sekali.”
“Lho kok bisa?!”
“Suami saya bekerja di Arab Den. Pulang setahun sekali aja gak bisa, karena gajinya sedikit. Tapi belakangan ini saya dengar kabar bahwa dia sudah nikah lagi, dengan TKW yang kerja di Arab juga. Gak taulah… saya pusing kalau mikirin suami. Makanya saya bekerja di sini juga, karena butuh duit untuk anak saya.
“Punya anak berapa?” tanyaku sambil membalikkan badan jadi celentang, “Bagian depannya juga pijitin Bi.”
“Iya Den.”
“Eeeh, tadi aku nanya punya anak berapa?”
“Cuma seorang Den baru usia empat tahun.”
“Terus sama siapa anak itu sekarang?” tanyaku samb il mengamati Bi Caca yang sedang mwembungkuk memijati betis dan pahaku, sementara aku melihat sesuatu yang luar biasa lewat belahan daster bagian dadanya. Tampak pertemuan sepasang bukit kembar itu dengan jelas. Dan aku yakin toket Bi Caca itu gede…
Dan… diam - diam batang kemaluanku mulai menegang di balik celana dalamku yang terbuat dari bahan kaus putih ini. Sambil membayangkan seperti apa bentuknya kalau Bi Caca telanjang di depan mataku? Dan seperti apa bentuk vginanya? Seperti apa pula rasanya kalau aku ewean sama dia?
Ini jelas. Bahwa nafsuku sudah mulai menggoda. Dan dengan pesatnya menjadi hasrat yang tak terkendalikan lagi. Sehingga akhirnya kusembulkan batang kemaluanku dari sela celana dalamku. Sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini, aku berkata, “Ini kalau sudah bangun begini harus diapain Bi?
Bi Caca menoleh ke arah pnis ngacengku yang seolah menunjuk ke langit - langit kamarku. “Waaaauuuu… Deeeen… itunya kok panjang gede gitu Deeen…”
“Iyaaa… terus sekarang ngaceng begini musti diapain biar lemas lagi? Harus diemut kali ya sama Bibi?!”
“Waaah… saya belum pandai emut - emutan. Punya suami saya juga belum pernah saya emut Den.”
“Terus harus diapain? Harus dientotin ke vgina Bibi kali ya?”
Bi Caca mendadak tampak bersemangat. Dia memegang batang pnisku dengan tangan gemetaran. “Memangnya Den Chepi berkenan ngentot saya gitu?”
“Mau Bi. Mau banget. Yang penting pnisku bisa lemas lagi. Kalau ngaceng begini suka pegel.”
“Sekarang Den?” tanyanya seperti belum yhakin pada ucapanku.
“Tahun depan!” sahutku, “Ya sekarang lah. Kan ngacengnya juga sekarang.”
“Berarti saya harus telanjang ya Den?”
“Ya iyalah. Biar jelas semuanya. Bi Caca seksi kok malam ini.”
Bi Caca memang pembersih dan pesolek. Pembantu zaman sekarang beda dengan babu di zaman dahulu. Pembokat zaman sekarang seperti Bi Caca itu, rambut pun dicat dengan warna kecoklatan. Bibirnya yang lebar tak pernah lolos dari lipstick.
Bi Caca memang tidak cantik, tapi manis. Sesuai dengan warna kulitnya yang hitam manis. Tubuhnya tinggi montok, terutama montok di toket dan bokongnya itu. Tapi jujur, baru sekali ini aku memperhatikan beberapa kelebihannya itu.
“Ayo telanjang. Aku juga udah telanjang nih,” kataku sambil melemparkan celana dalamku ke lantai, karena nanti akan diganti oleh celana dalam yang sudah dicuci dan disetrika.
Bi Caca tak kelihatan ragu menanggalkan dasternya. Sehingga tubuhnya tinggal mengenakan beha dan celana dalam yang sama - sama berwarna merah. Lalu kulihat ia sudah menanggalken behanya, sehingga sepasang toketnya yang memang gede itu tak tertutup apa - apa lagi.
Sambilk membungkuk, Bi Caca melepaskan celana dalam merahnya. Sehingga vginajnya yang berwarna coklat muda itu tak terhalang seutas benang pun lagi. Setelah melihat bentuk vginanya yang tercukur bersih itu, hatiku berkata, “Dia benar - benar mengikuti trend masa kini. vginanya pun dibersihkan dari jembut, sehingga seolah menantangku untuk menjilatinya.
Bi Caca cuma manis, tidak cantik. Tapi setelah telanjang bulat sambil celentang di atas bedku… aduhai… betapa menggiurkannya tubuh pembokat setia itu…!
Lalu apakah aku berniat untuk jaim dan mau langsung menjebloskan pnisku ke dalam liang vginanya?
Tidak. Aku sejak awal mengalami hubungan seks dengan Mamie, prinsipku tetap kokoh di dalam batinku. Bahwa perempuan mana pun yang kusetubuhi, harus meninggalkan kesan positif di dalam hati perempuan itu. Kalau secara lebay, aku ingin dianggap sebagai lelaki yang paling memuaskan di dunia ini.
Karena itu aku menyerudukkan mulutku ke vgina Bi Caca yang berwarna gelap itu, lalu mengangakannya dengan kedua tanganku, lalu menjilati bagian dalamnya yang berwarna merah membara itu. “Deeeen… “seru Bi Caca tertahan. Mungkin dia kaget karena aku menjilati vginanya, sebagai tanda bahwa aku menganggapnya bukan sekadar pembokat di rumah ini.
Lebih dari itu, tampaknya Bi Caca baru sekali ini merasakan vginanya dijilati. Sehingga kertika lidahku mulai gencar menjilati vgina dan kelentitnya juga, dsia mulai menggeliat - geliat dan mendesah - desah, “Aaaaaaah… aaaaaaa… aaaaaah Deeeen Cheeepiiiii… sa… saya baru sekali ini merasakan eeee…
eeenaknya vgina dijilatin begini… oooooh Deeeen… ini sangat - sangat enak sekali Deeen… adududuuuuuh… iya Deeeen… apalagi kalau itil saya dijilatin begini… enak Den.. enaaaaak… ooooh Deeen Chepiiii… saya merasa seolah bermimpi karena mengalami hal yang tak pernah saya bayangkan sebelumnya ini…
Aku tak merasa derajatku direndahkan. Aku bahkan senang mendengar pengakuan Bi Caca itu. Bahwa ia baru sekali ini merasakan vginanya dijilati. Sehingga ia merasakan nikmatnya perlakuanku padanya. Maka semakin gencarlah aku menjilati kelentitnya yang cuma sebesar kacang kedelai itu. Bahkan sesekali aku menyedot kelentit yang sudah tegang itu, sehingga perut Bi Caca seriung terangkat - angkat dalam kejangnya.
Dan setelah vgina Bi Caca terasa basah sekali oleh air liurku, dengan sigap aku mendorong sepasang pahanya agar terentang lebar, sementara moncong pnisku sudah kuletakkan di mulut heunceut Bi Caca yang berwarna gelap dan agak tembem itu.
Lalu kudorong pnis ngacengku sekuatnya. Blesssss… melesak masuk ke dalam liang vgina Bi Caca yang disambut dengan pelukan perempuan yang kira - kira sebaya dengan Mamie itu (28 tahunan) disertai dengan rengekan erotisnya, “Adududuuuuuh… masuk Deeeeen… oooooooh Den Cheeepiiiii…”
Kemudian kuhempaskan dadaku ke atas sepasang toket gede itu, sambil merapatkan pipiku ke pipinya. “Gak nyangka… vgina Bibi masih sempit gini ya…” ucapku sambil mengayun pnis ngacengku perlahan - lahan.
Sebagai jawaban, Bi Caca malah memagut bibirku ke dalam lumatan hangatnya, sambil melingkarkan lengannya di leherku. Sementara aku mulai mempercepat entotanku.
Bi Caca pun mulai menggoyang pinggulnya dengan gerakan yang sangat erotis. Memutar - mutar dan meliuk - liuk, sehingga pnisku terasa dibesot - besot dan diremas - remas oleh liang vginanya yang sangat legit ini.
Sementara Bi Caca semakin binal menggeolkan pinggulnya diiringi rintihan - rintihan histerisnya, “Deeen… oooo… oooooh… Deeeen… punya Aden ini… ooooooh… luar biasa rasanya… ooooh… belum pernah saya merasakan disetubuhi seenak ini Deeeeen… ooooh… kita ini… lagi ngapain Deeen?
“Lagi ewean… !”
“Hihihiiii… saya pasti ketagihan nanti Den… pengen diewe terus sama Aden… ““Santai aja Bi. Aku juga bakal ketagihan, pengen ngewe Bibi terus nanti. Heunceut Bibi juga luar biasa legitnya sih… nanti kalau aku mau ngecrot, lepasin di mana Bi?”
“Di dalem heunceut saya aja Den. Saya masih ikutan kabe kok. Ta… tapi… adududuuuuh Deeeen… saya udah mau lepas nih Deeen… “Bi Caca gedebak - gedebuk berkelojotan.
“Ayo lepasin aja Bi. Aku seneng kalau merasakan perempuan sedang orgasme,” sahutku sambil mempercepat entotanku. Pook… pok… pok… pokkkkkk… pokkk…
Akhirnya Bi Caca mengejang tegang. Sementara liang vginanya terasa seperti gerakan ular yang sedang membelit mangsanya. Disusul dengan kedutan - kedutan kencang yang luar biasa erotisnya.
Sesaat kemudian Bi Caca memeluk dan mencium bibirku sambil berkata lirih, “Terima kasih Den. Duh… belum pernah saya merasakan ditiduri yang snikmat barusan. Soalnya disetubuhi oleh cowok setampan Den Chepi, yang punya titit luar biasa pula.”
Aku cuma tersenyum. Lalu mulai mengayun kembali pnisku yang masih jauh dari ejakulasi ini.
“Mau nyobain anjing - anjingan Den?” tanya Bi Caca ketika entotanku masih perlahan.
“Boleh,” sahutku sambil menarik pnisku dari liang vgina Bi Caca.
Spontan Bi Caca merangkak dan menunggingkan pantatnya ke atas, sehingga vgina Bi Caca kelihatan semua dari belakangnya.
Aku pun berlutut sambil memegang bokong semok Bi Caca. Sambil berlutut pula kubenamkan kembali batang kemaluanku ke dalam liang vgina Bi Caca yang legit licin itu. Blessss…
Tak sulit membenamkan batang pnisku kali ini. Karena liang vgina Bi Caca sudah becek setelah orgasme tadi.
Sambil berlutut aku pun mulai mengentot lagi, sambil menepuk - nepuk sepasanjg buah pantat Bi Caca.
“Iiii… iya Den… tepok - tepok terus pantat saya Den… enak… lebih keras lagi juga gak apa - apa Den.”
Kuikuti saja keinginan Bi Caca itu. Kukemplangin pantatnya sekeras mungkin, yang disambut dengan rintihan eroitis pembokatku, “Oooohhhh… enak Den… tempelengin terus pantat saya Den… enak sekali… lebih kuat lagi Deeeen… iyaaaa… iyaaaa… ini semakin enak Den… oooohhhh… pnis Den Chepi memang luar biasa enaknya Deeen…
Sekitar setengah jam aku memngentot Bi Caca dalam posisi doggy ini.
Sampai akhirnya Bi Caca ambruk dalam orgasme keduanya.
Kemudian kami lanjutkan dalam posisi missionary. Bi Caca di bawah lagi, sementara aku di atas lagi.
Dalam posisi missionary ini Bi Caca menggeolkan bokongnya lagi. Memutar - mutar dan meliuk - liuk lagi.
Dalam posisi inilah akhirnya akui menggelepar di atas perut Bi Caca, sambil membenamkan pnisku sedalam mungkin.
Dan moncong pnisku pun mengejut - ngejut sambil melepaskan lendir kenikmatanku.
Crooootttt… croootttttttt… crooootttt… crettt… crooooooootttt .;.. croooottt… crooootttt…!
Bi Caca memelukku erat - erat sambil berbisik di dekat telingaku, “Aduuuh nikmatnya merasakan liang vgina saya disemprot - semprot oleh air mani Den Chepi… mmmm… indah sekali rasanya Den…”
Aku cuma mendengus, lalu terkulai lunglai di atas perut Bi Caca.
Tapi sejam kemudian aku menyetubuhi Bi Caca lagi. Dalam segala jenis posisi. Dan tengah malam pun aku mengentotnya lagi untuk ketiga kalinya.
Tak cuma itu, keesokan paginya, sebelum turun dari bed masih sempat aku menyetubuhinya lagi.
Mungkin inilah petualanganku yang paling jahanam, tapi sangat indah buat kukenang pada hari - hari berikutnya.
Ayo lepasin dong pakaianmu. Kok malah melamun?”” tegur Mamie membuyarkan terawangan tentang segala yang telah terjadi antara Bi Caca dengan diriku itu. Bahwa beberapa hari sebelum aku berangkat ke rumah Mama, aku sempat melakukan petualangan dengan Bi Caca.
Dan kini di depan mataku, Mamie sudah melepaskan segala yang melekat di tubuhnya sambil berkata, “Sekarang mamie takkan minum pil kontrasepsi lagi. Karena sekarang tujuannya kan ingin agar mamie hamil.”
Aku pun menelanjangi diriku sendiri kemudian melompat ke atas bed. Menerkam Mamie dengan segenap gairahku.
Dan beberapa saat kemudian aku sudah bersetubuh dengan Mamie. Dengan segenap perasaanku tentunya. Karena kali ini ada tujuan penting. Agar aku bisa menghamili Mamie.
Sejak aku kuliah pakai sedan hitam ini, mahasiswi yang sekampus denganku jadi banyak yang suka melayangkan tatapan dan senyum yang menggoda. Tapi aku pakai sedan hitam ini bukan mau nyari cewek. Katro banget rasanya nyari cewek dengan modal mobil doang.
Aku malah suka enek kalau cewek yang tadinya jutek mendadak bermanis - manis setelah tahu aku punya sedan mahal ini. Entah seperti apa sikapnya kalau aku kuliah pakai motor bebek lagi.
Yama dan Gita memang kuajak pakai mobil ini. Tapi mereka sahabatku. Tak lebih dari itu.
Walau pun begitu, pada suatu saat aku mengalami kisah yang terduga.
Ya… sore itu aku sudah selesai kuliah dan sedang menggerakkan mobilku yang diparkir di pinggir jalan (karena mobil mahasiswa tidak boleh parkir di dalam areal kampus). Tiba - tiba pandanganku tertumbuk ke seorang wanita muda cantik, yang tak lain dari Bu Shanti, dosenku yang sudah lama menumbuhkan rasa simpatiku.
Mungkin dia sedang menunggu jemputan, atau mungkin juga sedang menunggu angkot.
Kuhentikan mobilku di depan Bu Shanti sambil membuka jendela kiri. “Mau pulang Bu?”
Bu Shanti membungkukkan kepalanya, “Chepi?! Iya mau pulang.”
“Ayo saya anterin aja Bu,” ajakku.
“Rumahku jauh di luar kota Chep.”
“Biarin aja,” sahutku sambil membuka pintu depan kiri, “Di luar propinsi juga saya anterin sampai rumah Ibu.”
“Beneran nih mau nganterin sampai rumah?” tanya dosen cantik itu setelah duduk di samping kiriku, sambil mengenakan seatbelt. Harum parfum pun tersiar ke penciumanku.
“Khusus untuk Ibu, saya siap mengantarkan kapan pun dan ke mana pun,” sahutku sambil memindahkan tongkat matic ke D.
“Ohya?! Enak dong, kapan - kapan bisa minta diantar sama mahasiswa yang baik hati begini.”
“Siap Bu. Asalkan gak ada yang marah aja. Hehehee…”
“Siapa yang marah? Suami belum punya, pacar pun gak punya.”
“Kirain Ibu sudah punya suami.”
“Belum laku - laku Chep.”
“Tapi pacar aja sih mungkin sudah punya.”
“Aku jomblo Chep. Dulu waktu masih SMA pernah punya pacar. Tapi begitulah, gak enak punya pacar yang selalu mengatur segalanya. Apalagi kalau sudah jadi suami.”
“Wah… bisa nyelip dong aku Bu.”
“Nyelip ke mana?”
“Ke hati Bu Shanti.”
“Hihihiiii… kamu bisa gombal juga yaaa, “Bu Shanti mencubit pangkal lenganku.
“Aku serius Bu. Soalnya di antara dosen - dosen, Bu Shanti yang paling kusukai. Makanya sekarang serasa ketiban rejeki nomplok, karena Ibu mau dianterin olehku.”
“Masa sih? Udah segitunya perasaanmu padaku?”
“Kalau iya, Ibu keberatan nggak?”
“Keberatan sih nggak. Tapi kamu kan masih sangat muda. Umurmu berapa?”
“Delapanbelas Bu.”
“Tuh… berarti delapan tahun lebih muda dariku.”
“Ibu baru duapuluhenam tahun? Sudah es-dua… hebat sekali.”
“Es-duaku dapet setahun yang lalu.”
“Waduh, berarti es-duanya diraih waktu usia Ibu baru duapuluhlima tahun?”
“Iya. Es-satunya diraih di usia duapuluhdua. Es-dua diraih di usia duapuluhlima. Gak muda - muda amat kan? Di Amerika ada anak umur tujuhbelas tahun sudah es-tiga.”
“Wah, itu sihg jenius banget Bu. Tapi program percepatan pendidikan hanya ada di Amerika kan?”
“Iya. Di Inggris belum ada.”
“Ibu jadi dosen belum ada setahun kan?”
“Iya, baru sembilan bulan.”
“Berarti aku harus dekat terus sama Ibu.”
“Kenapa.”
“Supaya lulus es-satu secepatnya. Tapi ada yang lebih penting lagi…”
“Apaan tuh?”
“Untuk mewujudkan khayalanku.”
“Khayalan apa? Nanti aku jadi serius lho.”
“Aku juga serius Bu. Serius mikirin Ibu sejak lama.”
“Masa sih? Kamu terlalu muda bagiku Chep.”
“Aku pengagum wanita yang lebih tua dariku Bu. Lagian Ibu kan masih muda. Baru duapuluhenam tahun. Tigapuluh juga belum.”
Bu Shanti memegang tangan kiriku yang nganggur, karena mobilku matic. Terasa hangat tangannya. Sehingga aku sengaja memegangnya dan mendekatkan ke mulutku. Lalu kuciumi tangan halus yang putih bersih itu.
Bu Shanti membiarkanku menciumi tangannya. Lalu ia melepaskan jaket putihnya. Sehingga blouse hitamnya tampak di mataku. Dan… ooo maaaak… blouse hitam itu ada bagian berbentuk hati atau icon love di bagian dadanya. Sehingga belahan buah dadanya tampak menonjol… terbuka jelas… putih dan mulus sekali.
Aku tidak berani berkomentar. Tapi diam - diam ada yang bangun di dalam celanaku!
Mobilku sudah menginjak batas kota. Kularikan terus ke luar kota.
“Jadi merasa tersanjung sama kamu,” ucap Bu Shanti sambil menyandarkan kepalanya di bahu kiriku, “Tapi tetap aja aku merasa malu, karena tersanjung oleh ucapan cowok yang masih belasan tahun…”
Kusahut dengan perasaan pede, “Mendingan juga cowok belasan tahun dibandingkan dengan empatpuluh tahunan sih Bu. Heeheehee…”
“Iya sih. Tentu aja kamu lebih fresh daripada bapak - bapak sesama dosen sih. Tapi kalau kelihatan orang lain, pasti aku diketawain. Dianggap seneng brondong.”
“Gak usah dilihat - lihatkan sama orang lain dong Bu.”
“Kamu bisa merahasiakannya?”
“Bisa.”
“Di kampus harus bersikap seperti biasa aja. Bisa?”
“Bisa. Di kampus aku tetap akan bersikap sebagai mahasiswa kepada dosennya seperti mahasiswa lain.”
Tiba - tiba Bu Shanti mengecup pipi kiriku. Membuatku kaget bercampur senang. Dan ketika pandanganku tertuju ke arah belahan buah dada yang terbuka lewat blouse hitamnya, o… ingin rasanya kuselundupkan tanganku ke balik blouse di bagian dadanya itu. Untuk memegang toket dosenku itu.
Mendadak Bu Shanti berkata, “Itu ada apotek! Berhenti dulu sebentar ya. Mau beli vitamin.”
“Iya Bu,” sahutku sambil mengurangi kecep[atan mobilku. Lalu menghentikannya tepat di depan apotek itu.
“Tunggu sebentar ya. Cuma mau beli vitamin,” kata Bu Shanti sambil membuka pintu mobilku di samping kirinya. Lalu kubiarkan ia turun dan melangkah ke dalam apotek itu.
Tak sampai sepuluh menit Bu Shanti sudah masuk lagi ke dalam mobilku. “Cepat sekali?! Udah dapet vitaminnya?” tanyaku.
“Sudah,” sahutnya sambil memasangkan kembali seatbelt, “Ohya… tadi ada yang belum kutanyain sama Chepi…”
“Soal apa?”
“Chepi belum punya pacar?”
“Udah dapet.”
“Orang mana?”
“Ini yang duduk di sampingku.”
Bu Shanti ketawa cekikikan. Tampak senang sekali kelihatannya.
“Tapi aku merasa berat Chep.”
“Berat apanya?”
“Berat menolakmu.”
“Hahahaaa… satu - satu ya. Tinggal satu lagi.”
“Apa?”
“Gak apa - apa Sayaaang…”
Bu Shinta ketawa cekikikan lagi. Lalu mengecup pipi kiriku lagi.
“Gak nyangka hatiku bakal sesenang ini.”
Lengan kiriku pun merengkuh bahu kirinya sambil berkata, “Gak nyangka hatiku bakal sebahagia ini Bu.”
Bu Shanti menanggapinya dengan menciumi tangan kiriku.
Lalu kuhidupkan musik chillout ambient, membuat suasana semakin romantis.
Setengah jam kemudian mobilku sudah kubelokkan ke sebuah rumah minimalis yang begitu artistik penataannya, termasuk pekarangannya yang berbentuk taman kecil dengan tanaman hiasnya yang ditata secara artistik pula.
“Ayo mampir dulu, sekalian melanjutkan obrolan di jalan tadi, “ajak Bu Shanti sebelum turun dari mobilku.
“Gak apa - apa nih aku mampir ke rumah Ibu?” tanyaku dengan nada ragu (padahal nggak ragu).
“Nggak apa - apa. Mau nginep juga boleh.”
“Ah, serius nih?”
“Sangat serius. Di rumah ini kan penghuninya cuma dua orang. Aku dan pembantuku.”
“Owh… kirain tinggal sama orang tua.”
“Orang tuaku jauh di seberang lautan sana. Kapan - kapan kita main ke sana ya.”
“Boleh, asalkan pas pada saat liburan panjang.”
Lalu kami masuk ke dalam rumah yang tertata rapi luar dalamnya ini.
Begitu berada di dalam rumahnya, Bu Shanti menurupkan pintu depan, lalu memelukku dari belakang sambil berkata, “Aku mulai jatuh hati padamu Chep.”
“Jatuh hati apa jatuh cinta?” tanyaku tanpa menoleh ke belakang.
“Ya sama aja dong… jatuh hati berarti jatuh cinta.”
Dalam keadaan masih sama - sama berdiri, aku memutar badanku, jadi berhadapan dengan Bu Shanti. Dan tanpa keraguan lagi, kupagut bibir dosenku yang tipis merekah sensual itu.
Bu Shanti pun balas melumat bibirku sambil mendekap pinggangku.
Setelah lumatannya terlepas, ia berkata, “Silakan duduk dulu ya. Aku mau ganti baju dulu.”
“Iya Beib…” sahutku.
“Apa…?”
“Iya Beib…!”
“Oooh bahagianya aku mendengar kamu memanggilku Beib.”
“Kan kita harus saling membahagiakan,” sahutku sambil tersenyum.
Tanpa canggung lagi Bi Shinta memeluk dan mencium bibirku sekali lagi, kemudian masuk ke dalam kamarnya, meninggalkanku di ruang tamu.
Aku pun duduk di sofa putih ruang tamu, sambil mengamati keadaan di sekitarku. Kelihatan sekali bahwa pemilik rumah ini seorang yang berpendidikan tinggi. Selera intelektualnya tampak dari penataan rumahnya, baik indoor mau pun outdoornya.
Agak lama aku menunggu di ruang tamu. Namun akhirnya Bu Shanti muncul juga, mengenakan daster yang aduhai… tipis sekali. Sehingga bentuk tubuh di balik daster itu membayang dengan jelas sekali.
“Mau minum apa?” tanyanya sambil tersenyum.
“Gak usah ngerepotin Beib,” sahutku, “Tapi kalau ada sih minta black coffee aja, tanpa gula.”
“Pahit dong kalau tanpa gula sih.”
“Kata para ahli, kopi itu akan bermanfaat tapi jangan pakai gula.”
“Ogitu. Sebentar… mau bikinin kopinya dulu ya.”
“Iya Beib,” sahutku membuat Bu Shanti mengerling manja. Membuatku semakin gemes.
Bu Shanti masuk ke dalam.
Beberapa saat kemudian Bu Shanti sudah muncul lagi, bersama seorang pembantu yang membawakan secangkir kopi panas dan dua piring snack.
Bu Shanti pun duduk di sebelah kiriku sambil berkata, “Silakan diminum Yang.”
Mendengar kata “Yang” terlontar dari mulut dosen cantik itu, dadaku terasa berdenyut.
Lalu kuteguk kopi yang masih mengepul itu seteguk.
“Nginep aja di sini ya,” kata Bu Shanti sambil memegang tangan kiriku, “Kalau kamu mau nginep di sini, kita kan bisa semakin dekat nanti.”
“Kalau tidurnya sekamar dan seranjang dengan Bu Shanti sih aku mau.”
“Nah lho… sekarang manggil Ibu lagi. Aku kan belum punya suami, apalagi punya anak. Masa manggil Ibu terus?”
“Biar bagaimana Bu Shanti kan dosenku.”
“Di kampus aku memang dosenmu. Tapi di sini… aku ini gadis yang sudah jatuh cinta padamu, Sayang.”
Aku tersenyum. Lalu kuciumi tangan Bu Shanti yang sedang kupegang.
“Mau kan nginep di sini?”
“Mau, asalkan tidur seranjang denganmu Beib.”
“Iya. Tadinya mau nyiapin kamar lain untukmu. Tapi kalau mau tidur bareng sama aku ya udah… sekarang aja kita ke kamar yuk.”
“Oke, “aku mengangguk sambil tersenyum.
Bu Shanti membawa cangkir kopi dan piring kecilnya sambil berkata, “Minuman dan snacknya bawa ke kamarku aja ya.”
“Iya,” sahutku sambil membawa dua piring berisi snack itu, lalu mengikuti langkah Bu Shanti ke dalam kamarnya.
Pada waktu berjalan dari belakang Bu Shanti, tubuh dosenku itu semakin jelas di balik gaun tidurnya yang menurutku terlalu tipis dan transparan.
Setibanya di dalam kamar, Kopi dan snack itu diletakkan di atas meja kecil yang membatasi dua buah sofa putih. Ketika Bu Shanti masih berdiri, aku mendekapnya dari belakang sambil membisikinya, “Gaun tidurnya seksi banget. Sehingga bentuk tubuh Ibu terlihat samar - samar dari luarnya.”
“Gaun ini baru sekarang kupakai. Tadinya malas makainya, ya karena terlalu tipis dan transparan. Tapi untuk kamu, aku sengaja memakainya.”
“Kalau aku terangsang gimana? Ini aja aku sudah mulai tergiur…”
“Lampiaskan aja. Aku memang akan menyerahkan keperawananku padamu malam ini, kalau kamu mau.”
“Haaa?! Beneran nih?”
“Beneran. Aku memang sudah berjanji di dalam hati, akan menyerahkan kesucianku kepada lelaki yang kucintai dan mencintaiku.”
“Aku memang mencintaimu Beib. Tapi untuk menikah masih lama. Mungkin kalau usiaku sudah dekat - dekat tigapuluh, baru aku mau menikah.”
“Menikah masih lama, tapi kalau kawin sih malam ini juga bisa kan?” tanya Bu Shanti sambil mencubit perutku.
“Kawin sih sekarang juga mau. Tapi bagaimana kalau Ibu hamil nanti?”
Bu Shanti malah tersenyum. “Tadi aku beli dulu vitamin di apotek kan? Nah… sebenarnya tadi aku sekalian beli pil kontrasepsi.”
“Ohya?!” seruku girang. Lalu duduk di sofa sambil merangkul pinggang Bu Shanti agar duduk di pangkuanku.
Dan… Bu Shanti benar - benar duduk di atas sepasang pahaku, sambil melingkarkan lengannya di leherku.
“Memangnya masih perawan Beib?”
“Masih. Tapi ada alasan kuat kenapa aku mau menyerahkan keperawananku padamu sekarang.”
“Apa tuh alasannya?”
“Aku mau dijodohkan dengan lelaki yang membiayai kuliah es-duaku di Inggris. Di satu pihak aku merasa berhutang budi padanya, tapi untuk dijadikan istrinya… oi maaak… usianya dua kali usiaku Chep.”
“Limapuluhdua tahun?”
“Ya kira - kira segitulah. Yang sangat menyebalkan, aku hanya akan dijadikan istri ketiga.”
“Wow… jangan mau dong Beib. Kalau merasa berhutang budi sih bayar aja dengan duit yang senilai dengan biaya kuliah di Inggris itu.”
“Tapi sejak aku masih di SMP pun dia sudah banyak memberi uang kepada orang tuaku secara rutin. Kalau semuanya dijumlahkan, pasti jatuh milyaran.”
Aku cuma terlongong mendengar curhatan Bu Shanti itu.
“Karena itu, aku berjanji di dalam hati, akan menyerahkan keperawananku kepada orang yang kucintai dan mencintaiku. Karena itu aku akan menyerahkannya padamu. Tapi kamu tidak usah memikirkan soal pernikahan segala. Aku sendiri pun belum ingin cepat - cepat bersuami.”
Banyak lagi yang Bu Shanti katakan. Tapi intinya sudah kutangkap semua. Bahwa seandainya pun dia harus menikah dengan lelaki tua itu kelak, dia harus berpuas - puas menikmati masa mudanya dulu denganku.
“Oke, apa pun alasannya, yang pasti… kita akan saling bagi rasa sekarang kan?” kataku sambil mempererat dekapanku di pinggang Bu Shanti yang sedang duduk di atas pangkuanku.
“Iya Sayang. Kalau kita memang berjodoh, bisa aja kelak kita menjadi suami istri. Tapi kalau jodohku harus dengan lelaki tua itu, berarti dia hanya akan kebagian sisa - sisamu Sayang.”
“Hmmm… boleh sekarang kulepaskan gaun tidurnya Beib?”
“Lepaskanlah. Kancing - kancingnya ada di bagian punggungku.”
Lalu dengan penuh semangat kubuka kancing gaun tidur itu satu persatu. “Udah gak sabar pengan megang sesuatu,” kataku setelah kancingnya terbuka semua.
“Pengen megang apa?” tanya Bu Shanti sambil melepaskan gaun tidurnya.
“Pengen megang bukit kembarnya. Sejak berangkat dari kampus tadi rasanya nantangin terus.”
“Iya… semuanya buat Chepi tersayang sekarang. Aku akan pasrah, diapain juga silakan. Asal jangan disakiti aja.”
“Duuuh… cewek secantik ini masa tega aku menyakiti? Dosenku pula…” ucapku sambil menciumi tengkuknya yang sudah terbuka. Karena memang tinggal beha dan celana dalam yanhg masih melekat di badannya…”Kancing behanya juga ada di punggung… bukain deh kalau ingin megang bukit kembar sih.”
“Mmm… kalau aku manggil Mamie, mau gak?” tanyaku sambil membuka kancing kait behanya.
“Boleh. Tapi aku juga mau manggil Papie sama kamu. Gimana?”
“Iya… harusnya sih Mamie langsung hamil aja, biar lebih pantes dipanggil Mamie.”
“Jangan dulu ah. Aku pengen ngejar es-tiga dulu.”
“Wadooooh… Mamie haus ilmu ya?”
“Kan biar bisa naik terus jabatanku di kampus, Papie tampan…”
“Iya Mamie Cantik… semoga cita - citanya cepat kesampaian. Tapi kuliah es-tiganya mau di Inggris lagi?”
“Harusnya sih begitu. Makanya sekarang sedang kumpulin duit dulu buat biayanya. Gak mau ngandalin si tua itu lagi.”
“Tapi jarak pendidikan kita semakin jauh nanti.”
“Gak apa - apa. Papie kan bisa nyusul belakangan.”
“Aku sih es-satu mau langsung kerja. Pendidikan selanjutnya kapan - kapan aja,” kataku sambil memegang kedua toket Bu Shanti yang memang gede dan indah itu.
Lalu kami terdiam. Sampai pada suatu saat Bu Shanti berdiri. “Lanjutin di sana aja yuk, biar lebih romantis,” ucapnya sambil menunjuk ke bednya yang serba putih bersih.
Aku mengangguk. Lalu berdiri dan mengikuti Bu Shanti menuju bednya.
“Si dede langsung berdiri tegak nih Mam,” ucapku sambil menepuk - nepuk celana panjangku, tepat pada bagian yang menutupi penisku.
“Coba lihatin penisnya. Aku ingin tau seperti apa penis itu.”
“Iya. Kan aku juga harus telanjang seperti Mamie,” sahutku sambil menanggalkan kemeja tangan pendekku. Disusul dengan pelepasan sepatu, kaus kaki dan celana panjangku. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di badanku.
Bu Shanti mengusap - usap dadaku sambil berkata, “Bodymu atletis banget. Rajin olah raga ya?”
Sebagai balasan, kupegang toket dosenku yang gede dan indah bentuknya itu, “Payudara Mamie luar biasa indahnya.”
“Iya. Mulai saat ini sekujur tubuhku menjadi milikmu,” sahut Bu Shanti.
“Terima kasih. Aku bangga telah memiliki Mamie yang begitu mulusnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut,” sahutku sambil melepaskan celana dalamku, sehingga zakarku yang sudah ngaceng berat ini tidak tertutup lagi.
Bu Shanti langsung memegang pnis ngacengku dengan tangan yang terasa hangat dan gemetaran.
“Ada yang mau kutanyain… Mamie kok kebule - bulean gitu. Apakah ada turunan bule?”
“Ibuku asli Belanda. Kalau ayah sih asli Indonesia.”
“Oooo… pantesan. Kirain bukan blasteran,” ucapku sambil mendorong dada Bu Shanti agar celentang.
**airahku menggebu - gebu, dalam rasa percaya diri yang kuat.
Perasaanku pun seolah dihembus angin surga, karena menyaksikan sebentuk tubuh yang begitu mulus dan erotisnya. Tubuh putih mulus dan wajah cantik jelita yang siap untuk kunikmati.
Lebih dari itu semua, dia memang sudah lama kuidam - idamkan. Tapi awalnya aku hanya bisa memendam perasaanku di dalam hati. Dan kini dia seolah dikirim malaikat untuk hadir di dalam kehidupanku.
Maka dengan penuh gairah kujilati vginanya yang berjembut tapi seperti belum lama diguntingi dan dirapikan. Dan aku malah senang, karena hidupku seolah variatif. vgina Mama dan Mamie bersih dari jembut. Bahkan Bi Caca saja rajin mencukur bersih kemaluannya. Sementara kemaluan Bu Shanti berjembut begini.
Ketika kurasakan sudah cukup banyak air liurku yang teralirkan ke dalam celah vgina Bu Shanti, kurentangkan sepasang paha mulus dosenku. Lalu kuletakkan moncong pnisku di mulut vaginanya yang sudah ternganga pink itu.
Kemudian kudesakkan batang kejantananku sekuat tenaga… uuuuggghhhh… meleset. Kubetulkan lagi posisi moncong pnisku pada arah yang kuanggap tepat. Lalu kudorong lagi sekuatnya.
Meleset lagi…!
Lebih dari tiga kali meleset. Sehingga akhirnya aku bertanya, “Punya lotion gak?”
“Buat apa?” Bu Shanti balik bertanya.
“Untuk melicinkan… biar gak susah penetrasinya.”
Bu Shanti menunjuk ke meja riasnya sambil berkata, “Ada tuh… yang paling kanan.”
Aku pun turun dari bed. Untuk mengambil botol lotion di atas meja rias dosenku.
Kubuka tutup botol lotion itu dan kudekatkan ke hidungku. Hanya ingin menyelidik apakah harum atau tidak. Kalau harum, biasanya sudah mengandung pewangi. Dan itu bisa terasa panas oleh vgina Bu Shanti nanti.
Setelah yakin bahwa lotion itu takkan membuat vgina Bu Shanti panas, kubawa botol lotion itu ke atas bed. Kuoles - oleskan dulu isinya sedikit ke permukaan vgina Bu Shanti. Dan kutunggu sesaat.
“Panas nggak?” tanyaku.
“Nggak, “Bu Shanti menggeleng, “kan nggak mengandung fragrance.”
“Baguslah. Terkadang ada lotion yang menimbulkan rasa panas kalau dioleskan ke vagina,” ucapku sambil menuangkan isi botol itu ke bagian dalam vgina Bu Shanti.
Cukup banyak kutuangkan lotion itu ke celah vgina Bu Shanti, sehingga sampai meluap ke luar, membuat jembutnya ikutan mengkilap.
Kuratakan penyebaran lotion itu dengan jemariku. Terutama bagian dalamnya yang kurasa perlu banyak lotionnya, agar meresap ke lubang sanggamanya.
Kemudian kulumuri juga penisku dengan lotion sampai mengkilap.
Setelah menutup lagi botol lotion dan meletakkannya di pinggiran bed, kucolek - colekkan moncong pnisku ke dalam celah mewmek Bu Shanti yang sudah dingangakan olehnya sendiri. Kemudian kuletakkan kembali moncong pnisku di ambang mulut vagina Bu Shanti. Dan kudorong sedikit sampai moncongnya agak nyungsep ke dalam celah vgina Bu Shanti.
Setelah kepala penisku terasa sudah “terbidik dan terkunci”, aku pun mendorongnya sekuat tenaga. Uggggh… masuk sedikit… dorong lagi uuuuggghhh… masuk lagi sampai lehernya. Lalu kudorong lagi sekuat tenaga… uuuuuggggghhhh… membenam separohnya…!
“Ooooohhh… udah masuk ya?” tanya Bu Shanti sambil mendekap pinggangku.
“Iya. Sakit?” tanyaku.
“Nggak. Tadi ada sedikit… gak sakit cuma kayak digigit semut.”
“Sekarang akan mulai kuientot yaaaa…”
“Iya…”
Permainan surgawi ini pun dimulai. Dengan maju mundurnya batang kemaluanku di dalam liang yang sangat sempit ini. Awalnya terasa seret sekali. Tapi lama kelamaan mulai lancar, sehingga aku pun bisa mempercepat entotanku sampai kecepatan normal.
Setelah gerakan pnisku lancar, aku mulai memainkan peran mulut dan tanganku, untuk mengiringi ayunan batang kemaluanku. Di satu saat mulutku mulai mengemut dan menjilati pentil toket kiri Bu Shanti, sementara tangan kiriku mulai meremas toket kanannya dengan selembut mungkin. Agar jangan sampai dia complain karena kesakitan.
Dan… ia mulai merintih - rintih perlahan, “Sayaang… oooohhhh… ternyata enak sekali ya em-el ini… oooooh… aku sampai merasa seperti melayang - layang gini Yang… ooooohhhhh… enaaaaak Sayaaaaang… luar biasa enaknyaaaaa… oooohhhh… aaaah… aaaaah… ooooohhhhh… aaaaah …
Meski sedang gencar mengentotnya, aku menyempatkan diri untuk menjawabnya secara jujur, “Sebenarnya… hatiku sudah lama menjadi milikmu Mam…”
Sepasang mata indah itu menatapku dengan sorot cemerlang. Lalu ia merengkuh leherku ke dalam pelukannya. Dan melumat bibirku dengan lengketnya. Sementara aku tetap stabil mengentotnya dengan gencar.
Bahkan ketika lumatannya terlepas, aku mulai menjilati leher jenjangnya yang sudah keringatan, disertai dengan gigitan - gigitan kecil. Semakin menggeliat - geliat jugalah tubuh indah yang tengah kusetubuhi ini.
Terawanganku pun semakin jauh melayang - layang di langit biru. Dan seolah ada tanya di dalam batin, adakah detik - detik yang lebih indah daripada yang tengah kurasakan ini?
Gejala - gejala ia mau orgasme pun mulai terasa olehku. Maka kugencarkan entotanku lebih cepat lagi. Dan baru kuhentikan ketika sekujur tubuh indahnya mulai mengejang tegang. Batang kemaluanku memang berhenti karena terpaksa. Karena ketika likang vgina Bu Shanti sedang mengedut - ngedut kencang di puncak orgasmenya, moncong pnisku pun sedang menembak - nembakkan lendir kenikmatanku.
Mungkin aku terlalu dikuasai perasaanku yang memang sudah lama mengidolakan dosen cantik berdarah campuran indo-belanda itu. Sehingga aku tidak bisa mengulur durasi persetubuhanku. Selain darfipada itu, aku ingin melihat “saksi mati” bahwa dia memang masih perawan.
Dan ketika aku sudah mencabut pnisku dari dalam liang vgina dosen cantikku, memang ada genangan darah kira - kira sebanyak 1 sendok kecil di bawah pantatnya. Itulah saksi yang kumaksudkan. Yang membuatku merasa sangat menghormati Bu Shanti yang jelita ini.
Maka ketika aku terlentang di sampingnya, aku memegang tangannya sambil berkata, “Terima kasih Sayang. Aku telah membuktikan bahwa sebelum kusetubuhi tadi, dirimu masih benar - benar virgin. Memang sulit dipercaya bahwa seorang gadis yang sudah berusia duapuluhenam tahun masih bisa mempertahankan keperawanannya.
Dedngan suara lirih Bu Shanti menyahut, “Kalau gak bertemu denganmu tadi, sampai kapan pun aku akan tetap perawan. Karena aku sudah berjanji hanya akan menyerahkannya kepada cowok yang benar - benar kucintai dan mencintaiku.”
Aku sangat menghormati Bu Shanti di dalam hati, karena di usia 26 tahun dia masih mampu mempertahankan keperawanannya, sampai akhirnya diberikan padaku. Padahal dia itu indo-belanda. Dan pernah kuliah di Inggris segala, di mana nilai - nilai moral sudah ditinggalkan jauh - jauh.
Di negaraku sendiri sudah lama juga banyak yang kebablasan. Termasuk apa yang sudah kualami sebelum aku mendapatkan “hadiah” dari Bu Shanti, yakni keperawanannya itu.
Ya… saat itu aku dan dua orang sahabatku harus berangkat ke Jakarta, untuk mengurus acara kesenian dan kompetisi persahabatan di antara kampusku dengan sebuah universitas di Jakarta. Universitas itu beda namanya dengan universitasku, tapi yayasan yang memilikinya adalah yayasan pemilik kampusku juga.
Kebetulan yang terpilih menjadi ketua panitia adalah aku sendiri. Bendaharanya Yama, sekretarisnya Gita. Dua - duanya sahabatku.
Sejak aku mulai kuliah, kedua orang cewek itu adalah teman terdekatku. Sehingga ke mana - mana kami selalu bertiga. Maka setelah aku terpilih menjadi ketua panitia, aku punya hak untuk menunjuk bendahara dan sekretarisku. Maka kupilihlah Yama sebagai bendahara dan Gita sebagai sekretaris.
Tentu saja panitianya cukup banyak, untuk urusan logistik, akomodasi, konsumsi, humas dan sebagainya. Tapi panitia intinya adalah kami bertiga.
Itulah sebabnya kami bertiga yang akan mengadakan meeting pendahuluan dengan pihak universitas yang di Jakarta.
Gita itu gokil orangnya. Kalau ngomong, terkadang mengejutkanku. Karena tak menduga kalau cewek bisa ngomong tak kalah gokil dari cowok. Sementara Yama perilakunya anggun di mataku.
Tapi biar bagaimana mereka adalah teman - teman baikku, yang selalu kompak denganku dalam beberapa masalah.
Pagi itu aku mendahulukan menjemput Yama, karena rumahnya mudah dijangkau oleh mobilku. Sementara rumah Gita ada di dalam gang kecil yang tidak masuk mobil. Jadi aku bisa menyuruh Yama turun dari mobil dan berjalan kaki ke dalam gang sempit menuju rumah Gita itu.
Agak lama aku menunggu di dalam mobil yang kuparkir di dekat mulut gang kecil itu. Namun akhirnya mereka muncul juga.
Yama mendekati samping kanan mobilku. Lalu berkata, “Chepi… lu jadi boss aja deh, duduk di belakang. Biar gue yang nyetir.”
Aku tahu Yama punya mobil yang selalu dipakai kuliah. Bahkan sebelum aku punya sedan hadiah dari Mama ini, Yama sudah duluan punya mobil.
“Emang bisa lu nyetir ke luar kota?” tanyaku masih di belakang setir.
“Ziaaaah… ke Jakarta sih cetek brow… nyetir ke Surabaya aja sering. Malah sampai Madura segala.”
“Ya udah. Lu sendirian di depan ya. Si Gita di belakang sama gue. Biar bisa dengerin kicauannya.”
Yama mengangguk sambil tersenyum. Lalu aku turun dari mobil dan pindah ke belakang. Sementara Yama masuk ke depan kanan sambil berkata, “Mobil ini sih pasti lebih enak bawanya dibanding mobil gue.”
“Gak usah ngebut Yam,” ucapku sambil menepuk bahu Yama dari belakang.
“Santai aja boss. Bersama gue, kalian aman.”
Aku cuma tersenyum. Sementara Gita yang duduk di sebelah kiriku, malah sedang menggoyang - goyang kepala yang dipasangi earphone hapenya.
“Udah dong jangan dengerin musik mulu,” kataku sambil menepuk lutut Gita.
“Eh iya, “Gita melepaskan earphonenya, “setelin musik Yam. Biar nyaman. Mobil sebagus gini sih pasti punya koleksi lagu yang keren - keren.”
Kemudian terdengar suara musik dari audio mobilku. Belakangan aku lebih suka mendownload lagu - lagu compilation. Sehingga satu judul bisa 2 atau 3 jam durasinya. Bahkan ada yang sampai 24 jam satu judul.
Gita pun langsung bergoyang - goyang centik, mengikuti irama musik yang tengah berkumandang.
Tapi sesaat kemudian Gita mendekatkan mulutnya ke telingaku, lalu berbisik, “Daripada jadi teman baik seperti sekarang, mendingan kita jadi TTM yuk.”
Aku agak kaget mendengar bisikan Gita itu. Lalu membisikinya juga, “Teman tapi ML?”
“Iya, “Gita mengangguk sambil tersenyum. Lalu membisiki telingaku lagi, “Harusnya TTN. Teman tapi ngewe.”
Aku tercengang sambil menahan tawaku. Lalu membikinya, “Lu serius?”
“Serius lah,” sahutnya perlahan, yang hampir tak terdewngar karena musik yang berkumandang agak keras.
“Lu udah gak perawan lagi kan?” bisikku.
“Iya. Makanya mumpung sama - sama belum punya pasangan, kita nikmati aja dulu masa kebebasan ini. Biar pertemanan kita semakin solid,” bisik Gita lagi.
Sebenarnya aku agak shock mendengar ajakan dan pengakuan sahabatku itu. Lalu memperhatikan cara mengemudi Yama, yang ternyata halus sekali rasanya. Malah aku kalah halus kalau dibandingkan dengan cara Yama nyetir itu.
Lalu aku berbisik lagi ke telinga Gita, “Si Yama juga udah gak perawan lagi ya?”
Gita menjawab dengan bisikan juga, “Iya. Justru dia yang usulin acaranya juga.”
“Turunin celanamu, gue pengen tau vginamu kayak apa?” bisikku.
Gita menjawab dengan bisikan juga, “Celana lu juga. Justru gue yang pengen tau pnis lu kayak apa.”
Aku tersenyum sambil mengikuti keinginan Gita. Kuturunkan ritsleting, kemudian kupelorotkan celana jeans sekaligus dengan celana dalamnya.
“Anjriiiitttt…! pnis lu gede banget…” ucap Gita sambil memegangi pnisku yang sudah rada ngaceng. Dipegang - pegang oleh Gita, tambah ngacenglah pnisku.
“Yama…! “Gita menepuk bahu kiri Yama, “Liat nih pnis si Chepi?”
Yama mengurangi kecepatan mobil yang sudah berada di jalan tol, lalu membelokkannya ke bahu jalan dan menghentikannya. Lalu Yama menolah ke belakang, untuk melihat apa yang sedang Gita lakukan padaku.
“Liat tuh… sepanjang dan segede gini pnis si Chepi… !” seru Gita agak keras, untuk mengatasi bisingnya bunyi musik mobilku.
“Aaaaauuuu…! Itu pnis manusia apa pnis kuda?” seru Yama.
“Gue mau usul nih. Acara meeting di Jakarta kan besok pagi. Gak lama lagi kita kan masuk daerah Purwakarta. Gimana kalau kita nyari hotel di Purwakarta aja? Besok subuh kita lanjut ke Jakarta.”
“Jangan ah. Mumpung jalan gak macet, mendingan cek in di Jakarta aja,” sahut Yama sambil menghadap ke depan lagi. Lalu menjalankan mobilku kembali.
“Gue udah horny nih! “seru Gita, “Gak apa - apa kalau gue wikwik sama Chepi sekarang?”
“Lakuin aja. Asal jangan keliatan dari luar. Eeeeh… ada tirainya ya.”
“Ada tirai, kacanya pun kaca gelap. Lu konsen nyetir aja Yam. Nanti giliran lu nanti di Jakarta, sekenyangnya,” sahutku sambil menepuk bahu kanan Yama.
Sementara itu Gita sudah menanggalkan celana jeans dan celana dalamnya.
Kini aku dan Gita sudah sama - sama tinggal mengenakan t-shirt, karena Gita sudah menanggalkan behanya. Warna t-shirt kami pun sama - sama hitam. Bedanya, t-shirtku ada tulisan putih “Ireland” di bagian dada, sementara t-shirt Gita ada gambar bunga mawar pink di bagian antara sepasang bukit kembarnya.
Gita ternyata bukan hanya gokil waktu ngomong. Kini pun ia gokil dalam tindakan. Ketika mobilku yang dikemudikan oleh Yama dalam kecepatan sedang, Gita pun menduduki pnisku, sambil menghadap padaku. Lalu diarahkannya moncong pnisku ke vginanya. Dicolek - colekkan, kemudian ia menurunkan badannya.
Mungkin inilah pengalaman tergila di dalam hidupku. Bahwa ketika Yama mengemudikan mobilku dengan kecepatan nyaman, Gita duduk di atas pangkuanku, sambil menaik turunkan bokongnya dan merapatkan bibirnya ke bibirku. Dengan sendirinya pnisku dibesot - besot oleh liang mvginanya yang hangat dan licin ini.
Maka aku pun balas mendekapnya, sambil melumat bibirnya.
Yama yang jarang bicara itu pun berseru di belakang setir mobilku, “Asyiiik… mulai ena - ena nih?”