Mama Obat Kesembuhan Ku 5 - 7



Selesai mandi mama berkata, “pake handuk terus pake pakaian.”


Langsung kupakai handuk biar kering. Mama melihat pnisku yang lemas.


“Bersihin yang bener pnis dan testisnya,” aku kaget mama berkata seperti itu. Aku ya menurut saja membersihkan hingga kering dengan anduk. Sekilas kulihat mama menjilati bibir lagi. “Pake aja bajumu, gak usah pake celana. Abis itu kita sarapan.”


Aku melangkah telanjang ke kamar, sementara mama masih di kamar mandi. Kuraih baju di kursi. Saat melewati cermin, aku bercermin dulu. Tubuh ini rupanya telah duakali menikmati vgina mama. Aku jadi percaya diri. Aku ingin lebih. Akhrnya kupakai baju dan turun ke dapur. Aku makan yang ada. Sambil makan aku memikirkan apa lagi yang akan mama pakai.


Aku kecewa melihat mama memakai daster handuk warna putih. Tangannya memegang map warna biru. Mama tak menatapku namun langsung sarapan. Suasananya mendadak sunyi karena aku pun memilih diam.


Setelah makan, mama menyeduh kopi. Setelah itu baru mama menatapku.


“Ingat nak, apa yang terjadi terjadilah. Hanya kamu gak boleh bicara sama siapa pun. Paham.”


“Iya mah,” kataku serius.


“Kamu menikmatinya gak?” pertanyaan mama mengejutkanku.


“Tentu saja. Mama kok nanyanya aneh sih.”


“Mama hanya penasaran, apa kamu gak merasa bersalah. Apalagi yang kita lakukan bener - bener salah.”


“Iya sih mah. Tapi saat melakukannya malah terasa alami. Natural kalau kata bule.”


“Mama seneng dengarnya,” katanya tegas lagi. “Mama hanya ingin memastikan. Seharusnya mama bisa menahan diri. Tapi seminggu ini karena dokter suruh mama bantu kamu, liat tubuhmu, denger kalau kamu suka tubuh mama… kamu telah membangunkan gairah yang telah padam semenjak mama cerai,” mama bicara sambil menatap cangkir kopinya.


“Tapi kamu mesti ingat, kita belum mendapat sampel hari ini. Jadi sebaiknya kita tak melakukannya lagi. Apalagi kamu gak bisa nyabut sebelum keluar.”


Aku kecewa, tapi hanya bisa mengangguk.


“Mama bawa catatan sesimu. Kamu tau kan tiap sesi selalu mama catet.”


Aku menagguk lagi. Namun tak kulihat lembar catatan itu. Yang kulihat hanyalah map. Lantas mama menarik beberapa lembar dari map tersebut.


“Sini lihat baik - baik.”


Kugeser kursi hingga bersebelahan dengan kursi mama. Mama meletakan kertas di meja. Kulihat mama telah mengisi kolom sesi tiap hari. Rata - rata kolom isinya antara dualima hingga empat puluh milimiter. Namun kolom jumlah total per harinya ternyata belum mama isi.


“Mah, gimana kalau Yusup tambahin jumlah yang keluar tiap hari?”


“Iya boleh aja.”


Aku bangkit, mengambil kalkulator dan kembali duduk di samping mama. Aku mulai memakai kalkulator. Kutambahkan jumlah sesi perhari hingga enam atau tujuh sesi. Kutambahkan juga angka di setiap kolom. Kini tiap total per harian beda - beda tipis antara lima hingga sepuluh mililiter.


“Menarik nih,” kataku.


“Apa yang menarik?”


“Coba perhatikan. Total jumlah per hari tak beda jauh. Jadi jika kita lupa nyatet, bisa kita perkirakan rata - ratanya.


Mama tersenyum, “oh gitu. Jadi maksudmu kamu mau kayak tadi lagi tanpa perlu ngukur - ngukur lagi, gitu?”


Aku tersipu mendengar kesimpulan mama.


“Bukan gitu mah,” maksudku jujur. “Yusup hanya bicara berdasarkan fakta. Bukan katanya, katanya, katanya. Di sini fakta hukum yang berbicara.”


“Alah bicaramu, bawa - bawa hukum segala. Jadi kamu pikir kita gak perlu bisa lakuin seharian tanpa kumpulin sampel?”


“Eh, ng.. maksud yusup gak perlu terlalu sering sih. Kadang - kadang aja hingga dokter dapat catatan dan bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Lagian, bisa aja kita melakukannya diluar rata - rata.”


“Terserah kamulah,” jawab mama. Wajahnya kini berubah. Entah apa yang mama pikirkan. Kusadari mama tersenyum, “gini aja. Kita gak usah kumpulin sampel hari ini. Kamu udah bikin mama terangsang sejak pagi. Sekarang, biar mama bantu kamu keluar sealami mungkin. Asal,” mama berhenti bicara lalu menatapku.


Aku menelan ludah. Tak percaya tapi ini terjadi. Mama nanya, duduk di kursi makan. pnisku jadi gerak - gerak. Mama tentu saja melihatnya. Akhirnya aku mengangguk karena tak tahu apa yang harus kukatakan.


“Liat tuh, pnis kamu aja ngangguk setuju,” kata mama sambil tertawa. “Ke kamar mama yuk.”


Mama berdiri, aku berdiri. Eh pnisku ikut berdiri. Mama melihat dan tertawa lagi. “Buka aja kancingnya.” Mama lantas membuka kancingku hingga lepas, “nah, biar gini aja. Yuk.”


Mama berjalan dan aku mengikuti dari belakang. Tangan mama ke belakang dan langsung memegang pnisku. Menariknya.


Persetan dengan catat - mencatat. Aku bagai kambing yang dicocok hidungnya. Namun kali ini, mama menarikku untuk ngentot. pnisku ditarik sepanjang jalan, naik tangga hingga sampai ke kamar mama. Baru setelah itu dilepas.


Kamar mama lebih besar dari kamarku. Ranjangnya apalagi. Juga ada kamar mandinya. Disekat dengan pintu geser bercermin. Di tembok bagian atas ranjang juga terdapat cermin besar. Di kamar mama memang banyak cerminnya. Di lantainya juga dipasang karpet. Entah untuk apa aku tak pernah tahu. Kamar mandinya, tentu lebih wah dibanding kamar mandiku.


Begitu sampai kamar, mama menutup pintunya. “Duduk di kasur!” perintah mama.


Aku duduk di tempat yang ditunjuk mama. Di hadapanku terdapat lemari yang memiliki cermin hingga dapat kulihat tubuhku. Mama lantas berdiri menghadapku, membelakangi cemin lemari.


Karena kita telah coba pelbagai cara buat kumpulin sampel, sekarang pake cara alami saja. Herbal. Siapa tahu sakitmu bisa hilang. Kita ngentot aja seharian. Kamu suka ide mama gak?”


“Biar Yusup pikirkan dulu,” aku menunduk, memegang kepala seolah sedang berpikir. “Tentu saja yusup suka mah.”


“Kamu juga mesti ngomong kasar, sekasar - kasarnya, bagaikan tiada lagi yang lebih kasar dari ucapanmu. Coba sekarang kamu bilang ingin ngentot mama.”


“Yusup ingin ngentot mama,” aku menurut.


“Lebih kenceng,” desak mama.


“Yusup ingin ngentot mama,” suaraku lebih keras.


“Yang tegas dong. Kamu kok lembek gitu sih,” mama mulai keras.


“Diam lu, gw entot tau rasa lo!”


“Bagus…! Kamu juga boleh panggil mama apa aja sesukamu. Gak usah sungkan. Pasti kamu bakal merasakan kenikmatan tersendiri. Percaya deh sama mama. Sekarang coba.”


Aku menelan ludah mendengarnya. Antara senang dan bingung. Memikirkan panggilan untuk mama.


“Mama jal… jalang,” aku menelan ludah lagi.


“Bagus. Coba yang lain.”


“Dasar murahan. Lonte pasar. Babi gemuk, wadah pnis,” aku malu mengatakannya, tapi saat kulihat mama, mama begitu bersemangat. Matanya berbinar ria.


“Bagus. Mama memang lonte pasar murahan, lubang pnismu. Entot babi gemuk ini. Entot juga pantat mama. Kamu mau gak? Papamu dulu juga suka ngentot pantat mama. Kamu mau ha?”


Efeknya edan. pnisku ngambek ingin pulang ke sarangnya. Nafsuku sudah di ubun - ubun.


Mama melepas daster handuknya. Kini mama benar - benar telanjang. Pentilnya seperti mengeras. “Mama ingin icip - icip pnismu.” Mama langsung berlutut di hadapanku. Mama menjilati dan mengisap pnisku dengan rakus. Seperti orang yang kelaparan. Testiku juga tak luput dari jilatan dan isapannya.


Aku berbaring. Kepalaku mengarah ke lemari bercermin. Mama lantas menaiki tubuhku. Pantatnya ada di atas wajahku. Dari sini kulihat pemandangan yang luar biasa. Mama mulai menghisap lagi pnisku. Kujilati vgina mama sedang tanganku meremas pantat mama. Aku sangat suka aroma vgina mama. Kumasukan juga lidahku ke dalamnya dengan selamat.


Mama masih tetap isep pnisku. Kini kucoba menahan agar aku tak cepat keluar. vgina mama penuh liurku hingga basah. Kini pantat mama tak mau diam, terus menggeliat. Inilah surga. Aku tak mampu menahannya lagi, “yusup mau keluar.”


Mama menghentikan mulutnya, “keluarin di mulut mama. Biar mama minum. Tapi, mama ingin kamu liat. Kita ganti posisi dulu.”


Mama bangkit lantas turun dari kasur. Mama berlutut di samping kasur dan lemari bercermin. Aku lantas berdiri di depan cermin. Mama langsung meraih pnisku. Mulutnya terus berusaha agar pnisku memuntahkan peju. Kulihat cermin lemari, di sana mama sedang menyamping menikmati pnisku. Dari samping kulihat susu mama gerak meski sudah kendor.


“Ahhhhh.. AHHHH… AHHHH …” aku keluar, pejuku nyembur dalam mulut mama.


Mama berhasil menelan sebagian, namun pada semburan berikutnya mulai keluar tetesan peju dari sela mulut mama. Hingga beberapa peju itu jatuh membasahi dagu dan susu mama. Setelah pnisku berhenti menyembur, mama mengusapkan lubang pnis ke pipinya. Setelah itu, mama melepas pnis dari genggamannya.


“Enak nak. Mama suka banget rasanya. Tau gak, sehabis mama catet setelah sesi kita sebelumnya, peju yang di gelas selalu mama minum sampai habis.”


Aku terkesima mendengarnya. Benarkah itu? Memang aku tak pernah bertanya tentang peju yang telah ada di gelas ukur. Aku tak peduli sebelumnya. Mendengar ucapan mama, melihat tetesan pejuku di wajah dan tubuh mama, membuat pnisku kembali bergerak - gerak. Mama memperhatikannya. Lantas mama kembali memasukan pnis ke mulutnya.


Akhirnya aku terjatuh, merebahkan diri ke kasur.


“Tambah enak,” mama bangun dan melangkah ke meja disamping kasur. Mama meraih tisu dan menyeka wajah serta tubuhnya dari spermaku. Setelah itu mama buang tisunya. “Tunggu bentar mama mau bersihin tubuh dulu.”


Aku hanya mampu melihat pantat mama bergoyang seiring langkahnya menuju kamar mandi. Sepeminuman teh kemudian, mama muncul sambil tersenyum berseri - seri. Mama lantas membaringkan tubuh di kasur. “Sana bersihin tubuh dulu. Abis itu tiduran sini sama mama.”


Aku bangkit dan melangkah ke kamar mandi mama. “Seksinya pantatmu,” kata mama sambil tertawa. Aku hanya balas tertawa. Aku ingat betapa mama sangat menyukai pantatku.


Kamar mandi mama jelas lebih bagus. Kunyalakan shower. Air lalu membasahiku dari shower yang dipasang di atas. Kusabuni diri hingga bersih. Setelah itu kubalus lagi tubuhku dan mengeringkannya memakai handuk.


Aku kembali ke kamar. pnisku melambai, padahal aku bukan pria melambai. Kulihat mama melihat pnisku yang melambai, tidak seperti cibay.


“Anak mama udah bersih belum?” kata mama sambil tersenyum nakal menggodaku.


“Jelas dong mah,” aku naik kasur dan duduk di samping mama sambil punggungku bersender ke bantal. Aku menatap tubuh mama. Perutnya seperti tumpah ke pinggiran.


“Kamu boleh elus mama kalau mau sambil kita ngobrol.”


Kuelus perut mama dengan tangan kananku, lalu susunya. Kuremas dan kumainkan pentil mama dengan jempol serta telunjukku. Tanpa bicara, aku menundukan kepala dan menghisap pentil itu.


“Oh… bagus nak.”


Memang pnisku masih lemas, tapi tetep nikmat rasanya menyentuh mama. Elusan tanganku kembali ke perutnya. Lalu turun ke vginanya. Aku menatap mama menunggu anggukan setuju.


“Ayo mainkan jarimu di vgina mama,” mama menimpali tatapanku, lantas menutup matanya menikmati sentuhanku. Kugerakan jari tengah di belahan vgina mama. Pelan - pelan kutekan diantara gerakan itu.


“Oh…” kata mama disela tekanan jari tengaku di vginanya. “Terus nak, nikmat.” Aku memang tak berniat berhenti. “Coba tambah satu atau dua jari lagi nak.” Kutambahkan telunjuk, kini dua jariku berusaha masuk vgina mama dan mengobelnya.


Aku jadi malu, meski telah beberapa kali melihat film porno, ternyata masih harus dipandu oleh mama.


“Ahhh… Ohhhh…,” teriak mama.


Kupercepat tempo jemariku. Pinggul mama kini mulai bergerak naik turun. Seseruput teh kemudian mama berteriak dan tubuhnya bergetar. Aku merasa jemariku basah. Kurasa mama keluar, meski sebelumnya aku tak pernah tahu bagaimana wanita keluar.


Mama tetap berbaring sambil menutup mata selama beberapa saat. “Makasih nak. Mama memang ingin keluar.” Mama lantas membuka matanya, “Abis ini mama pingin keluar pake pnismu,” kata mama sambil menatap pnisku yang masih lemas.


“Kamu mau kopi nak? Mama bikin dulu yah, ntar mama bawa ke sini.”


Aku mengangguk setuju. Mama bangkit, memakai daster handuknya lagi dan berkata, “mama gakkan lama,” lantas keluar kamar.


***


Aku merasakan sentuhan di tanganku. Aku berguling dan membuka mata. Aku lantas sadar, sepertinya aku tertidur di kamar mama dan sudah berselimut. Mama sedang berdiri di sisi kasur, tangannya memegang cangkir.


“Bangun sayang.”


“Eh maaf mah. Yusup lama gak tidurnya?”


“Lebih dari satu jam. Saat mama datang kamu udah tidur. Mama gak ingin ganggu kamu, jadi mama biarkan kamu istirahat. Akhirnya mama keluar terus nelpon Wa Yani.


“Nih kopimu, biar segar,” kata mama sambil menyodorkan cangkir.


Aku duduk lantas menerima cangkir. Tubuhku masih berbalut selimut dari pinggah ke bawah. Mama duduk di kasur menghadapku, masih memakai daster handuk. Kuteguk kopi, nikmat. Kopiku kental. Laguku Sinatra, cewekku mama.


“Wa Yani titip salam untukmu.”


“Emang mama ngobrolin apa sama Wa Yani?”


“Kamu lupa ya, mama kan selalu ngobrol sama Wa Yani tiap libur. Biasalah.”


Wa Yani merupakan kakak mama. Tinggal di pesisir pantai. Kadang suka berkunjung ke rumah. Kini Wa Yani tinggal sendirian setelah suaminya meninggal karena jantung koroner. Wa Yani tak memiliki anak. Setelah kepergian suaminya, sudah beberapa kali mama bujuk agar tinggal dengan kami, namun selalu ditolaknya.


“Apa mama udah… udah cerita kondisi Yusup ke Uwak?”


Mama menatapku sebentar, “tentu mama bilang kamu punya masalah kesetahan, tapi gak mama ceritain detailnya. Mama hanya bilang udah bawa kamu ke dokter.”


“Bagus mah. Kalau lebih detail lagi kan Yusup malu.”


“Kok malu. Kamu kan udah deket sama uwakmu. Mama yakin Uwakmu sangat peduli sama kamu dan ingin kamu sembuh.”


Kuputuskan untuk tak memanjangkan pembicaraan tentang Wak Yani. Tak terasa kopiku habis. Kutaruh cangkir di meja samping kasur. Mama tersenyum padaku, genit. “Gimana sekarang, udah seger lagi?”


“Iya mah, seger buger. Bener - bener ber suasanaseger.” Namun biasa, testisku kembali berkedut - kedut agak sakit, seolah meminta dikeluarkan isinya. “Kayaknya mesti keluar lagi nih mah.”


Mama tersenyum lantas menarik selimut biru tua, setua mama, yang menutupi tubuhku dengan pelan. Hingga nampaklah pnisku. Mama mengelus pnisku dengan jemarinya. “Cakep banget nak. Mama gak bosen memandangnya. Kita lihat apa yang mesti kita lakukan agar kamu keluar lagi dan lagi.”


Mama lantas berdiri dan menatapku. Tatapannya beda dengan saat sedang membicarakan Uwak Yeni, yang menatapku penuh dengan keibuan. Kini tatapan mama seperti tatapan binatang kelaparan yang memandang mangsanya. Tangan mama memegang pinggul dan susu mama. Mama lantas berbalik menunjukan pantatnya padaku.


“Kamu suka nak?” goda mama. Lantas mama berbalik lagi. Aku melihat mama mulai bernafsu.


“Pasti mah, pasti.”


“Mama jalan - jalan dulu di kamar ini biar kamu lihat sepuasnya. Kamu suka liat pantat tubuh mama kalau lagi jalan kan. Tapi sebelumnya, kamu harus melakukan sesuatu.”


“Lakuin apa mah?”


Mama mengambil lipstik dan melemparkan padaku. “Tulis sesuatu di pantat mama!”


Aku menelan ludah.


“Er… ok… apa?” pnisku semakin sulit kukontrol.


“Duduk di sini biar mudah nulisnya.”


Aku meraih lipstik dan bergeser lalu duduk di pinggir kasur sementara mama berdiri membelakangiku. Pantatnya menantangku. Kuremas - remas pantatnya, juga kucium dan kujilati. Kuusapkan wajahku ke pantat mama. Mama tertawa kesenangan.


“Pantat mama seksi banget sih…” kataku puas. “Oke mah, Yusup mesti nulis apa?”


“Tulis huruf besar, di pantat kiri mama tulis ‘lon’ dan di pantat kanan mama tuli ‘te.’”


Gila, mama yang selama ini kukenal kuna, bahkan terkesan alim, ternyata sangat binal. Kupegang lipstik dan mulai menulis huruf yang mama suruh. Kutulis besar - besar hingga jelas.


“Selesai,” kataku. “Pantat mama jadi makin seksi.”


“Oh ya,” kata mama lantas menggoyankan pantatnya.


Mama berbalik hingga membelakangi lemari cemin. Kini mama memalingkan wajah melihat cermin. “Bagus,” katanya sambil menatap cermin. “Mama dulu suka gini sama papa. Papamu benar - benar langsung terangsang.” Mama lantas melihat pnisku yang sedang berdiri sopan hormat pada mama. Mama membungkuk lantas mencium pnisku.


Setelah puas, mama menghentikan aksinya lantas menatapku lagi. “Mama ingin kamu ngomong kotor lagi.”


Mama lantas berjalan - jalan di kamar, tangannya memegang pinggul. Susunya naik turun. Saat melangkah menjauh, aku baca ‘LONTE’ di pantatnya.


“Gimana nak?”


“Meski cuma liat lonte murahan, tapi tetep merangsang.”


“Mau nyobain lonte murahan ini gak?”


“Tentu.”


“Mau ngentot kayak anjing?”


“Bener.”


“Ngomong dong!”


“Yusup ingin ngentot lonte.”


“Emangnya mama lonte?”


“Lu memang lonte murahan tukang minum peju, lebih rendah dari anjing kampung.”


“Bagus nak.”


“Biar lontemu minum pejumu lagi. Sodok lontemu dari belakang.”


Mama mendekati kursi, mengangkat satu kaki dan menaruhnya di kursi. Mama menatapku sedang tangannya bermain di vginanya. Kadang dimainkan juga anus mama dengan jarinya itu. Mama lantas menarik kedua bibir tembem yang menutupi vginanya hingga bisa kulihat vginanya dengan jelas.


Aku berdiri dan mendekati mama. Aku berlutut di belakang mama dan mulai menjilati pantat mama dari belakang. Mama lantas bergerak dan duduk di kursi. Mama lantas meraih pnisku dan kembali menghisapnya.


Tak mau diam, kuelus dan kuremas susu mama. Setelah beberapa saat, mama melepas pnisku, “entot susu mama!”


Mama memegang susu dan kuselipkan pnis ke susunya. Tak lama karena aku tak ingin keluar sekarang. “Cukup. Gw mau entot lu sekarang juga,” kataku.


Aku mundur. Mama berdiri lantas ke kasur. Mama lantas nungging sambil wajahnya menghadap cermin. “Ayo cepet!”


“Lu mau ngentot sambil liat? Cuih,” kataku namun tidak sampai mengeluarkan ludah, “bener - bener lonte murahan.”


Aku naik ke kasur dan berlutut di belakang mama. Kulebarkan pantat mama dan kumasukan pnis ke vginanya. Perlahan hingga setengah pnisku masuk kudiamkan. Kurasakan vgina mama seperti memijit dan atau mencengkram. Kudorong lagi hingga mentok.


Langsung kusodok vgina mama dari belakang. “Lu suka hah. Lu suka gw entot hah?”


“Iya, oh… oh…”


Kulihat cermin sedang mencerminkan perbuatanku dan mama. Kutarik rambut mama hingga wajahnya seperti menatap cermin. “Liat tuh babi gendut lagi ngentot.”


“Ahh.. ayhhh iya…” kulihat wajah mama sedang kenikmatan.


Setelah beberapa saat, kurasakan akan segera keluar. “Nih rasain nih peju gw!” Semburanku menyembur di vginanya.


Mama ikut berteriak, tubuhnya mengejang hingga akhirnya mama ambruk. Aku mendesah nikmat bersama mama. “Lu suka hah? Jawab babi!”


“Iya,” jawab mama senang.


***


Kami menghabiskan waktu di kamar mama. Ngentot dalam pelbagai posisi. Saat mama diatas, kuliahat susu mama goyang - goyang takkaruan. Kuhitung sepertinya aku empat kali keluar. Pernah ketika mama nungging di lantai dengan tangan dan lututnya menyentuh lantai. Kubuka lebar pantat mama lantas kujilati.


Mama mengerang. Erangan mama menyiratkan kenikmatan yang begitu dalam. Aku jadi ingin menggantika jari dengan pnisku. Namun masih bisa kutahan. Belum saatnya, pikirku. Meski kulihat mama sangat menikmati jariku di anusnya.


Tentu saja kami tak pedulikan gelas ukur. Mama selalu menelan pejuku atau kusemprotkan di vgina mama. Aku sangat senang melihat pejuku menetes keluar dari vgina mama.


***


Malam pun tiba. Mama mengingatkan kalau esok kita ada janji sama dolter Tari.


“Ingat juga, kamu gak boleh kasih tahu dokter seberapa jauh kita melangkah agar kamu keluar.”


Aku mengangguk setuju. Aku tahu hubunganku dengan mama bukan untuk konsumsi publik. Apalagi aku bukan public figure. Setelah makan, kami ngobrol sebentar hingga malam.


Aku memakai boxer dan sporthem lainnya. Mama memakai kaos dan celana pendek. Belahan lehernya pendek hingga dapat kulihat belahan susunya. Pentilnya tercetak jelas. Sejak kemarin, mama telah begitu banyak membantuku keluar. Namun esok, mama mesti kerja. Aku tak tahu apa yang akan mama lakukan.


“Mah, mulai esok, Yusup mesti ngapain kalau sendirian nunggu mama pulang kerja?”


“Iya, mama juga bingung. Mama kan kerja. Kamu juga kuliah. Biar kita tanya dokter besok. Gimana sekarang, masih sakit gak?”


“Udah gak begitu sakit mah. Mungkin karena mulai teratur keluar.”


“Besok sebelum mama kerja, kita lakukan satu sesi. Terus ambil sampel seperti biasa. Hari ini gak ambil sampel karena merupakan pengecualian,” kata mama lantas tersenyum.


Aku mulai mengantuk. Mama memandangku. “Waktunya tidur nak. Mau keluar dulu sebelum tidur?”


Kantukku serasa hilang. Aku mengangguk.


“Kamu mau ngapain sekarang?”


“Yusup ingin pantat dan vgina mama dong.”


Mama berdiri di depanku.


“Lakukan apa yang kamu suka.”


Aku mengelus vgina mama dengan jemariku beberapa kali. Bahan celana mama yang tipis membuatku bisa merasakan jembutnya. Mama mulai mengerang pelan. “Muter boleh mah,” kataku.


“Ngomongmu terlalu sopan sayang. Kamu mesti ngomong kasar kalau mau. Ayo ngomong.”


Aku menatap mama sebentar.


“Muter, gw mau liat pantat babi gemuk ini.”


“Nah, gitu dong,” jawab mama. Mama langsung berputar. Lantas kuusap pantat mama. Kuraba dan kuremas. Lantas kuturunkan celana mama.


“Pantat babi emang montok.”


Mama tak berkata. Saat celana mama akan kutarik, mama mengangkat kakinya hingga celana itu lepas. Mama kini hanya memakai baju. Lantas mama menggoyangkan pantat menggodaku. Aku berdiri dan mengelus - elus pnis ke pantat mama. Kuelus pnis mengikut belahan pantat mama hingga menekan ke dalam.


“Lu jalan ke kamar tanpa lepasin gw. Ntar gw kasih peju buat lu minum. Ngerti lu babi?”


“Iya,” jawab mama.


Mama mulai berjalan perlahan agar pnisku tak lepas. Aku mengikuti dari belakang. Di tangga, mama mulai naik perlahan juga, membuatku makin tak tahan. Kutampar lagi pantat mama dengan tanganku saat mama dua langkah di atasku.


Sampai di atas, mama berjalan ke kamarku lalu duduk di kasur. Aku berdiri di hadapannya. Mama lantas menjilati dan menghisap pnisku.


“Oh…“aku mengerang menikmati mulut mama. “Mulut babi gendut memang enak.”


Mama memakai tangan untuk membantu mulutnya. Tangan mama mulai mengelus testisku dan meremasnya pelan. Tangan kananku kuturunkan mencoba mencapai susunya lalu kumainkan.


Mama berhenti sejenak, “ayo, ngomon kasar lagi nak. Kamu tau mama suka kan?” lantas mama melanjutkan.


“Oh, terus… Mulut babi gendut memang enak,” kuikuti keinginan mama. “Isep terus… Lu suka kan hah? Jawab lonte.”


“Iya, suka.”


“Suka apa hah, yang bener kalau ngomong!”


“Babi gendu ini suka isep pnis…”


Kuraih kepala mama dan mulai mengocoknya. Kukocok dan kutekan sedalam mungkin. Tangan mama kini mulai memegang paha dan menahannya. Mungkin sudah terlalu mentok. Namun aku tak pedulu. Kupercepat kocokan seiring semakin dekat aku keluar. Akhirnya kutekan dan kudorong kuat - kuat pnisku. Kumuntahkan di mulut mamah.


“Nih peju gw makan. Biar makin gendut! Ohhhhhhh… ahhhh…”


Peganganku di kepalanya membuat mama menelan semua pejuku. Setelah habis, kulepas dan mama langsung menjilatinya hingga bersih.


“Pejumu nikmat.” Mama lantas menjilati bibirnya agak lama. “Sekarang waktunya kamu tidur. Besok kita kumpulin sampel lagi.


Aku mengangguk dan tersenyum ke mama.


Mama berdiri, mencium pipiku, “malam sayang.” Lantas berbalik dan keluar kamarku. Aku langsung tidur.





Kulihat arloji, sudah jam setengah empat. Aku masih di kampus. Selesai kuliah aku mesti ke klinik dokter tari. Aku lantas naik angkot.


Pagi tadi sebelum kerja mama bilang mau pulang lebih awal. Mama lantas menyuruhu ketemuan sama mama di klinik. Tentu saja setelah mama mendapatkan sampel dari sesi pagiku. Ternyata mama benar-benar memakai gelas ukur lagi. Kecewa hatiku.


Di angkot, aku penasaran akan apa yang akan diucapkan dokter. Meski sedikit, namun rasa sakit ini masih ada. Meski akan hilang setelah keluar beberapa kali, tetap saja aku khawatir.


Kuingat kunjungan pertama, cara dokter melihat pnisku lantas menjilat bibirnya. Aku juga ingat mama melakukan hal yang sama, beberapa kali sebelum mama mulai ngocok pnisku. Aku jadi mengkhayalkan pnisku di mulut dokter Tari. Segera kusingkirkan khayalan bodohku ini. Tentu dokter takkan melakukan itu, apalagi ada mama.


Setelah sampai aku turun. Aku masuk lantas mendekati meja resepsionis. Di meja ada suster kira-kira berumur tiga puluhan. Wajahnya menarik, pikirku.


Selamat sore, saya yusup. Ada janji temu sama dokter Tari.


Suster tersebut lantas melihat buku. Aku bermaksud melihat buku juga, namun kulihat belahan dadanya dari celah leher pakaiannya, karena aku berdiri dan suster itu duduk.


Oh, silakan duduk menunggu. Ibu Anda juga sudah menunggu.


Aku berjalan ke ruang tunggu. Di sana sudah terdapat mama sedang duduk membaca majalah. Di meja memang banyak terdapat majalah. Namun anehnya, setelah kuperhatikan ternyata tidak ada satupun stensilan di sana. Mungkin merasa ada orang datang, mama menoleh. Mama tersenyum saat melihatku datang. Kebetulan klinik sepi.


Dari tempat kami duduk, kulihat meja resepsionis. Suster tadi tersenyum padaku. Aku tak ingat melihat dia di kunjungan perdanaku.


Mama lantas bicara dengan nada rendah, ingat, jangan bilang apa pun yang bisa mencelakakan kita. Biar mama aja yang ngomong.


Iya mah, iya.


Beberapa saat kemudian telepon di meja resepsionis berbunyi. Suster mengangkatnya. Setelah itu suster menyilakan kami masuk. Aku dan mama bangkit lantas masuk ke ruang dokter.


“Ah, selamat datang kembali, kata dokter lantas tersenyum. Dokter berdiri dari belakang mejanya lalu menyalami kami. Setelah itu dokter menyilakan kami duduk. Aku dan mama pun duduk.


Dokter Tari mungkin lima puluhan usianya. Tubuhnya pendek gendut. Rambutnya sudah mulai beruban. Berkata maca. Kuperhatikan wajahnya masih terlihat menarik.


Setelah kami duduk, dokter menatap mama, lalu menatapku. Masih sambil tersenyum, bagaimana kabarnya?


Baik-baik saja dok, jawab mama. Saya telah eh bantu anak saya untuk mengukur sampel seperti yang dokter anjurkan. Mama lantas mengeluarkan catatan dari tasnya. Catatan tersebut mama serahkan ke dokter.


Bagus, kata dokter. Dokter lantas mengambil kertas dan meletakan di meja tanpa melihatnya. Saya senang anda membantu anak anda. Meski mungkin agak kesulitan juga.


Dokter lalu menatapku, gimana sekarang nak, apa masih sakit?


Aku berdehem sebentar, iya bu. Tapi agak berkurang kalau eh anu masturbasi. Eh maksud saya kalau eh keluar.


Baiklah, dokter masih tersenyum padaku. Ibu senang kamu memperoleh bantuan. Dokter meraih sesuatu dari laci meja, ini saya sudah dapat hasil tes darahnya. Dokter menyimpan catatan dari laci di meja. Lantas mengambil catatan dari mama, sekarang saya analisa dulu hasil tesnya. Dokter lantas mencermati hasil catatan mama.


Bisa ibu lihat kamu memproduksi cukup banyak seperma. Namun jumlah rata-rata per harinya beda-beda tipis. Dokter berhenti bicara. Catatannya menunjukan kewajaran. Kini dokter menatap mama. Terimakasih sudah melakukan pengukuran. Semoga tak terlalu sulit melakukannya.


Aku seperti mendengar nada malu di suara mama, eh, tidak dok. Lagian seorang ibu kan udah pengalaman kalau membantu anaknya. Dokter pasti paham.


Iya bu. Anak anda beruntung memiliki ibu seperti anda.


Mama terlihat seperti gelisah, namun tetap tersenyum.


Kini dokter menatapku. Kamu mesti bersyukur memiliki mama yang baik.


Iya bu.


Jadi kenapa dengan anak saya dok? mama menyela.


Hasil tes darahnya tidak mengecewakan. Namun saya sarankan untuk, dokter berhenti sesaat. melakukan terapi yang mungkin sedikit tidak biasa.


Aku menatap mama yang sedang terlihat khawatir. Rupanya dokter pun menyadarinya.


Maaf, saya tak bermaksud membuat ibu khawatir. Biar saya selesaika bicara dulu.


Jadi kenapa dengan anak saya dokter?


Dokter berdiri dari kursinya, seolah ingin terlihat lebih serius. Berdasar hasil pengujian darah, anak anda memiliki kelainan yang langka. Nama medisnya, ah biar saya katakan dengan bahasa awam. Untuk meyakinkan, saya kirim hasil tes darah ke Jakarta. Ternyata sesuai dengan hasil awal.


Kini dokter menatapku. Setiap orang, baik wanita maupun pria, memiliki bakteri di sekitar kemaluannya. Bakteri ini, merupakan termasuk sistem imun, atau merupakan pelindung tubuh. Ketidakseimbangan jumlah bakteri ini, pada pria, bakal menyebabkan rasa sakit yang cukup mengganggu. Inilah yang terjadi pada Yusup, bakteri berlebih.


Kabar baiknya, rasa sakit ini bisa dihilangkan. Biasanya setiap remaja akan sembuh setelah orgasme. Namun khusus untuk Yusup…


Kalau saya mampu, saya anjurkan anak saya terapi dok, asal sembuh, kata mama kembali menyela.


Dokter berhenti sejenak. Lantas menatap mama.


Apa tidak sebaiknya kita bicarakan ini berdua dahulu?


Tidak apa-apa dok. Biar anak saya mendengar langsung. Lagian dia juga sudah dewasa.


Entah kenapa aku senang mendengar jawaban mama.


Baiklah, dokter mulai lagi. Biasanya kejadian seperti ini terjadi kepada pria usia lima atau enam puluhan. Karena sudah bau tanah, kami selalu menganjurkan mengkonsumi pil. Seminggu sekali sampai game over. Namun, karena sekarang menimpa remaja, ada cara alami untuk menstabilkan bakterinya. Caranya ialah melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis.


Mama dan aku mendengarkan dalam diam. Kata-kata terakhir dokter membuat pnisku bergerak, sebentar.


Jelasnya, dokter melanjutkan. Hubungan seksual yang terjadi harus tanpa kondom. Karena jika memakain kondom akan menghalangi bercampurnya bakteri. Dokter kembali berhenti bicara, lantas menatapku. Apa kamu sudah punya pacar?


Eh, tidak. Belum dok.


Hm… tidak terduga. Inilah yang bakal menyebankan terapi menjadi tidak biasa. Dokter kembali berhenti bicara. Untuk kasus Yusup, sebaiknya melakukan hubungan seksual setiap hari selama dua atau tiga bulan agar sembuh. Tapi karena belum mempunyai pacar, bisa jadi merupakan masalah baru.


Aku menatap mama. Jelas mama takkan mengatakan bahwa aku dan mama telah ngentot.


Dokter memandang mama, seperti yang ibu ketahui, saya adalah spesialis kulit dan kelamin. Selain itu, juga membuka terapi seksual. Biasanya saya mengobati orang yang kecanduan. Misalnya kecanduan konten-konten pornografi.


Saya mengerti, kata mama, namun jelas mama terdengar bingung.


Maksud saya adalah, karena yusup belum memiliki pasangan, dokter berhenti sesaat. Mendaftar terapi di sini merupakan salah satu solusi, semoga ibu paham.


Kulihat mama seperti memerah wajahnya, keringatnya bercucuran begitu menyadari kata-kata sakti dokter Tari. Kurasa aku juga agak malu mendengarnya. Mama diam. Hanya pnisku yang bergerak.


Dokter kembali bicara, di sini kami memegang teguh kerahasiaan pasien yang terapi. Apabila ibu keberatan, atau Yusup telah mendapat pasangant, silakan untuk menghentikat terapi Yusup. Namun apabila Ibu kebingungan, silakan mendaftarkan terapi untuk Yusup, dokter tersenyum mengakhiri kata-katanya


Mama kembali bicara, eh, saya paham maksud dokter. Tapi harus saya pikirkan dahulu. Jelas mama tak bisa ngomong kalau aku tinggal ngentot mama.


Apabila ragu, ada alternatif lain, dokter kembali bicara. Kami juga menerima pasien wanita yang memiliki masalah tertentu, misalnya karena suaminya tidak bisa lagi berhubungan seksual. Terapi kami salahsatunya memberikan terapi seksual satu atau dua minggu untuk mengatasi kebutuhannya. Yang kudengar kini bukan lagi kata-kata dokter, melainkan kata-kata sales yang sedang mempengaruhi mama.


Kami juga memiliki pasien remaja, agak tua sedikit dibanding Yusup, yang memiliki masalah seperti, minder terhadap wanita, atau kurang dalam pengetahuan seksual. Dengan izin yang saya miliki, juga dengan izin pasien yang bersangkutan, saya selalu menghubungkan wanita yang sudah saya jelaskan dengan remaja pria yang juga sudah saya jelaskan.


Dokter berhenti sejenak, menjilati bibirnya, lalu bicara lagi. Di awal terapi, kami tes agar tak ada yang memiliki penyakit menular seksual. Jadi diantara pasien yang terapi, terdapat hubungan saling menguntungkan.


Kini dokter menatap mama. Andai ibu kesulitan mencari pasangan untuk Yusup, klinik kami siap membantu dengan memasangkan dengan pasien wanita.


Aku tak percaya dokter menyarankanku ngentot dengan wanita setengah baya. Rasanya mama bakalan marah, minimal malu. Kulihat mama, aneh, mama terlihat tenang.


Saya paham bu, kata mama. Saya menghargai keterus terangan anda tentang proses terapi yang mesti dilakukan anak saya. Untuk solusi alternatifnya, saya harus pikirkan dulu. Setidaknya saya kini tahu apa yang terjadi dengan anak saya, mama berhenti lantas menatapku. Dan kita mungkin bisa membantunya.


Aku agak kaget dengan reaksi mama. pnisku mendadak bangkit. Kutaruh tangan diselangkangan untuk menutupinya.


Baiklah, dokter tersenyum. Saya senang kita saling memahami. Kini dokter menatapku, Ibu harap kamu merasa nyaman dengan terapi ini. Dan gak perlu malu, sekilas kulihat kilatan aneh di matanya, yang membuat lidahku gugup tak bergerak.


Sebaiknya aku pasrah saja. Eh, iya dok. Saya sih siap asal sembuh. Mendadak ingin kutambahkan sedikit bumbu pada percakapan kali ini. Sangat senang saat mama membantu. Apalagi kalau ada wanita lain yang mau ikut membantu.


Bagus, kini dokter menatap mama. Jadi semuanya tinggal ibu yang memutuskan.


Iya dok, makasih atas penjelasannya.


“Terakhir, kita perlu sampel sperma yang masih segar dari Yusup untuk diperiksa. Begitu terapi dimulai, saya perlu sampel segar dua kali seminggu. Kini sudah tak perlu lagi mengukur sampel tiap hari. Siap?


Aku lega tak lagi perlu memakai gelas ukur. Namun aku masih bingung akan kata-kata dokter, maksud dokter, dokter harus ambil sampel sperma segar sekarang? tanyaku.


Tentu. Dokter harap kamu tak keberatan dokter ambil sampelnya. Bagaimana?


Eh, ya… Iya. Kebetulan testisku kembali sakit, meski pagi tadi sudah satu sesi.


Baik, mohon tunggu sebentar.


Dokter meraih telepon, memijit tombol dan berkata. Tia, pasien hari ini sudah cukup. Klinik tutup saja. Kamu boleh pulang sekarang.


Ternyata suster jaga tadi namanya Tia. Dokter lantas menutup telepon. Dokter berdiri lalu menatapku, mari ikuti ibu.


Kuikuti langkah dokter ke agak dalam ruangannya. Ternyata terdapat pintu yang agak tersembunyi. Kami masuk lantat pintu dikunci oleh dokter. Inilah tempat terapi seksual klinik kami. Sengaja dikunci untuk menjaga privasi.


Kuperhatikan ruangannya terasa nyaman. Jauh dari kesan kamar sebuah klinik. Ada sofa kulit, satu panjang satu pendek. Di sudut terdapat meja. Di tengah ruangan ada kasur periksa. Juga ada pintu lain selain pintu tempat kami masuk.


Dokter menatap mama, Sengaja saya bawa ibu ke sini karena mungkin ibu dibutuhkan untuk membantu mendapat sampel dari Yusup, seperti yang telah dilakukan di rumah. Apabila anda keberatan dengan cara pengambilan, silakan katakan agar tidak ada salah paham. Apa anda berdua setuju?


Saya rasa iya, kata mama. Namun kurasa mama sedikit malu. Sedang aku hanya menangguk.


Dokter menunjuk pintu lain, itu kamar mandinya. Silakan Yusup lepas pakaian di sana dan bersihkan badan. Silakan gunakan handuk yang ada di sana.


Aku mengangguk lagi dan berjalan ke pintu kamar mandi.


Dokter menawari mama duduk dan minuman. Yusup mau minum dulu?


Boleh.


Aku ke kamar mandi dan menutup pintu. Aku tak percaya apa yang akan terjadi terjadilah. Di kamar mandi ini terdapat shower dan bathtub. Lumayan juga. Ada juga handuk dengan beberapa varian warna. Kulepas celanaku dan kucuci pnis hingga bersih. Kukeringkan lalu kupakai handuk. Aku kembali ke ruang terapi dimana mama dan dokter telah menunggu.


Bagus, kata dokter saat melihatku datang. Aku minum air yang dokter beri. Silakan berbaring di sofa.


Aku menurut. pnisku kini lemas tak berdaya. Aku berbaring di sofa dengan hanya memakai kaos dan handuk. Lantas mama dan dokter datang. Dokter datang memegang gelas ukur.


Coba santai ya, anggap aja di rumah. Dokter sudah minta bantuan ibu agar mengambil sampel seperi biasa di rumah. Kini dokter menatap mama, silakan bu. Sepertinya tinggal bantu masturbasi dan keluarkan ke gelas.


Eh, iya benar, kata mama.


Mama berdiri di sebelahku, dokter juga berdiri di sebelah yang lain. Mama menarik handuk hingga aku telanjang dari perut ke bawah. Kusadari dokter memperhatikan pnisku dengan seksama. Mama mulai mengocok pnisku. Namun pnisku tetap lemas.


Aku lantas berkata, mungkin karena suasananya baru jadi susah bangun.


Maaf bu, apa anda memberi rangsangan padanya? Contohnya membiarkannya menyentuh anda?


Mama ragu-ragu. Aku bisa merasakan mama ragu untuk memberi tahu dokter seberapa jauh langkah yang telah mama ambil.


Iya, kadang-kadang saya lakukan. Saya biarkan anak saya menyentuh pantat saya. Kadang juga payudara saya. Agar bisa cepat keluar.


Kalau begitu silakan lakukan apa yang biasa anda lakukan, dokter terdengar bersemangat.


Mama mendekatkan pantat ke tanganku. Tanganku mulai membelai pantat yang masih terbungkus rok. Namun pnisku tetap belum bangun.


Sepertinya memang butuh rangsangan lagi, kata dokter setelah melihat beberapa menit. Apa ibu biarkan yusup melihat sebagian tubuh ibu tanpa pakaian?


Aku tahu mama berusaha untuk menutupi kenyataan sekuatnya, ya, karena dokter telah begitu terbuka dan jujur pada kami. Saya bisa katakan iya. Kadang, saya biarkan Yusup melihat payudara dan pantat saya. Namun saya tetap memakai celana dalam untuk menutupi selangkangan saya, tambah mama, bohong. Jelas mama terdengar tak nyaman.


Kalau begitu saya sarankan agar ibu melepas baju dan rok ibu agar Yusup cepat keluar, suara dokter terdengar bersimpati.


Mama menghentikan kocokannya lalu mulai melepas kancing blusnya. Setelah itu mama melepas sleting dan membiarkan roknya jatuh. Mama memakai cd putih biasa yang menutupi sebagian besar pantatnya. Mama lantas mengambil rok dan meletakan di sofa dengan bajunya.


Kini mama hanya memakai bh hitam dan cd putih. Mama langsung menatapku, tak menatap dokter. Mungkin tak mau. Mama lantas menyatukan bahan belakang cd dan menyelipkannya ke belahan pantat hingga membuat sebagian besar pantat mama terlihat. Mama kembali membelai pnisku.


Semoga kali ini rangsangannya cukup, kata dokter.


Ya, yusup bilang katanya suka pantat saya, aku terkejut mama memberitahu kesukaanku.


Wajar, dokter tersenyum padaku.


Aku mulai membelai pantat mama, namun dokter masih melihat pnisku belum juga bangun. Kurasa dokter mulai menyadari ketidaknyamananku.


Sepertinya kita perlu sesuatu agar Yusup bisa keluar. Kamu boleh menyentuh pantat ibu selama terapi ini, lantas dokter menatap mama, tentu kalau ibumu setuju.


Eh… iya boleh, jawab mama.


Dokter melepas jas putihnya. Kini nampak dokter memakai blus warna krem dan rok gelap selutut. Dokter lantas mendekati sisi kananku. Aku mengelus pantat dokter, lebih bulat dibanding pantat mama.


Tidak perlu malu, silakan remas saja sementara biar ibumu lakukan tugasnya, kata dokter.


Aku tak percaya ini terjadi. Tangan kiriku meremas pantat mama. Tangan kananku meremas pantat dokter. pnisku mulai bergerak-gerak. Dokter mulai meletakan gelas ukur di sofa, agar mudah diraih mama.


Kalau boleh, saya mau lepas bh, agar yusup bisa melihatnya. Biasanya sih berhasil kalau di rumah, kata-kata mama mengejutkanku, lagi.


Saya senang anda bisa rileks, silakan saja, memang dokter terlihat senang.


Mama melepas bh dan meletakan di sofa. Susunya yang besar menggoda mulutku.


Payudara ibu masih bagus, kata dokter.


Terimakasih.


Secara tidak sadar mama mendekatkan dada ke wajahku membuat susunya mengenai wajahku dan langsung kuhisap pentilnya. Kurasa mama tak merencanakannya, sudah terbiasa mungkin. Namun aku dan dokter melihat dan menyadarinya, saya lihat anda membiarkan yusup menghisapnya juga. Bagus juga rangsangannya, coba lihat.


Dokter menunjuk pnisku yang mulai keras, sementara mulutku menikmati kenyalnya susu mama. Penis yusup ereksi dengan wajar. Sebaiknya kita gunakan kata-kata yang umum agar dapat merangsangnya, agar pnisnya cepat keluar.


Dokter menatapku sambil menjilat bibirnya. Sepertinya dokter ingin menyentuhku, boleh saya sarankan sesuatu?


Silakan, jawab mama.


Sebaiknya ibu berdiri dan biarkan yusup menyusu. Dan untuk pengambilan sampel biar saya yang lakukan, kata dokter.


Setuju. Gimana nak, kamu setuju?


Aku mengangguk. Kini aku merasa lebih santai, meski tidak sedang di pantai. Dokter kini ke kiriku, sementara mama ke kananku. Aku kembali nyusu sambil meremas susu dan pantat mama.


Dokter mulai mengocok pnisku. Cara dokter ngocok jelas lebih nikmat dibanding cara mama. pnisku sudah tegang, namun anehnya aku belum merasa mau keluar.


Boleh saya sentuh pantat dokter lagi? kataku mencoba peruntungan.


Tanpa berkata-kata, dokter memindahkan pantat ke dekat dadaku dan langsung kuraba dan kuremas.


Silakan nikmati agar cepat keluar, kata dokter sambil terus ngocok.


Ingin pnisku diisep namun aku belum berani bicara. Mamalah yang akhirnya bicara, mengejutkanku, coba saya pakai payudara saya dulu. Seperti yang pernah kami coba.


Mama mulai berada di selangkanganku. Dokter melepas pnisku dari genggamannya. Mama memegang susu dan mulai mengocok pnis dengan susunya.


Kulihat dokter sangat menikmati, saya senang ibu begitu bebas membantu anak ibu, kata dokter.


Melihat mama yang berani di hadapa orang lain membuatku terangsang. Sepertinya bakal keluar kalau terus diginiin, kataku mencoba berani.


Mendengarnya malah membuat mama lebih bersemangat. Sesaat kemudian mama berhenti dan membiarkan dokter mengambil alih. Tangan dokter meraih gelas dan tangan lainnya ngocok pnisku. Dalam waktu singkat aku pun keluar.


“Ahhhhh.. AHH… OOOOOHHH,” aku berteriak saat aku keluar, pinggulku menyentak ke atas beberapa kali.


Dokter terus memompa pnis hingga tiada sperma yang tersisa. Aku memejamkan mata menikmati sisa orgasmeku. Tangan dokter masih di pnis. Saat kubuka mata, mama masih berdiri tanpa pakaian.


Nikmat sekali keluar di klinik.


Sekarang sudah mendingan kan, kata dokter. Kubuka mataku. Dokter lihat kamu juga memproduksi cukup banyak.


Kulihat gelas, lantas kulihat mama yang berdiri di samping dokter, masih memakai cd. Aku benar-benar tak percaya, tapi ini terjadi. Aku hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata. Sepertinya mama tersadar masih telanjang. Maaf, saya akan memakai baju lagi, lantas mama kembali berpakaian.


Melihat mama makai baju sungguh sangat seksi. Kamu juga pakai baju, dokter menatapku. Setelah siap silakan kembali ke depan.


Aku bangun, membersihkan diri di kamar mandi lantas memakai pakaian. Keluar dari kamar mandi, ternyata sudah kosong. Sepertinya mama dan dokter telah kembali ke depan. Kubuka pintu dan menuju ke sana.


Dokter sedang duduk di belakang mejanya. Mama pun duduk. Dokter tersenyum padaku saat aku duduk di samping mama.


Saya senang kita mendapat sampel hari ini. Saya juga senang anda berdua merasa nyaman saat pengambilan sampel. Kini dokter menatap mama, Saya senang dengan cara ibu membantu anak ibu.


Mungkin maksud dokter soal mama lepas busana serta memainkan pnisku dengan susunya.


Saya mengerti apa yang ibu lakukan, meski kebanyakan orang takkan memahaminya.


Kulihat mama memerah seperti malu, namun langsung tenang kembali.


Kini, dokter melanjutkan, saya sarankan agar kita masuk ke tahap lanjut terapi ini, meski saya akui cukup sulit. Saya akan beri tiga kontak yang bisa ibu hubungi untuk membantu terapi Yusup. Namun, dokter menatap mama, jika ibu ingin melakukan terapi sendiri untuk anak ibu, silakan beri tahu saya.


Apa yang kudengar sungguh luar biasa, dokter benar-benar bermaksud membantu mama dan aku berhubungan seksual. Mama dan aku mendengarkan tanpa bicara, namun setelah dokter selesai bicara, mama angkat bicara.


Biar saya pikirkan dahulu. Akan saya beri tahu keputusannya nanti. Karena bagaimana pun apa yang anda sarankan sangat tidak biasa. Terimakasih atas tawaran bantuannya.


Dokter tersenyum lantas menulis sesuatu di kertas. Jangan-jangan menulis kontak para wanita yang bisa kuajak terapi seksual. Wow. Beberapa saat kemudian, dokter selesai menulis, melipatnya dan memasukan ke amplop yang diambil dari lacinya.


Sudah saya tulis kontak yang saya sebut tadi, beserta informasi tambahan agar jadi bahan pertimbangan. Bisa anda hubungi, namun sebaiknya atur janji temu dulu sebelum bertemu. Semuanya adalah pasien saya, sehingga saya bisa menjamin semua.


Dokter berhenti sejenak, namun mesti saya ingatkan, salahsatu kelemahan pasien saya yang ditulis ini adalah semuanya memiliki keinginan seks berlebih. Semoga ibu mengerti artinya.


Aku hanya mengangguk.


Silakan kembali lagi minggu depan. Namun jika ibu memerlukan saya untuk membantu terapi, silakan datang lebih awal. Kini tak perlu mengambil sampel lagi di rumah, cukup minggu depan di sini.


Aku dan mama lantas berdiri dan menjabat tangan dokter. Kami pamit, mama diberi amplop oleh dokter.


Akhirnya selesai juga pengambilan sampel di rumah, seperti anjuran dokter.






Aku pulang naik mobil sama mama.


“Gimana perasaanmu saat memberi sampel di depan dokter?”


“Awalnya gak nyaman mah, tapi akhirnya bisa nyaman juga.”


“Ya, mama juga ngerasa begitu,” jawaban mama mengejutkanku. “Awalnya mama gak yakin, tapi menjelang akhir mama jadi ikut terangsang. Andai kita tak berahasia di depan dokter, udah mama lahap kamu dari awal.”


Aku makin terkejut, namun kali pnisku bangun, menaruh hormat pada mama.


“Setidaknya kita tahu ada apa denganmu. Namun mama gak yakin akan merasa nyaman liat kamu ngentot sama wanita lain, meski rujukan dokter. Biar mama pikirkan dulu soal itu.”


Aku kecewa mendengar kata - kata mama, tadinya kuharap mama langsung setuju.


“Meski begitu, mama udah punya rencana kali ini. Kita tinggal buat janji sama dokter, bilang aja kita butuh bantuannya agar mama bisa lebih lanjut menerapimu, paham?”


“Paham komandan!”


“Kita biarkan dokter mengira kalau dia yang membantu kita untuk ngentot, pertama kalinya. Agar dokter tak tahu kita sudah pernah ngentot sebelumnya. Kita juga bisa menemui dokter beberapa kali seminggu. Siapa tahu kamu beruntung. Hari ini saja kamu dapet pantatnya. Kayaknya dia juga suka susu mama. Gimana pendapatmu?


Meski kata - kata mama bereaksi terhadap pnisku, namun tetap aku malu mendengarnya.


“Kenapa kamu malu nak?”


“Yusup jadi terangsang denger penjelasan mama.”


Mama nunduk sebentar melihat selangkanganku.


“Kasihan anak mama,” katanya. Kemudian sambil tetap nyetir tangan mama mulai mengelus selangkanganku.


Nikmat sekali, “kalau terus gitu bisa - bisa yusup keluar di celana, mah.”


“Jangan dong, coba kamu tahan nak. Kata dokter kita gak perlu ngukur lagi, jadi di rumah kamu bisa keluar di mana saja sesukamu.”


Untungnya kita sudah sampai rumah. Begitu masuk rumah, mama mengunci pintu. Setelah itu mama langsung mendorongku ke dinding, berlutut dan membuka sleting dan celanaku. Celanaku langsung melorot, juga dengan boxerku. Mama langsung menghisap dan menjilati pnisku. Aku pegang rambut mama dan kumainkan tempo kepala mama.


Tak butuh waktu lama, aku segera keluar.


“Ohhhh… AHHHHH… Ahhhh,” aku mengerang sambil memuncratkan peju dalam mulut mama. Mama langsung menelannya. Mataku menutup.


Saat kubuka mata, mama sedang menjilati pnisku. Setelah itu mama berdiri, “enak nak. Sekarang udah baikan kan.” Setelah itu mama mencium pipiku dan naik ke kamarnya.


“Mama mandi dulu. Kamu juga mandi sana. Abis itu kita makan,” kata mama meninggalkanku yang masih bersandar ke dinding.


Aku duduk di tangga, berusaha memulihkan tenaga sambil memikirkan apa yang terjadi di klinik. Lalu aku ingat amplop dari dokter mama taruh di jok belakang. Aku mengambil kunci mobil lantas mengambilnya.


Saat aku buka, aku urungkan niatku. Biar aku buka nanti di depan mama. Lantas aku mandi, sambil nyanyi - nyanyi.


***


Sehabis mandi aku sedang di kamar. Tiba - tiba mama memanggilku, “kamu udah mandinya nak?”


“Iya mah,” teriakku. “Mau pake baju dulu.”


“Kamu telanjang?”


“Lagi pake handuk mah.”


“Sini nak, jangan malu.”


Aku berpikir sejenak. Jangan - jangan mama punya ide lain sebelum makan. Kuhitung waktu aku keluar terakhir, rasanya kali ini aku bisa keluar lagi. Kini aku merasa nyaman telanjang di depan mama. Kupasang handuk di rambutku. Jadi aku mantapkan diri untuk melangkah ke kamar mama. Aku melangkah menyusuri dunia, mencari arti kehidupan.


Mama ternyata sedang duduk di kasur, punggungnya bersandar ke kepala ranjang. Kakinya dibuka lebar hingga bisa kulihat vginanya. Tangan kanan mama bermain di sana. Sungguh liar.


Mama tersenyum padaku, “kamu mau terapi yang dokter sarankan?”


Tentu saja, kulempar handuk ke kursi lantas naik ke kasur.


“Jilat mama dulu,” kata mama pelan.


Kudekatkan kepala ke vgina mama dan mulai menjilatinya. Sungguh nikmat. Kujilati bibir tebal mama yang menutupi vginanya. Lantas kutusuk vgina mama dengan lidahku.


Mama menggeliat dan mengerang, “oh.. terus nak…”


Kepalaku ditekan oleh mama hingga mentok ke vginanya. Kujilati vgina mama dari bawah ke atas, membuat mama berteriak. “Oh… terus… oh… itu…”


Mama melepas tangan dari kepalaku. Kutarik kepalaku dan kulihat gundukan tebal yang mengundah syahwat itu.


“Boleh pake jari mah?”


“Boleh. Abis itu langsung pake pnis.”


Kudorong jari tengah ke vgina mama perlahan. Kunikmati sensasinya. Kutambah dengan telunjuk. Mama menggeliat saat kumainkan jemariku. Setelah puas, kutarik jemariku. Ternyata basah.


“Yusup entot sekarang yah.”


“Iya nak,” kata mama sambil menutup mata.


Aku berlutut diantara paha mama. Kugosok pnis di vgina mama sebentar, lalu kudorong hingga masuk.


“Ahhhh …” nikmat sekali. Aku mulai memompa pnisku.


Untuk pertama kali, aku ingin mencium mama. Kudekatkan bibirku ke bibir mama lantas menciumnya. Mama balas menciumku dengan liar.


“Terus nak,” mama melepas ciumannya. “Oh… ah…”


Kudiamkan pinggulku hingga pnisku hanya diam di vgina mama. Namun mama menggerak - gerakan pinggulnya, kutatap mama. Mama balas menatapku, “kemarin mama bilang kita mesti ambil sampel hari ini.” Aku mencoba menggodanya.


“Entot mama nak. Kamu boleh entot mama kapan saja, di mana saja.


Kata - kata mama makin merangsangku. Kulanjut entotanku. “Ah… ahhhh…” aku dan mama teriak berbarengang saat kusemprotkan peju di vgina mama.


Mama mengejang saat pnisku terus menyemburkan peju hingga usai. Aku lantas ambruk menimpa tubuh mama. Mama memelukku.


Beberapa saat kemudian, aku bergeser dan berbaring di sebelah mama. Mama lantas memelukku dari samping. Kepalanya bersandar ke sikuku, sementara tangannya mengelus dadaku.


Beberapa saat kemudian mama bangkit dan menuju lemarinya. Aku sangat suka melihat mama jalan, apalagi telanjang. Susu dan pantatnya bergoyang - goyang. Mama bercermin di sana.


“Makan yuk,”


“Yuk mah.”


“Kamu turun duluan, ntar mama nyusul.”


Aku bangkit dan berjalan. Saat melewati mama, mama menampar pantatku sambil tertawa. Aku ke kamarku, pake boxer dan kaos. Juga pake celana jins. Aku ke dapur, ambil minuman ringan lantas duduk sambil nunggu mama.


Mama datang, hanya memakai daster handuk. “Bentar mama masak dulu.”


“Oke mah, oke.”


***


Kami makan sambil ngobrol. Setelah makan, kuambil amplop dokter dan kuserahkan ke mama.


“Gimana menurutmu?”


“Ya terserah mama. Tapi kalau yusup sih gak perlu mah. Takut. Sama mama juga udah cukup.”


“Ya udah, mama ikut kamu aja. Bersihin ya!”


Aku menurut, semertara mama melangkah ke ruang tv. Setelah selesai, aku mendekati mama.


“Sini duduk sama mama sayang.”


Aku menurut dan duduk di sebelah mama. Tangan mama lantas mengusap selangkanganku. “Udah bangun lagi nih,” kata mama tersenyum. Mama menjilati bibir lagi. “Lepas aja celananya.”


Aku berdiri dan melepas celanaku. Mama menggeser tubuhnya hingga duduk di ujung sofa dekat denganku berdiri. Begitu pnisku terlihat, mama langsung meraih dan menghisapnya.


“Ahhhh,” aku mengerang senang. Aku berdiri masih memakai kaos dan mama masih memakai daster handuk. Tapi aku tak peduli.


“Terus mah, ah…”


Kuraih kepala mama dan kudorong, lantas kutarik sesuai ritme yang kuinginkan. Tangan mama mulai mengelus testisku. Kadang dimanikan anusku dengan jarinya. Aku jadi tak tahan…


Kutekan kepala mama dalam - dalam, lantas “ahhhh…” kusemprot peju dalam mulut mama lagi. Beberapa tetes bahkan mengalir dari sela bibir mama. Meski kutahu mama mencoba menelan semuanya.


Mama menatapku dan tersenyum. Mulutnya masih belepotan pejuku. Mama lantas menjilati bibirnya, menjilati pnisku hingga bersih. Peju yang jatuh ke daster handuk mama pun dicolek dan diminumnya.


“Mama suka banget pejumu, nak. Kamu mesti ingat, dokter bilang agar sembuh kamu harus ngentot.”


Mama lantas duduk dan melebarkan pahanya. “Jilat vgina mama nak!”


Aku berlutut di depan mama, melepas kaos dan melemparkannya. Langsung kujilati bibir tebal vgina mama. Kujilati dan kutusukkan lidah ke dalam vgina mama.


“Ohhhh… Ahhhhh,” mama meracau.


Kini kuangkat tangan dan kuremas susu mama. vgina mama mulai basah, tangannya terus mengusap rambutku. Pinggalnya bergerak - gerak seirama lidahku. Hingga akhirnya mama berteriak, “Ohhh… ahhh…” pinggulnya mengejang, lalu lemas. Kurasa mama baru saja keluar.


“Makasih sayang.”


Kutarik mulutku, “mama keluar?”


“Iya.”


Aku lantas tersenyum pada mama.


Selama beberapa hari ke depan kuentot mama saat aku dan mama sudah di rumah. Suatu sore mama bilang bahwa mama mau buat janji sama dokter agar membantu kita dalam terapi di rumah. Setelah melakukannya mama bilang bahwa dokter cukup antusias mendengarnya.


“Saat kita ke dokter, kamu harus pura - pura. Dokter juga menyuruh mama pake pakaian yang bisa merangsang kamu. Tentu saja mama paham, tapi biar mama juga ikut pura - pura.”


Janji telah dibuat. Esok sore. Esoknya aku tak bisa konsentrasi di kampus. Menjelang sore mama menjemputku. Kami sampai di klinik dan disambut suster Tia. Kami menunggu sebentar, lantas disilakan ke ruang dokter.


“Selamat datang, bagaimana kabarnya?”


“Baik dok,” kata mama sambil menyalaminya.


“Mari silakan ikut saya.”


Kami langsung mengikut dokter ke ruang yang dulu. “Silakan duduk dulu.” Aku dan mama duduk di sofa. Dokter lantas menawari minum. Kami mengangguk. Dokter menyuguhkan dua gelas air di meja. Dokter melepas jas putihnya lantas duduk di sofa sebrang kami sambil menyilangkan kaki.


“Jadi bagaimana perkembangan terakhirnya?” tanya dokter.


Mama yang bicara, “telah saya pikir apa yang dokter bilang. Sepertinya saya siap menjalankan tahap berikutnya dok.”


“Baik, saya akan bantu yusup melakukan penetrasi demi kesehatannya.”


Mama dan aku mengangguk.


“Gini dok, sepertinya kami agak canggung. Namun karena ini demi kesehatan anak saya, saya bersedia menjadi donor untuk penis anak saya. Namun, karena masih ragu, saya harap dokter membantu untuk proses yang pertama kali. Hingga kami bisa melakukannya dengan benar,” mama bicara dengan meyakinkan, meski kutahu semuanya hanyalah ilusi.


“Tentu saja akan saya bantu, saya mengerti keraguan ibu. Semua yang ibu lakukan demi kesehatan anak ibu agar bakterinya seimbang.”


“Bagus dok.”


“Lantas bagaimana dengan daftar yang saya beri?”


“Sepertinya kami belum merasa nyaman untuk melakukan terapi dengan orang lain.”


“Saya mengerti,” namun entah kenapa aku sedikit merasa dokter kecewa.


Dokter kini menatapku, “sudah agak tenang sekarang?”


“Iya dok.”


Dokter tersenyum, “sekarang, kita bisa mulai. Tujuan sesi kita ini adalah untuk membantu ibu menjadi donor penyeimbang, jadi ibu merelakan tubuh untuk dipenetrasi oleh Yusup. Saya di sini berusaha menyingkirkan apa yang mungkin menghalangi proses itu. Dengan kata lain, saya berusaha membantu agar lancar hingga ibu bisa melakukan terapi lagi di rumah.


Mama dan aku mengangguk setuju.


“Apapun yang saya katakan, silakan bertindak sealami mungkin selama proses kegiatan seksual. Saya sarankan agar melakukan pemanasan. Sebagai fasilitator, dalam beberapa kesempatan mungkin saya akan berpartisipasi. Apakah anda keberatan apabila saya ikut berpartisipasi?”


“Tidak keberatan dok,” jawab mama.


Aku hanya mengangguk.


“Selain itu, sebaiknya kita memakai kata - kata yang lebih familiar bagi remaja seperti Yusup. Apakah Anda tidak keberatan?”


Mama dan aku mengangguk lagi.


“Sekarang silakan Yusup membersihkan diri dulu. Di kamar mandi ada jubah mandi, silakan pakai.”


Aku lantas ke kamar mandi. Kubersihkan diri dan kupakai jubah. Aku lantas kembali lagi. Di ruang itu sudah terdapat pemandangan yang menyejukan mata. Mama sudah melepas pakaian, hingga hanya memakai cd dan bh warna hitam.


Dokter juga ternyata hanya tinggal memakai bh dan cd hitam, meski tak seseksi mama.


“Sekarang,” kata dokter. “Saya ingin kita mulai penetrasi yang pertama. Penetrasi ini takkan membuat Yusup dan Ibu berhadapan. Silakan ibu berlutut ke sofa.


Mama melakukan apa yang disuruh. Dokter menyeretku hingga aku berdiri di belakan mama dan dokter di sampingku.


“Bagaimana pendapatmu melihat pantat ibu dalam posisi ini?” tanya dokter padaku.


“Menggairahkan,” jawabku.


“Apa ibu merasa nyaman?” tanya dokter ke mama.


“Iya dok.”


Dokter mulai melepas tali jubahku hingga terbuka. Nampaklah pnisku yang sudah tegang.


“Sepertinya kamu mulai terangsang,” kata dokter.


Dokter kemudian mengelus pnisku. Satu menit kemudian dokter melepas jubah mandiku dan melemparkanya entah ke mana, gak penting.


“Sekarang lebih santai,” kata dokter. “Silakan lanjutkan,” suaranya terlihat senang.


Kini tangan kanan dokter membelai pnis dan testisku, sementara tangan kirinya membelai pantatku. Beberapa saat kemudian, “sekarang saya akan melepas cd ibumu agar kamu bisa lihat pemandangannya.”


Dokter benar - benar melorotkan cd mama hingga turun. Kini di hadapanku nampak pantat mama. Aku telah sering melihatnya, namun tentu saja dokter tak mengetahuinya. Karena seperti kata mama, inti sesi ini adalah agar dokter mengenalkan pnisku ke vgina mama.


“Silakan rasakan pantat ibumu,” kata dokter bersemangat.


“Gimana, suka?”


“Iya dok.”


“Kalau Ibu gimana, menyukainya juga tidak?”


“Ehhh… iya dok. Meski agak aneh mengetahui yang melakukannya anak saya sendiri.”


“Memang aneh pada awalnya. Namun nanti akan terbiasa.” Dokter lalu menatapku, “silakan berlutut dan cium pantat ibumu.”


Aku melakukannya. Dokter pindah posisi ke sebelah pantat mama, lantas membuka pantatnya membuatku dapat melihat belahan vgina mama dari belakang. “Coba jilat juga vgina ibumu,” kata dokter. “Kita sedang melakukan pemanasan.”


Kujilati juga vgina mama seperti keinginan dokter.


“Sekarang jilat anus ibumu.”


Gila juga nih dokter. Aku memang suka menjilati anus mama. Kujilati dan kutusukan lidah ke anus mama. Pantat mama menggeliat merasakan sensasinya.


“Sekarang masukan pnismu ke vgina ibumu.”


Aku berdiri, dokter masih memegang pantat mama, melebarkannya. Kutusukan pelan, hingga mentok membuat mama tersentak. “Sekarang pompa pelan - pelan,” kembali dokter memerintah.


Kuikuti perintahnya, “bagus. Atur agar tak terlalu cepat atau lambat.” Tetap kuikuti perintah dokter.


Aku merasa aneh. Ngentot mama depan dokter. Wajah mama terbenam di sofa, tangannya berada di sisi kepalanya membuatku tak bisa melihat ekspresi mama. Tapi kudengar erangan lembut mama.


“Bagus. Biarkan pnismu ngentot vgina ibumu,” kata dokter sambil berusaha melepas bhnya. “Entot terus sambil liat susuku,” katanya lagi. Susunya sudah kendor, namun tetap menggairahkan.


Dokter lantas pindah ke depan kepala mama membuatku bisa menatap lurus ke susunya. Aku jadi tak tahan…


“Ahhhhhh …” kusemprotkan peju di vgina mama. Mama juga mengerang mendapat semprotan pejuku. Mungkin mama keluar juga. Kututup mata sambil memegang pantat mama.


Nikmat.


Aku kembali tenang lalu kubuka mata. Mama kini duduk di sofa, berusaha terlihat tenang. Dokter berdiri di sampingku, tangan kanannya meraih pinggangku dan kami berdiri di hadapan mama.


“Selamat untuk anda berdua. Apalagi untuk Yusup, kamu sekarang sudah tau rasanya tubuh wanita.”


Aku tersenyum menutupi kenyataan ini. Mama terus memainkan perannya, “saya harap saya melakukan yang terbaik, demi kesehatan anak saya,” kata mama tersenyum meyakinkan.


“Saya harap ibu dan yusup tidak keberatan difasilitasi oleh saya,” kata dokter.


Mama mengangguk dan tersenyum. “Terimakasih telah memegang pantat saya hingga memudahkan Yusup. Terimakasih juga telah memberi rangsangan pada anak saya. Melihat payudara dokter yang indah, saya yakin Yusup sangat menikmatinya.”


Aku seperti merasa dokter sedikit malu, tapi aku tak yakin. Mataku kini melihat susu dokter. Ingin rasanya kuraih dan kuhisap. Kucoba meraih peruntunganku, “iya dok. Payudara dokter memang indah. Semoga dokter tak tersinggung dengan kata - kata saya.”


“Tentu saja tidak Sup. Wajar bagi remaja menyukai payudara wanita. Sebagai fasilitator, yusup boleh menyentuhnya bahkan jika mau.”


pnisku bergerak - gerak merespon. Rupanya dokter menyadarinya.


“Nah, sudah dijawab tuh,” dokter dan mama tertawa bareng.


Masih memeluku dari samping, dokter lantas mengelus pnisku. “pnis anak ibu memang bagus. Ibu pasti bangga.”


Mama tersenyum lagi tapi tak berkata apa - apa. Dokter masih mengelus pnisku. Kini bahkan seperti memijatnya. Setelah beberapa saat, dokter melepas tangan dari pnisku dan mengusap dadaku.


“Kita bersihkan diri dulu. Apa kamu siap untuk sesi selanjutnya Sup?”


“Iya dok.”


“Pasti,” kata ibu. “Dia bisa keluar beberapa kali, berdasar pengalaman saya membantunya.”


“Bagus,” kata dokter. “Kita istirahat sejenak, lalu mulai lagi.”


“Saya mau ke toilet dulu,” kataku ingin kencing.


“Saya juga mesti bersih - bersih dulu,” mama juga bilang.


Pupil dokter tiba - tiba membesar.


“Sebagai fasilitator, saya sarankan agar kita ke kamar mandi bersama. Karena hal - hal pribadi juga kadang terjadi di kamar mandi. Kita bisa membantu menghilangkan pembatas psikologi di sana. Agar lebih terbuka lagi.”


Setelah dokter bicara, mama belum menanggapi. Kurasa mama sedikit keberatan. Bukankah aku pernah melihat mama kencing. Namun mama kembali tenang, “kalau kamu gak keberatan,” kata mama sambil menatapku.


“Tentu tidak,” aku menjawab.


“Bagus,” kata dokter. “Mari silakan.”


Dokter melangkah ke kamar mandi. Susunya bergerak - gerak. Aku dan mama mengikuti. Setelah masuk, dokter menutup pintu kamar mandi. Mama melihat - lihat di dalamnya. Aku ingat ini kali pertama mama ke kamar mandi di sini.


“Luas sekali kamar mandinya dok.”


“Iya, saya juga terkadang melakukan konseling di sini,” jawab dokter. “Sekarang mari kita lihat ibu kencing. Agar yusup terbiasa. Tujuan ini adalah membiasakan tiada rahasia diantara anda dan yusup.”


Aku yakin mama ragu - ragu. Namun kemudian mama duduk di toilet. Setelah beberapa saat, urin mama mengalir lancar tanpa hambatan. Setelah itu mama membersihkan vgina dengan tisu, berdiri lantas mencuci tangan di wastafel. Aku sangat menikmati menontonnya.


“Bagus,” kata dokter. “Sekarang giliran yusup.”


Aku mendekati toilet lantas berdiri. Kukucurkan urinku hingga habis.


“Bagus,” kata dokter. “Bagaimana rasanya kencing di hadapan kita?”


“Agak ganjil. Tapi anehnya saya menyukai lihat mama kencing,” jawabku jujur.


“Menarik, kalau menurut ibu?”


“Ya, saya juga merasakan apa yang anak saya rasakan. Saya merasa ganjil.”


“Menarik. Sekarang saya sarankan agar kita melepas pakaian yang tersisa dan mandi. Saya sarankan saat mandi anda berdua melakukan banyak kontak fisik, membiasakan diri agar lebih mendobrak penghalang dalam hubungan terapi ini.”


Dokter ini memang pandai merangsang. pnisku kembali gerak. Kurasa dokter menyadarinya. Mama dan dokter lantas melepas pakaian yang tersisa hingga telanjang. Aku mulai ngilu liat vgina dokter yang baru pertama kali ini. Dagingnya tebal seperti mama.


Dokter menyalakan shower hingga kami basah. Lalu mematikannya, “sekarang silakan sabuni dengan cepat hingga bersih. Saya menyabuni punggung yusup, yusup menyabuni punggung ibumu. Setelah itu berbalik gantian.”


Mama menghadap tembok. Punggungnya kusabuni dan dokter menyabuni punggungku. Sedang mama menyabuni bagian depan tubuhnya. Sungguh erotis.


Kurasakan tangan dokter mencoba meraih testis dari sela pantatku. Setelah agak lama, dokter menyuruh berbalik. Kita semua lantas berbalik. Kini aku menyabuni punggung dokter. Sedang mama membersihkan punggungku.


Kulihat pantat dokter dengan lebih seksama dan dalam tempo yang sesingkat - singkatnya. Kusabuni sambil kuremas, “bersihkan juga selanya,” kata dokter.


Aku menurutinya dengan senang hati. Kuusap vgina dokter dengan jariku sambil membersihkan sela pantatnya. Aku senang meski sebentar.


Mama juga membersihkan pantatku. Aku tahu mama sangat suka pantatku.


Kemudian dokter kembali muter ke arahku.


Dokter tak menatap wajahku, namun melihat pnisku. Aku melihat lagi dokter menjilat bibirnya.


“Saya lihat kamu sudah terangsang Yup,” kata dokter mulai menyabuni pnisku.


Tentu saja, pikirku.


“Sudah cukup sabun - menyabuninya. Kita bilas hingga bersih.”


Dokter kembali menyalakan shower. Kita membersihkan diri dari sabun. Aku tiba - tiba dapat ide, “dok, kalau boleh, saya ingin liat pantat - pantat bergoyang.”


“Tentu, kenapa tidak?” jawab dokter. Dokter lantas menatap mama, “jika ibu setuju.”


Mama mengangguk. Dokter dan mama lantas membelakangiku dan menggoyangkan pantatnya. Aku hanya bisa memandang terangsang. Setelah beberapa menit, aku kembali bicara, “terimakasih.”


Keduanya lantas berhenti. Aku dekati pantat dokter dan meremasnya. Aku lantas berlutut menciumi pantat dokter, menjilati sambil tetap meremasnya. Kini kujilati anus dokter, kudorong juga agar lidahku menjilati vginanya. “Boleh saya tempelkan pnis ke pantat dokter?”


“Silakan, tapi jangan dimasukan.”


Aku lantas berdiri dan mengeluskan pnisku. Kutamparkan juga, tentu saja pelan. Kuusapkan pnisku ke sela pantat dokter dan kudorong, namun tak sampai masuk ke vginanya. Pantat dokter seperti sedang meremas pnisku.


Setelah beberapa saat, kuhentikan dan kutarik pnis. “Terimakasih dok.”


“Sekarang ibu gosokan susu ibu ke pnis anak ibu,” perintah dokter.


Mama melakukannya. Setelah beberapa saat, dokter kembali bicara, “sudah bu, biar saya juga lakukan itu.”


Ini yang kutunggu. Dokter menggantikan mama. Susunya sungguh - sungguh nikmat. “Oh…” aku mengerang kecil.


“Saya lihat ini berefek pada yusup,” kata dokter.


“Iya dok, hehehe.”


“Silakan bicara bebas di sini, baik yusup maupun ibu. Agar tembok pemisah semakin hilang.”


Aku senang dengan kata - kata dokter, namun aku masih mencoba menahan diri meski ku tahu mam sangat suka aku bicara kasar.


Melihat pnisku di susu dokter membuatku ingin mencoba menyusunya. Mungkin dokter tau keinginanku, “terakhir, sebelum penetrasi, kita biarkan yusup menjamah susu kita.”


Kedua wanita ini lantas berdiri di depanku. Aku tak buang - buang waktu. Kuhisap dan kujilati stiap susu yang ada, bergiliran. Juga kuremas - remas.


“Saya pikir Yusup sudah siap untuk penetrasi lagi,” kata dokter. “Coba ibu bersandar ke dinding, dan rendahkan tubuh. Kita biarkan Yusup ngentot ibu dari belakang. Namun sebelum itu, biar saya tambah rangsangan dengan mulut saya.”


Dokter lantas berlutut di hadapanku. Tangannya langsung meraih pnisku dan menghisapnya. Aku hanya bisa mengerang nikmat.


Dokter terus menikmati pnisku. Lidahnya sangat lihai, berbeda dengan lidah mama. Setelah beberapa saat, dokter berhenti dan mulai bergeser ke samping sambil berdiri.


Melihat pantat mama yang sudah siap, aku tak menyia - nyiakan waktu. Langsung kutusuk mama dari belakang. Mama tersentak saat pnisku masuk. Aku mulai memompa mama dari belakang.


“Enak mah… oh…”


“Iya, entot terus.. entot mama”


Aku merasa sesuatu menyentuh punggungku. Aku menoleh dan melihat dokter sedang memelukku dari belakang. Tangannya mengelus dada dan perutku. Tak perlu waktu lama, akhirnya aku tak tahan lagi.


“Ahhh…” kusemprotkan pejuku di dalam vgina mama. Mama mengejang sambil mengerang. Tangan dokter memainkan puting susuku. Setelah pejuku berhenti menyemprot, kutarik mama dan kupeluk dari belakang. Kututup mata menikmati sensasinya. Kurasakan juga dokter memelukku dari belakang. Nikmat.


Beberapa saat kemudian, dokter melepas pelukan. Kulepas juga pelukanku.


“Selamat atas lancarnya proses terapi ini,” kata dokter.


Mama tersipu malu mendengarnya. Aku hanya menangguk.


“Terimakasih dok telah membuat kami dapat melalui langkah awal ini,” kata mama.


“Sebelum kita mengakhiri ini, biar saya bersihkan dulu pnis yusup.”


Dokter lantas kembali berlutut di hadapanku. Kini dokter menjilati dan menghisap pnisku hingga bersih. Setelah itu dokter menatap mama, “sekalian saya bersihkan ibu juga.”


Dokter lantas bergeser ke hadapan mama. Dari paha mama terlihat pejuku mengucurk. Segera dokter jilati paha mama, setelah itu dokter menjilati vgina mama. Mama menggelinjang sambil menggoyankan pantatnya, namun tangan dkter memegang pantat mama seolah menyuruhnya diam. “Srruupppp,” suara mulut dokter di vgina mama.


Beberapa saat kemudian, dokter bangkit. “Kita mandi lagi, setelah itu kembali ke depan.”


Kali ini kami mandi dengan cepat, memakai baju lalu kembali ke meja dokter.


“Bagaimana bu, setelah ini apabila masih ada hambatan, silakan beri tahu saya. Saya akan senang membantu lagi,” kata dokter.


“Iya dok, terimakasih atas bimbingannya. Saya jadi tenang mengetahui sudah ada donor bagi pnis anak saya,” kata mama sambil tersenyum.


“Iya sama - sama,” kata dokter.


Setelah itu mama pamit dan kami pun pulang.


Sekian.


Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
To Top